Jangan Biarkan Agama Jadi Ajang Permusuhan
Tokoh pendiri PAN, Abdillah Toha, belakangan sangat intens menyampaikan renungan tentang kehidupan bermasyarakat. Tentu saja, hal-hal terkait dengan kehidupan keberagamaan di Indonesia. Penuh ketegangan dan intoleransi.
Namun, Abdillah Toha selalu berusaha untuk menyampaikan renungan penuh harapan. Agar masyarakat Indonesia tetap memihak pada karakter penuh toleransi. Jangan biarkan agama menjadi ajang permusuhan. Berikut di antara renungan Abdillah Toha:
"Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar." (QS. Al-Baqarah: 11-12)
Ketika Allah menurunkan wahyunya kepada berbagai Nabi, khususnya Nabi terakhir Muhammad SAW, apakah agama ini hanya untuk menyiapkan kita pada kehidupan setelah mati saja atau berguna bagi kehidupan kini dan disini? Apakah Islam untuk kehidupan di dunia atau hanya untuk akhirat? Apakah di akhirat masih ada agama?
Sudah terlalu sering kita dengar para ustadz dan dai mengutip ayat Quran yang mengatakan bahwa kehidupan duniawi ini hanya sementara. Yang abadi nanti di akhirat. Tuhan menciptakan manusia hanya untuk beribadah kepadaNya dan menyiapkan bekal untuk akhirat. Dunia penuh dengan permainan dan tipuan. Dan seterusya.
Semua kutipan wahyu itu tidak salah. Yang salah bisa jadi adalah pemahaman apa yang dimaksud dengan ibadah. Apakah itu sekadar shalat puasa haji zikir dan sejenisnya atau lebih luas dari itu? Apakah Islam itu pada saat shalat atau perilaku kita setelah shalat? Apakah memuji dan menyembah Tuhan itu karena Tuhan butuh dipuji dan disembah atau semua itu untuk kepentingan kita?
Apa sebenarnya tujuan Tuhan mencipta Adam di sorga kemudian menurunkannya ke bumi sebagai “khalifah di bumi” kalau bukan agar Adam melihat sorga dan mewujudkan kehidupan sorgawi di dunia agar bebas dari kelaparan, ketakutan, dan kesengsaraan? Mengapa kita jarang mendengar khotbah dan ceramah-ceramah ulama dan para ustadz yang berisi inspirasi untuk membangun umat yang maju, berilmu. dan kuat?
Apakah agama itu sebuah perkumpulan atau paguyuban yang harus dibentengi dan dijaga dari serangan musuh atau agama adalah penghayatan jiwa dan roh yang akan menguatkan keduanya dari segala bentuk keguncangan yang melanda diri? Apakah agama itu tujuan akhir kita atau agama adalah jalan yang akan membawa kita kepada tujuan sebenarnya menjadi manusia yang paripurna?
Apakah sebagai orang beragama kita harus menutup pintu rapat-rapat dan mencurigai semua pengaruh luar sebagai berbahaya dan dapat mencemari iman kita, atau kita buka pintu kita lebar-lebar dan mengambil semua manfaat dan kearifan yang bisa menambah wawasan beragama kita? Apakah agama atau Tuhan perlu dibela?
Sudah sadarkah sebagian besar Muslim bahwa ada lima tujuan syariah yang harus didahulukan dari kewajiban-kewajiban lainnya dalam beragama? Bahwa agama Islam menempatkan maslahat kemanusiaan diatas kepentingan peribadatan?
Sulitkah menjadi Muslim dengan segala kewajiban dan larangan yang diatur dalam syariah? Apakah agama membebani kita dengan berbagai kewajiban dan larangan yang terlalu berat untuk dipikul? Apa hubungan agama dengan politik yang benar? Mengapa di banyak negeri nonMuslim kita dapati warganya lebih Islami dari di negeri-negeri Muslim?
Ketika Muslim mengucap assalamualaikum atau meneriakkan takbir atau memulai suatu perbuatan dengan membaca bismillah dan lain sebagainya, tahukah mereka makna sebenarnya dari berbagai berbagai kebiasaan sehari-hari seorang Muslim itu? Ataukah itu hanya sekadar kebiasaan di mulut tanpa dihayati arti dan makna sebenarnya?
Ringkasnya, apakah keberagamaan kita sebagai Muslim sejauh ini telah menciptakan nilai tambah bagi kemanusiaan dan umat manusia atau justru sebaliknya telah lebih banyak menimbulkan kerusakan tetapi kita merasa telah berbuat yang benar sesuai ajaran agama seperti dijelaskan dalam ayat pada pembukaan Pengantar ini?
Semua itu dan banyak lagi dibahas dalam berbagai tulisan dan renungan di buku ini. Karena setiap topik dibahas dalam tulisan yang pendek dan dalam bahasa populer, tentu saja buku ini tidak berpretensi menuntaskan semua persoalan umat. Bila setelah membaca berbagai bab dalam buku ini pembaca menjadi lebih terbuka wawasan pikirannya kemudian berupaya melakukan pendalaman lebih lanjut menyangkut pemahamannya tentang agama Islam, maka tujuan penulis telah tercapai.
Tentu saja penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa pandangan dan pemahamannya tentang agama Islam yang dianutnya adalah yang paling benar. Kebenaran mutlak hanya milik Sang Pencipta langit dan bumi. Penulis bukanlah ulama atau ustad. Pernah mengecap pendidikan madrasah selama sembilan tahun, selebihnya pada dasarnya penulis adalah produk dari pendidikan sekolah menengah dan perguruan tinggi umum. Diluar itu, penulis adalah murid dan siswa dari berbagai guru dan terus berusaha mencari dan menguak makna dari keberagamaan.
Terlalu banyak guru saya untuk disebut disini satu persatu. Baik guru yang kenal pribadi maupun guru yang tak pernah jumpa kecuali dalam tulisan atau rekaman audio videonya. Tentu ada satu atau dua guru yang jadi favorit saya dan mempengaruhi jalan pikiran saya. Mereka adalah yang menyajikan Islam sebagai agama yang ramah, tidak rumit, ringan, dan menyenangkan. Tanpa menggampangkan apa yang diwajibkan dan dilarang oleh agama.
Berbagai renungan dalam buku ini juga didorong antara lain oleh observasi keterpurukan sebagian besar Muslim di dunia selama beberapa ratus tahun terakhir. Banyak sudah analisis sejarah dan ilmiah ditulis oleh ahlinya tentang berbagai penyebabnya. Salah satu penyebabnya yang mendorong penulis untuk merenung adalah pemahaman tentang agama yang menurut penulis telah guncang dan meleset karena berbagai trauma kolonialisme dan kekalahan Muslim dalam sejarah modern.
Sebagai akibatnya Muslim mencari perlindungan di balik tirai-tirai konservatisme dan kekolotan. Muslim lebih banyak melihat ke belakang pada masa “kejayaan” Islam daripada ke depan dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan kemakmuran. Agama dipakai sebagai alat defensif untuk membela diri. Bukan sebagai pendorong untuk kemajuan. Simbolisme lebih ditonjolkan daripada kerja dan hasil nyata.
Sebaliknya di bagian dunia Islam lain, agama telah menjadi ajang permusuhan dan perpecahan antarsesama Muslim. Perang saudara antarsesama penganut agama tak terhindarkan. Agama ditunggangi oleh nafsu kekuasaan dan yang dicari bukan pemahaman untuk mencari kebenaran tetapi pembenaran terhadap perilaku yang sesungguhnya jauh dari Islam.
Ringkasnya, agama itu bisa bermanfaat tetapi bisa pula merusak dan mengacau kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Agama tidak netral. Tinggal terserah kita bagaimana mau memaknai agama. Sejarah telah membuktikan bahwa agama bisa menginspirasi tumbuhnya peradaban yang tinggi tetapi juga bisa menghancurkannya lewat perang yang menyengsarakan dan mengorbankan jutaan jiwa manusia.
Sebagai sumbangan pemikiran bagi kita semua, harapan penulis Allah meridhoi upaya sederhana ini. Terima kasih tak terhingga kepada semua yang telah mengilhami berbagai renungan penulis ini dan mendorong penulis untuk menerbitkannya dalam bentuk buku. Bila ada kesalahan dan kecerobohan dalam buku ini, maka itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Penulis dengan senang hati bersedia menerima kritik dan koreksi dari manapun datangnya.
Hanya dengan taufik dan hidayahNya kita semua akan menemukan dan menelusuri jalan yang lurus, jalan yang di atasnya diberi kenikmatan dan dijauhkan dari murkaNya. Amiin.
Catatan:
Naskah ini, dipetik dari Pengantar Abdillah Toha dalam buku "Buat Apa Beragama?”, tertanggal Jakarta, Agustus, 2020.
Dengan mengucap "Bismillahirrahmanirrahim". "Buku dihadapan anda ini adalah kumpulan tulisan dan renungan penulis selama beberapa waktu yang tersebar di berbagai media cetak dan elektronik. Saya beri judul “Buat Apa Beragama?” karena tema dari berbagai topik yang dibahas disini memang upaya saya untuk memahami agama dengan benar. Memahami apa sebenarnya makna dan manfaat agama bagi Muslim seperti saya." (Abdillah Toha)
Advertisement