Jangan Ada Dusta Solar Nelayan
Oleh: Oki Lukito
Gubernur Khofifah Indar Parawansa beberapa waktu lalu saat berkunjung ke Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan memastikan pasokan dan distribusi solar subsidi di wilayah Jawa Timur aman. Hal tersebut dikatakan setelah mendengar keluhan dari sejumlah nelayan bahwa solar mudah didapat di awal bulan dan pihaknya melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk memastiakan solar subsidi tersedia hingga akhir bulan.
Fakta di lapangan berkata lain. Achmad Rofik misalnya, sudah lebih dua minggu tidak melaut. Bersama sejumlah nelayan lainnya di pelabuhan perikanan Pasongsongan, Sumenep, Rofik terpaksa menganggur. Bukan hanya kenaikan harga solar subsidi penyebabnya, tapi kelangkaan solar juga membuat nelayan Pasongsongan terpuruk. Kuota solar subsidi untuk nelayan di Pasongsongan hanya 32 kilo liter per 10 hari. Jumlah tersebut hanya cukup untuk 20 unit kapal, padahal di Pasongsongan ada 80 kapal berukuran 18 GT. Stasiun Pompa Bahan Bakar Nelayan (SPBN) di Pasongsongan milik pribadi dan dikelola secara perorangan dan tidak tersentuh koperasi nelayan. Sedangkan nelayan yang tidak mendapatkan solar di SPBN harus membeli solar di SPBU di luar pelabuhan.
Kesulitan solar juga dialami nelayan Mayangan, Kota Probolinggo. Kuota SPBN yang dikelola Pertamina hanya dipasok sekitar 50 ton per bulan. Jumlah tersebut jelas tidak bisa memenuhi kebutuhan sekitar 200 lebih kapal ikan di Mayangan dan kapal ikan yang ada di Pulau Gili Ketapang. Kekurangan solar sekitar 30 ton dibeli dari SPBU menggunakan drum yang diangkut truk. Harganya Rp 7 ribu per liter sampai di kapal. Mayangan salah satu pelabuhan ikan terbesar dan andalan Pemprov Jatim yang dibangun hampir setiap tahun dan sudah menghabiskan dana sekitar Rp 700 miliar.
Di pelabuhan ikan Grajagan, Banyuwangi yang sedang dibangun (proyek multi years) dan menelan APBD Jatim Rp 100 miliar lebih selama 5 tahun ini, ratusan nelayannya membeli solar di SPBU di desa Karetan lokasi terdekat dengan Grajagan berjarak 12 Km. Jika beli sendiri harganya Rp 6.800 per liter tetapi jika minta diantar atau pembelian secara kolektif sampai di tempat harganya lebih dari Rp 7 ribu per liter. Grajagan contoh pelabuhan yang tidak memprioritaskan kemudahan solar untuk nelayannya. Padahal salah satu fungsi pelabuhan perikanan memfasilitasi kelancaran kegiatan kapal perikanan, selain memfasiliatasi produksi dan pemasaran hasil perikanan serta pelayanan kesyahbandaran. Lalu untuk apa dibangun jika tidak memberi manfaat untuk nelayan.
Demikian pula aktivitas Nelayan Di Popoh dan Sine, Tulungagung tidak optimal karena suplai solar subsidi terbatas. Jumlah Kapal pengguna solar di Popoh sebanyak 21 kapal kebutuhannya saat musim ikan 10.500 liter/hari sedangkan di Sine jumlah kapal 11 unit kebutuhan solar saat musim ikan 4.400 liter/3 hari. Nelayan membeli solar di SPBU sekitar 10 km dari pelabuhan karena di Popoh belum ada SPDN dan pelabuhannya juga sedang dibangun.
Di pelabuhan ikan Pancer, Banyuwangi jumlah kapal 10-30 GT ada 48 unit. Kapal kapal ini biasanya menangkap tuna dan ikan pelagis, sedangkan kapal di bawah 10 GT kurang lebih 700 kapal. Adapun beaya operasional untuk penangkapan di fishing ground atau rumpon (25-30 mill) berlangsung selama 4-5 hari, kurang lebih membutuhkan biaya Rp 7,5 juta serta menghabiskan 300-400 liter solar per kapal. Solar subsidi tersebut dibeli di SPBU karena belum tersedianya SPBN di Pancer. Harga solar lebih mahal karena dikenakan biaya trucking untuk mengangkut solar dari SPBU ke Pelabuhan Pancer yang berjarak 15 Km. Sementara di Pelabuhan Ikan Muncar, kapal kapal dilayani dua SPBN yang berlokasi di Muncar dan Brak Kalimoro walaupun tidak dikelola koperasi nelayan tapi bisa melayani kebutuhan melayan Muncar.
Koperasi Mina Tenggelam
Dari 17 pelabuhan perikanan besar di Pesisir Selatan dan Pantura Jatim, hanya di Pondokdadap, Kabupaten Malang yang mempunyai unit koperasi Mina atau koperasi nelayan. Koperasi Mina Jaya selain mampu mengelola lelang ikan di TPI Pondok Dadap juga secara profesional mengelola SPBN untuk melayani ratusan kapal purse-seine, jukung dan sekoci. Keberhasilan Mina Jaya mengelola usaha koperasi nelayan patut dicontoh dan berulangkali mendapat penghargaan nasional. Sementara di Pacitan yang juga seperti Pelabuhan Pondokdadap sebagai penghasil utama ikan tuna, cakalang dan tongkol (TCT), koperasi nelayannya terpuruk dililit pinjaman di Bank padahal dulu mampu mengelola SPDN di Pelabuhan Tanperan. Jawa Timur bisa dibilang gagal membina koperasi nelayan seiring tenggelamnya Pusat Koperasi Nelayan Jawa Timur (Puskud Mina Jatim) yang pernah jaya di era tahun 90 an dengan asset puluhan kapal ikan dan tanah di sejumlah daerah.
Melihat kenyataan ini menjadi tanda tanya besar rencana pemerintah yang akan melibatkan BUMN melaui Pertamina menyalurkan solar bersubsidi kepada nelayan melalui koperasi. Sebab tidak ada koperasi nelayan di Jawa Timur yang hidup dan beroperasi mengelola SPBN. Yang masih beroperasi bisa dihitung jari seperti di Brondong, Lamongan mengelola usaha simpan pinjam bukan mengelola SPBN atau usaha pelelangan ikan seperti di Pondokdadap. Demikian pula rencana Kementerian Koperasi dan UMKM yang akan menggulirkan program Solusi Solar Nelayan. Program yang akan melibatkan koperasi nelayan untuk menyalurkan solar bersubsidi agar nelayan bisa mendapatkan solar dengan harga subsidi pesimis bisa berhasil. Perlu dicatat keberadaan koperasi nelayan kalah dengan keberadaan rentenir dan juragan kapal yang menguasai urat nadi kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir umumnya.
Solusi yang sangat mungkin dilakukan agar penyaluran solar bersubsidi tepat sasaran dan harganya sesuai dengan ketentuan yaitu Rp 8.600 per liter, melibatkan Kelompok Masyarakat (Pokmas) Nelayan yang selama ini sudah dimanfaatkan untuk mengakses fasilias dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pokmas ini umumnya sudah berbadan hukum dan terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Petra Shop nantinya dikelola kelompok nelayan dan tidak memungut keuntungan dari penjualan solar subsidi akan tetapi statusnya disamakan dengan pengelola SPBU, SPBB, SPBN atau penyalur BBM bersubsidi lainnya yang mendapatkan insentif dari Pertamina antara Rp 150-200 per liter.
*Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan, Dewan Pakar PWI Jawa Timur.
Advertisement