Jamu Empot Super, Pernah Dengar? Jamu Super Intim Buat Perempuan, Paling Top Markotop dari Bangkalan Â
Sudahkah ngopi pagi ini?Atau, nanti malam dinner dimana? Ini mah pertanyaan sangat standar. Sudah umum, sudah biasa, dan mungkin memang selayaknya begitu. Coba kalau tanyanya begini: sudahkah minum jamu? Heiii kalian para perempuan, sudahkah coba jamu Empot Super? Ini baru pertanyaan yang keren dan jarang terjadi.
___________
Bicara jamu tradisional, jamu yang rada-rada eksotis, namanya juga mengundang decak, tak bisa orang di nusantara ini melewatkan Madura. Apalagi kalau sudah bicara pamor, pasti sulit mencari tandingan jamu atau ramuan dari Madura.
Zaman memang sedang menggelinding dahsyat. Sedikit-sedikit bilang now, sedikit-sedikit juga bilang old. Lalu siapakah yang minum jamu sekarang ini? Masih adakah yang minum jamu? Jawabnya hanya ada dua: masih ada dan tidak ada. Dus... tertutup kemungkinan untuk jawaban ketiga.
Tapi itu tak menjadi masalah, demikian menurut Haji Muhammad Sholeh, pemilik brand Jamu Sumber Madu di Bangkalan Madura. Tetap saja jamu ada peminatnya. Memang kalau harus bertarung di Pasar Bebas ASEAN, atau pasar-pasar modern lain, jamu model beginian sungguh berat dikandung badan.
“Pasar masih ada. Tidak besar, tapi cukup kalau buat bertahan. Memang, bertarung, dan untuk bertahan di tingkat lokal cukup sulit, tapi masih bisa diupayakan. Tapi jujur saja mas… yang tradisional seperti kita acapkali dikalahkan dengan jamu bikinan pabrik. Kita selalu merasa dipersulit untuk melakukan produksi, dll,” ujarnya Haji Muhammad Sholeh.
Dikatakan Abah Sholeh, demikian sapaan sehari-hari penerus usaha jamu Sumber Madu turun-temurun ini, sejak jaman Belanda moyang kita sudah berproduksi jamu tradisional. Hingga selama itu, bahkan sampai hari ini, tidak pernah ada mendapatkan keluhan dari peminum jamu di Sumber Madu.
“Tapi kita ini sulit mendapatkan perizinan. Kita tidak alergi dengan izin, bahkan menurut saya itu harus, dan semestinya izin itu disederhanakan. Jangan diribetkan seperti sekarang. Satu nomor izin jamu kita membayar 10 juta. Itu tidak masalah sebenarnya. Kita sanggup. Tapi setelah mengurus, baru enam bulan mendapatkan kabar apakah izin itu bisa berlanjut atau tidak. Nah selama enam bulan itu kita kan tidak bisa berproduksi,” terangnya.
Abah Haji Muhammad Sholeh mengaku tidak bisa membayangkan mekanisme pasar kalau ribetnya izin saja seperti sekarang. Bagaimana perajin jamu tradisonal dengan cepat bisa merespon pasar yang sudah global seperti ini. Boleh jadi, pasar lokal malah sudah kebanjiran jamu-jamu tradisional yang pamornya lebih menonjol dari yang dipunyai Madura. Jamu dari China misalnya. Atau jamu dari Thailand.
Kendati cukup sulit membayangkan seperti apa wajah jamu tradisional di era zaman now ini, Sumber Madu tetap mencoba memanfaatkan pelung-peluang pasar yang ada. Termasuk membuka pasar lewat perdagangan online. Memang tidak dikerjakan sendiri, tetapi bekerja sama dengan anak-anak muda yang berbisnis lewat internet.
Menyadari berbisnis secara modern membutuhkan performa yang lebih terhadap produk, maka Sumber Madu yang turun-temurun bergerak secara tradisional pun ikut berbenah. Kemasan adalah salah satunya yang digarap. Dengan kemasan baru dan cantik memungkinkan item-item produksi jamu dan sabun kecantikan Sumber Madu bisa dikirimkan ke tempat yang jauh. Melewati batas pulau, laut, dan udara.
Negara Jepang dan sedikit Korea adalah pasar tetap jamu produksi Sumber Madu. Permintaan datang dari orang Jepang yang suka pelesir di Bali. Dari Bali kemudian menyebar ke Negaranya. Jamu yang diminta adalah jamu untuk perempuan dan sabun untuk kecantikan wajah.
“Mereka suka dan cocok. Cocok dengan cara tradisional yang kita pertahankan saat berproduksi. Memang dalam produksi kita nyaris tidak menggunakan peralatan modern. Murni mengandalkan ketrampilan atau handmade, intuisi, dan doa,” terang Abah Sholeh.
Orang Jepang mempunyai gudang di Bali. Dari Bali kemudian baru naik kontainer dan melanglang buana menuju negara tujuan. Untuk jamu perempuan, paling melekat orang Jepang sangat menyenangi jenis Sabun Rapet, Galian Rapet, Harummita atau Empot Super. Semuanya adalah jenis jamu untuk mengencangkan kewanitan.
“Orang Jepang itu seperti orang Indonesia, suka kalau kewanitaan kencang-kencang untuk membahagiakan suami,” canda Abah Sholeh yang mewarisi bisnis turun-temurun ini sejak tahun 1984.
Untuk jamu kualitas tinggi seperti itu, atau kualitas ekspor seperti yang disebutkan, Sumber Madu tidaklah tergolong mahal. Cukup murah. Harga eceran per kemasan hanya Rp 12.000 dengan volume 100 butir jamu.
Kemasan yang besar 250 butir jamu, dengan harga dua kali lipatnya. Namun pasaran lebih menyenangi kemasan yang kecil. Untuk ekspor kemasan khusus harganya hanya Rp 130.000 dengan kemasan 12 paket. Cukup murah bukan, padahal bahan-bahan khusus ada yang didatangkan dari Irak, Iran, juga Yaman. Sementara bahan baku impor naik turun berdasarkan harga dolar. (widikamidi)