Jami’in, Mandor Bangunan Tampung Ribuan ODGJ Gratis di Jombang
Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi, di Griya Cinta Kasih Desa Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang . Puluhan penghuninya nampak baru saja bersenam pagi. Berikutnya mereka nanpak lahap menyantap nasi menu sarapan hari itu. Sebagian duduk di kursi, banyak pula yang makan sambil jongkok, berkerumun dengan lainnya.
Setelah kenyang, tanpa menunggu diingatkan, puluhan dari mereka bergantian mandi. Wangi sabun dan sampo menyeruak mengikuti aktivitas mereka berjemur setelah mandi, sebagian bertelanjang dada, berceloteh dengan rekan yang lain, meski ada pula yang memilih berdiam di dalam kamar, dan tampak murung.
Mereka adalah penghuni tempat penampungan orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) yang dikelola Jami’in, sejak 2003. Tak terhitung berapa banyak orang yang datang dan pergi. Kini terdapat 270 penghuni 12 kamar di panti tersebut. Ada laki-laki dan perempuan, ODGJ itu tinggal dengan cuma-cuma, hingga mereka siap keluar dan hidup mandiri dengan bekerja.
Obati dengan Kasih Sayang
“Waktu itu saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, ada petugas membuang orang gila dan gelandangan. Saya ingin membantu mereka, saya mempertanyakan katanya orang miskin dan gelandangan dipelihara negara namun kenyataannya tidak” kata Jami’in kepada Ngopibareng.id pada Kamis, 4 Juni 2020.
Jami’in mengisahkan ihwal mengapa dia mendirikan panti untuk ODGJ. Tahun 2000an, dia mulai mempraktikkan bebas-pasung. Jami’in membebaskan siapapun ODGJ yang dipasung dan memberi jaminan kepada pihak keluarganya.
Pekerjaanya sebagai mandor bangunan yang sering berpindah tempat, memudahkannya mendapat informasi tentang pasung dan ODGJ.
Tahun 2003 ia mulai membangun Panti Griya Cinta Kasih, hingga resmi berdiri dan mengantongi payung hukum di tahun 2008. Sejak 2003, ribuan ODGJ keluar masuk dari tempatnya.
Kini ia dibantu 12 relawan yang semuanya tidak memiliki latar belakang sebagai psikiater pun psikolog. Jami’in yang hanya mengantongi ijazah SD mengaku merawat ODGJ dengan kasih sayang, mengaji, dan membaca salawat.
Meski sederhana, namun ia menyebut metodenya efektif. Rata-rata 80 persen dari ODGJ yang pernah tinggal di tempatnya, bisa kembali hidup mandiri, bahkan sebagian juga bekerja menjadi buruh pabrik di sekitar Jombang.
Kini 270 pasien di tempatnya, disebutnya hampir sembuh. “Sekitar 60 persen hampir waras. Mereka bekerja di pabrik plastik, peternakan, pertanian, sesuai keahlian masing-masing,” katanya.
Menjelang siang, penghuni banyak kembali ke kamar masing-masing. Jami’in membangun 12 kamar masing-masing berukuran 5x11 meter per segi. Tujuh kamar untuk penghuni laki-laki, dan lima kamar untuk penghuni perempuan.
Ada sekitar 15 orang di dalam kamar. Mereka tidur di atas alas tikar yang terbuat dari plastik. Jami’in menyebut, tikar plastik memudahkan pihaknya untuk membersihkan ruangan jika ODGJ buang air kecil atau besar di atasnya.
Kamar juga didesain menyerupai sel. Ada teralis besi yang berjajar sekaligus menjadi jendela di beberapa kamar tersebut.
Tudingan Miring
Di awal berdiri, ia banyak menerima tudingan buruk, mulai dari mengembangkan ajaran sesat lantaran salat yang aneh, hingga tuduhan melanggar pasal yang berkaitan dengan badan hukumnya. “ Saya dituduh sesat karena salatnya ngawur. Ya mereka itu orang gila, tahu sendiri kan bagaimana salatnya” ujarnya.
Belum lagi adanya pemberitaan buruk akibat pasien memiliki sejumlah luka yang meninggal. Sementara, ia sering mendapat pasien non ODGJ dari pemerintah di Jombang, misalnya pasien yang sakit dengan luka di kepala dan kaki patah, di tahun 2008.
Meski ia menyatakan tak memiliki tenaga medis, namun permintaan tetap masuk dan ia pun iba. Selain itu pihak dinas terkait berjanji menyediakan layanan kesehatan si pasien. Sayangnya pada praktiknya hal tersebut tidak ada.
“Saya sebenarnya mau nolak karena di sini nggak ada medis, mereka kondisinya parah lukanya. Tapi saya juga kasihan kalau nanti dibuang. Petugas hanya menyerahkan pasien tetapi lepas tangan dan tidak ada pertanggungjawaban sama sekali” ceritanya.
Bantuan dari Pemkab dan Australia
Sementara, untuk mengelola pantinya, sejak awal selalu menggunakan uang pribadinya. Setiap bulan ia harus merogoh kocek ratusan juta untuk kebutuhan makan dan yang lain. Untuk 270 ODGJ saja, ia butuh Rp175 juta sebulan, untuk makan, listrik, air, sabun cuci, pakaian, bensin, juga bangunan yang rusak.
Dana tersebut didapatnya dari saham yang dia investasikan pada penjualan kontainer, peternakan sapi dan saat menjadi mandor bangunan. Dia bahkan sudah menjual 4 mobil, 12 sapi, dan satu sepeda motor untuk kebutuhan ODGJ di panti nya.
Namun sejumlah bantuan juga datang. Sejak tahun 2009 Jami’in mendapat bantuan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab Jombang). Jumlahnya tiap tahun naik, mulai dari Rp 20, 145, 148, 150 dan 183 juta setiap tahunnya. Selain itu, terdapat juga bantuan dari pemerintah pusat selama tiga tahun terhitung sejak tahun 2013, sejumlah Rp 183 juta.
Pemerintah luar negeri seperti Jepang dan Australia pun tak mau kalah. Ada yang menyumbang bangunan sejumlah Rp1 miliar, serta sebuah kendaraan ambulans. Di samping itu Jami’in juga memperoleh beberapa penghargaan dari stasiun televisi swasta serta Presiden Jokowi karena aksinya itu. Tetapi yang dia butuhkan adalah dukungan bantuan logistik secara berlanjut.
“Saya butuh dibantu logistiknya secara kontinyu, makan itu kebutuhan pokok. Sumbangan dari pemerintah per tahunnya belum mencukupi kebutuhan” tutupnya.
Advertisement