Jalil Latuconsina; The Brave Heart
Oleh: Ferry Soe Pei’i
Kepergian Abdul Jalil Latuconsina, aktivis mahasiswa 77 – 78, meninggalkan banyak kenangan yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh para aktivis mahasiswa pada masa itu. Karena Jalil termasuk salah satu aktivis yang cukup berperan dalam dalam berbagai aksi mahasiswa sepanjang tahun 1977 – 1978 terutama di kota Surabaya.
Jalil sebagai ketua Senat Mahasiswa APK, dikenal bukan hanya memiliki kemampuan menggalang mahasiswa dalam berbagai demo namun juga punya keberanian untuk selalu berada didepan barisan berhadapan dengan sangkur terhunus pasukan anti huru hara yang menghadang setiap aksi demo yang dilancarkan oleh mahasiswa Surabaya kala itu. Berikut ini adalah sekelumit catatan tentang peran Jalil dalam aksi mahasiswa sepanjang tahun 1977 – 1978.
Awal tahun 1977 dunia kampus dan kemahasiswaan baru saja memperoleh kembali dinamikanya yang hilang karena peristiwa Malari, demo mahasiswa yang berbuntut pada pembakaran pusat perbelanjaan Pasar Senen di Jakarta. Beberapa tahun setelah peristiwa Malari yang terjadi pada tahun 1974 itu, kebebasan mimbar akademik yang diberangus dengan SK Menteri P & K No. 028 dipulihkan kembali oleh penguasa.
Di berbagai kampus kebebasan berbicara dan berserikat terlihat kembali. Akan tetapi di luar kampus, demokrasi tetap tidak pernah ada. Rakyat masih tetap tidak memiliki hak berpolitik. Pemilu yang diadakan sejak tahun 1972 tetap penuh dengan rekayasa untuk memenangkan partai penguasa. Di berbagai daerah penguasa tak segan-segan mengerahkan tentara untuk memaksa para pemilih agar memberikan suaranya kepada Golkar.
Sebenarnya penguasa menghidupkan kembali kebebasan mimbar akademik hanyalah sekedar untuk dipertontonkan kepada dunia internasional, seakan-akan mereka tidak anti terhadap demokrasi. Terutama terhadap negara-negara pemberi bantuan dan utang bagi negeri ini, khususnya Amerika yang kerap mempersoalkan keenganan Suharto yang belum begitu lama berkuasa, untuk menghidupkan demokrasi di negeri ini.
Moral Force
Ditengah situasi seperti itu memang tidak mudah bagi setiap kampus untuk menyelenggarakan kebebasan mimbar akademik yang baru saja diperolehnya itu. Di satu pihak timbul keinginan yang amat kuat guna memanfaatkannya untuk mendorong mewujutkan perubahan terhadap penyelenggaraan negara yang makin melenceng dari konstitusi dan aspirasi rakyat. Namun dilain pihak juga ada kekhawatiran kesalahan masa lalu bisa terulang kembali.
Kampus terutama mahasiswa bisa dimanfaatkan dan terseret dalam kepentingan politik tertentu sebagaimana yang pernah dialami oleh gerakan mahasiswa tahun 1966 mau pun Malari pada tahun 1974. Gerakan mahasiswa 1966 adalah gerakan mahasiswa yang sukses menumbangkan Sukarno karena didukung oleh tentara. Sebaliknya Malari (Malapetaka Lima Belas Januari), sebutan penguasa terhadap demo mahasiswa di Jakarta pada tanggal 15 Januari 1974, adalah gerakan mahasiswa yang dituduh oleh penguasa didalangi oleh kelompok kanan (PSI). Pada hal demo itu disusupi oleh tentara dan preman hingga berujung pada tindakan anarkhi, yang memberikan alasan kepada penguasa untuk mengadili dan memenjarakan sejumlah tokoh mahasiswa.
Itulah sebabnya gerakan dan aksi-aksi mahasiswa yang muncul sepanjang tahun 77 -78 dengan dalih sebagai “moral force” selalu menjaga jarak terhadap berbagai kekuatan sosial politik yang ada. Sehingga muncul kontrol dan saling mengawasi yang sangat ketat diantara sesama aktivisnya terhadap setiap interaksi yang dilakukan masing-masing dengan pihak di luar kampus, yang sering berubah menjadi saling mencurigai.
Unggul Roseno, aktivis mahasiswa ITS, sempat diadili dalam sebuah forum terbuka di kampus IKIP. Ia dicurigai sebagai informan tentara pada saat dilakukan demo besar-besaran mahasiswa memperingati Hari Pahlawan di Tugu Pahlawan Surabaya pada November 1977. Pasalnya demo yang dilancarkan kali itu tidak berlangsung seperti biasanya, seribu lebih mahasiswa yang turun ke jalan dari kampus ITS Baliwerti menuju Tugu Pahlawan sama sekali tidak dihadang oleh tentara. Mereka justru memperoleh pengawalan dari sepasukan tentara komplit dengan tank, panser, mobil kanon air dan penyengat listrik. Oleh sebab itu Unggul yang telah ditunjuk sebagai koordinator aksi dalam demo dituding telah membocorkan rencana demo hari itu kepada tentara.
Unggul memang bukan intel, juga bukan informan. Akan tetapi selama berlangsungnya situasi yang memanaskan suhu politik karena memuncaknya gerakan mahasiswa anti Suharto, berbagai kampus memang banyak disusupi intel yang bukan hanya memantau tapi juga mendorong tindak kekerasan terhadap setiap aksi dan demo yang dilancarkan oleh mahasiswa. Termasuk tindak kekerasan pasukan anti huru hara dalam membubarkan demo di kampus IKIP Surabaya.
Jalil Latuconsina
Sebenarnya demo di Kampus IKIP Surabaya (sekarang Unesa) tidak akan pernah terjadi jika Jalil Latuconsina, salah seorang aktivis mahasiswa, bisa menerima kesepakatan rapat DM-SM (Dewan Mahasiswa – Senat Mahasiswa) se-Surabaya mengenai demo di kampus IAIN Sunan Ampel yang akan diselenggarakan untuk memperingati hari Tritura pada tanggal 10 Januari 1978.
Saat itu para peserta rapat sepakat, bahwa demo akan dilakukan hanya sebatas di dalam kampus saja. Pertimbangannya, jalan di depan kampus IAIN, Jl. A. Yani adalah jalan raya yang padat dengan lalu lintas kendaraan karena merupakan pintu keluar masuk ke Surabaya. Jika demo dilakukan disitu pasti menimbulkan kemacetan luar biasa yang akan menyusahkan pengguna jalan. Sehingga dikhawatirkan bisa menimbulkan opini yang tidak simpatik terhadap demo mahasiswa. Akan tetapi Jalil, ketua Organisasi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta, berpendapat lain. Ia menilai demo di dalam kampus tidak akan efektif, aspirasi yang disuarakan melalui demo tidak akan pernah diketahui secara langsung oleh masyarakat. ”Itu sama halnya kita melakukan onani”, katanya sengit.
Karena itu ketika para pentolan mahasiswa Surabaya melakukan rapat untuk menyusun statement yang akan disampaikan kepada pers tentang demo di kampus IAIN Sunan Ampel hari itu, Jalil memilih tetap berada di luar. Ratusan mahasiswa peserta demo yang tengah berorasi bergantian dan membeberkan poster serta spanduk berisikan hujatan terhadap penguasa ia kumpulkan dalam sebuah barisan besar yang kemudian ia ajak keluar menuju Jl. A. Yani.
Tentu saja para aktivis yang sedang rapat menjadi kalang kabut ketika mengetahui demo dialihkan oleh Jalil kejalan. Mereka berhamburan keluar meninggalkan rapat menuju barisan mahasiswa yang memadati jalan. Begitu pula PHH (Pasukan Anti Huru Hara) yang tengah disiagakan di Markas Polda Jatim yang berada tepat di depan Kampus IAIN segera bergerak menghadang mereka. Di tengah-tengah kemacetan lalu lintas sejumlah aktivis mencoba melakukan negosiasi dengan Mayor Sutarmas, komandan pasukan, untuk mencegah bentrokan antara peserta demo dengan pasukan PHH. Akhirnya disetujui demo digeser ke kampus IKIP yang berjarak sekitar 5 km dari kampus IAIN. Maka demo berubah menjadi long march dari kampus IAIN ke kampus IKIP dibawah pengawalan PHH.
Provokasi
Sesampainya di kampus IKIP demo dilanjutkan dengan orasi dari para aktivis. Sedangkan pasukan PHH tetap mengawasi dari luar kampus di balik pintu pagar gerbang kampus yang tertutup. Sementara itu tak jauh dari lokasi demo di antara gerumbulan pohon pisang yang banyak tumbuh di areal kampus ada empat orang terlihat serius mengawasi jalannya demo. Saya mencoba mendekati mereka, karena salah seorang diantaranya adalah mahasiswa yang cukup saya kenal.
Saat berjalan mendekati mereka, terlihat salah seorang memungut sebongkah batu yang ada di depan kakinya kemudian melemparkannya ke arah pasukan PHH dan diikuti oleh yang lainnya. Dalam sekejap kemudian pasukan PHH yang terprovokasi oleh lemparan batu mereka itu dengan sangkur terhunus mendobrak gerbang kampus menyerbu para mahasiswa. Suasana demo yang semula penuh antusiasme terhadap orasi mengkritisi penguasa yang disampaikan oleh para tokoh mahasiswa berubah menjadi kekacauan.
Sebagian demonstran berhamburan berlarian meninggalkan barisan berusaha menyelamatkan diri, akan tetapi banyak yang sengaja tidak beranjak dari tempatnya mencoba melakukan perlawanan terhadap serbuan pasukan PHH. Tak ayal kegaduhan pun terjadi, penuh dengan jerit kesakitan mahasiswa yang terkena hantaman popor senapan dan tusukan sangkur. Penyerbuan terhadap para demonstran itu berlangsung cepat dan singkat. Pasukan PHH segera menarik diri meninggalkan para demonstran yang bergeletakan terkapar bersimbah darah di lokasi demo. Sementara itu ketika sayasebagai wartawan berusaha memotret tindakan kekerasan tentara yang dipicu oleh pelemparan batu yang dilakukan para intel itu tak berkutik, ketika salah seorang diantara mereka mendekat sambil menodongkan pistol meminta agar saya mengeluarkan film dari tustel saya.
Menyulut
Tindakan kekerasan yang diperlihatkan oleh tentara dalam menghadapi demo di kampus IKIP bukannya menyurutkan gerakan anti Suharto dikalangan mahasiswa. Justru peristiwa itu menyulut demo dan aksi mahasiswa meluas di berbagai kampus seantero negeri. Kecaman terhadap penguasa yang dianggap bertanggung jawab terhadap aksi brutal pasukan PHH itu bermunculan dari berbagai pihak, bahkan dari tokoh-tokoh yang selama ini hanya berdiam diri dalam menyaksikan gerakan anti Suharto yang muncul dikalangan mahasiswa.
Demo di kampus IKIP Surabaya itu merupakan demo terakhir yang dikoordinir oleh DM – SM sebagai organisasi intra kurikuler mahasiswa. Karena seminggu kemudian untuk menggagalkan aksi dan demo besar-besaran mahasiswa yang dirancang akan dilakukan dengan serentak di setiap kampus di seluruh Indonesia sebagai peringatan terhadap tragedi berdarah di kampus IKIP Surabaya itu, tentara tak segan-segan melakukan blitzkrieg, penyerbuan kilat ala Hitler, terhadap setiap kampus terutama yang dicurigai menjadi pusat gerakan dan aksi-aksi mahasiswa.
Kantor sekretariat Senat dan Dewan Mahasiswa yang menjadi pusat gerakan mahasiswa di setiap kampus diobrak abrik, digeledah dan disegel dengan paksa. Para mahasiswa yang sedang bersiap-siap melakukan demo ditangkapi. Pada akhir Januari 1978, Menteri Pendidikan memberlakukan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) yang intinya adalah pemberangusan terhadap kebebasan mimbar akademik. Dewan Mahasiswa yang telah ditetapkan sebagai organisasi intra kurikuler mahasiswa dibubarkan karena dianggap telah melakukan politik praktis dalam kehidupan kampus. Sebuah babak baru muncul dalam kehidupan kampus di Indonesia.
Anti Klimaks
Pendek kata penangkapan para aktivis mahasiswa pada hari itu telah menciptakan anti klimaks dalam gerakan mahasiswa menentang otoritarianisme dan militerisme yang berhasil dibangun oleh Suharto untuk memperkuat cengkeramannya terhadap kekuasaan. Karena sejak saat itu selama 20 tahun mahasiswa di berbagai kampus mengalami depolitisasi yang sangat luar biasa.
Di Surabaya ada sekitar 104 mahasiwa yang ditangkap. Jalil dan 9 (sembilan) mahasiswa lainnya dibebaskan paling akhir, sekitar tujuh bulan setelah mendekam dalam sel tahanan. Dia pun sempat menjadi saksi dalam pengadilan terhadap M. Soleh dan Harun Alrasyid, dua orang tokoh mahasiswa ITS yang dituduh melakukan tindak subversi hanya karena kiprahnyamenjadi Ketum dan Sekum DM ITS pada masa itu.
“Selamat jalan Jalil. Kiprahmu sebagai aktivis tak akan pernah terlupakan”.***
*Ferry Soe Pei’i, aktivis wartawan senior, tinggal di Surabaya
Advertisement