Jalan Terakhir Loyalis Kritis Martono
Kali pertama perkenalan saya dengan Martono di Bus Mila Sejahtera. Bus antar kabupaten propinsi. Bus antar kota yang paling nyaman dan ngehits di tahun 1990-an. Dari Jogjakarta ke Surabaya. Dalam perjalanan malam hari.
Itulah kebiasaan Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Jatim yang baru saja meninggal karena Covid-19, Minggu malam. Saat dia sedang menyelesaikan studi paska sarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM). Bolak-balik Jogjakarta-Surabaya dengan Bus Milla.
Malam itu saya sedang ke kantor pusat di Surabaya. Sebagai wartawan Jawa Pos Biro Jogjakarta. Duduk berdampingan dengan sosok gemuk yang kemudian menjadi kawan sampai akhir hayatnya. Yang selama perjalanan malam itu lebih banyak mengajak bicara.
Sejak perkenalan itu, Martono pun rajin hadir setiap saya menggelar diskusi terbatas di kantor Jawa Pos Jogja. Agenda yang sering saya adakan untuk mengumpulkan mahasiswa S-2 asal Surabaya di Jogja. Membahas berbagai isu kota ini.
Hasil diskusi terbatas mereka selalu menjadi berita di koran yang dibesarkan Dahlan Iskan. Tak jarang menjadi headline di halaman utama. Sebagian dari mereka menjadi penulis tetap di koran itu. Seperti Haryadi, dosen Fisip Unair yang menjadi karib Martono.
Saya agak lupa, ia mengambil studi apa saat kuliah Paska Sarjana UGM. Hanya tahu bahwa ia adalah sarjana hukum yang sedang menekuni ilmu politik. Sehingga lebih banyak berbincang soal politik ketimbang masalah-masalah hukumnya.
Benar saja. Pria yang pernah menjadi anggota Komnas HAM ini lebih dikenal sebagai sosok politisi ketimbang sebagai seorang sarjana hukum. Meski ia secara resmi menjadi dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) dalam sehari-hari.
Setelah dengan kesibukan masing-masing, saya kembali akrab dengan Martono di pertengahan tahun 2000-an. Ketika saya ''terperosok'' di dunia politik dengan menjadi Wakil Walikota Surabaya. Apalagi saat dia mengawal Soekarwo menjadi Gubernur Jatim.
Lantas menjadi penasehat utama tim sukses saat saya mencalonkan diri menjadi walikota Surabaya. Berpasangan dengan kadernya di Golkar, Adies Kadir. Melawan pasangan Tri Risma Harini-Bambang DH. Di tahun 2010.
Sejak saat itu, saya merasakan kehangatannya sebagai sahabat, mentor, dan guru dalam berbagai hal. Ialah salah satu orang yang dengan sabar menemani saya saat orang lain menjauh karena tak menang Pilkada.
Di malam hari setelah coblosan, ia sengaja menyediakan waktunya sampai dini hari di rumah. Berbicara tentang berbagai kemungkinan setelah pelantikan walikota dan wakil walikota baru Surabaya.
Ia menjadi semacam penyambung lidah Pakde Karwo (Soekarwo) Gubernur Jatim, yang nyengkuyung saya menjadi calon walikota. Bersama Saifullah Yusuf alias Gus Ipul yang menjadi wakilnya sejak periode pertama memimpin Jatim.
Martono memang karib Pakde Karwo. Bahkan saya membayangkan hubungan keduanya seperti Pandawa dengan Ki Semar Bodronoyo dalam cerita pewayangan. Menjadi punokawan sekaligus penasehat dan pelindungnya.
Ia pernah bercerita panjang tentang sejarah perkawanannya dengan tokoh Jatim yang kini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo. Perjalanan perkawanan mulai saat masih lara lapa sampai menjadi seperti sekarang.
Sebagaimana Ki Semar dalam pewayangan, Martono lebih menjadi seorang loyalis kritis kepada karib yang menjadi pemimpinnya. Sosok fisiknya pun menyerupai Ki Semar. Tokoh punokawan penjelmaan dari seorang dewa.
Sebagai loyalis kritis, ia selalu bersikap melindungi saat kawannya yang menjadi pemimpin melakukan kebajikan. Kritis saat dirasa ada penyimpangan. Loyalis yang mandiri. Bukan loyalis pembebek.
Itu pula sikap yang ditunjukkan kepada semua pemimpin nasional yang dikenal dan didukungnya. Mulai dari Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono sampai dengan Presiden Jokowi. Martono adalah politisi nasionalis yang delat dengan siapa saja.
Ia selalu memberikan masukan-masukan konstruktif untuk kepentingan negara bangsa selama hidupnya. Melalui forum-forum diskusi yang digelarnya, maupun lewat sejumlah kawan karibnya yang selalu ada di ring satu siapa pun presiden RI paska reformasi.
Dengan menggunakan jalur akademisnya, ia bisa melakukan itu semua. Martono bisa menggerakkan Forum Rektor ketika awal reformasi politik yang berakhir dengan lengsernya Presiden Soeharto. Ia bisa mengajak para ahli hukum negara untuk berkontribusi memikirkan masa depan bangsa.
Ia menjadi salah satu hard disk (penyimpan data) berjalan siapa saja pelaku pembantaian di Jakarta saat terjadi reformasi politik 1998. Sebab, ia menjadi salah satu penelisik pelanggaran HAM yang menyertai perubahan politik setelah rezim otoriter berkuasa 32 tahun itu.
Saya tidak tahu apakah dokumen penelisikannya itu masih ada sampai sekarang. Yang para pelakunya masih banyak yang hidup hingga kini. Bahkan ada yang menjadi orang penting di lingkar kekuasaan negara.
Kalau pun tidak ada, biarlah data itu dibawa Martono ke alam baqa. Menjadi salah satu amalnya sebagai salah seorang penjaga kebenaran kemanusiaan saat dia menjadi anggota Komnas HAM.
Martono mandiri dan digdaya sebagai politisi pemikir yang tak pernah mau menjadi pejabat politik. Tapi ia bukan seorang yang digdaya melawan fitrah manusia yang bisa menyandang sakit dan menua secara fisik.
Badan gemuknya menyimpan potensi berbagai penyakit bawaan. Seperti darah tinggi dan gula darah. Ia pun pernah menyerah ketika terkena serangan stroke pertama. Yang membuat ia harus beberapa hari di rumah sakit karena pendarahan otak.
Akhir tahun lalu, saya mendapat kabar ia sempat dirawat di rumah sakit karena strokenya. Saya pun segera mendatanginya di rumahnya kawasan Prapen Surabaya. Beberapa hari setelah pulang dari tempat ia dirawat. Sesaat setelah Pilkada serentak.
Martono tak mau berterus terang soal sakitnya. Saat itu, ia memang tampak segar bugar. Wajahnya tampak ceria setelah sekian lama saya tak pernah bertemu dengannya. Darinya meluncur banyak nasehat tentang kebaikan.
Kalau pun ia bercerita tentang politik, Martono lebih banyak mengungkap kebaikan-kebaikan sejumlah tokoh yang saya kenal. Tentang bagaimana negeri ini harus memperlakukan mereka semua. Agar bangsa ini lebih baik ke depannya. Termasuk tentang Pak Jusuf Kalla.
Itulah pertemuan terakhir saya dengannya. Hingga mendengar kabar duka, Minggu malam, 14 Februari 2021. Sepuluh menit setelah Martono menghembuskan nafas terakhirnya di RS Husada Utama. Setelah gagal melawan wabah Covid-19 yang ganas.
Ketika terima kabar duka pertama dari Haryadi, saya sedang menikmati hujan yang mengguyur Surabaya di teras rumah. Badan ini langsung lemas. Membayangkan tak akan bisa ikut mengusung keranda jenazahnya. Menuju persemayaman terakhir di dunia fana.
Selamat jalan Pak Martono. Banyak sekali jasa dan kebaikanmu yang belum sempat saya membalasnya.