Jalan Perubahan Anies Versus Politik Norak PDIP
Oleh: Ady Amar
Seharian kemarin, Senin (26 Agustus), semua mata seolah mengarah ke kantor DPP PDIP. Jadwal diumumkannya calon kepala daerah di mana Anies Baswedan akan diusung resmi PDIP. Semua media pemberitaan memberitakan live hingga berjam-jam.
Di mana pun berada sorot mata terus melototi televisi atau media sosial yang menyiarkan acara itu secara langsung, menanti nama Anies Baswedan diucapkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Bergeming meski sumpek dengan suguhan nggeremeng Megawati yang bicara ngalor ngidul tak menentu. Menyambar ke sana kemari. Menyambar siapa saja yang dikehendaki, dan bahkan apa saja yang ada di pikirannya dimuntahkan hingga tak tersisa.
Anehnya semua mata terpaku setia melototi media apa saja. Sedang bagi mereka yang karena sesuatu hal tak bisa melihat siaran langsung, terus saja menanyakan di grup pertemanan, Apa nama Anies sudah disebut Megawati. Berharap akan kabar baik nama Anies disebut. Sampai Megawati lunglai kecapaian nggeremeng, seperti tanpa durasi waktu, tak ada nama Anies disebut-sebutnya.
Beberapa nama pasangan calon kepala daerah disebutnya. Airin Rachmi Diany yang kader Golkar disebut namanya sebagai cagub Banten. Airin pula saat itu yang jadi "mainan" Megawati disemprot tak menentu dengan telunjuk diarahkan padanya.
Saat nama-nama itu disebut, konon Anies Baswedan ada di satu ruangan tersendiri di kantor DPP PDIP. Memang pagi menjelang siang Senin itu, Anies berpamitan pada ibundanya untuk menghadiri undangan PDIP. Rencana ia akan mendapat mandat diusung PDIP sebagai calon kepala daerah Jakarta.
Siang itu beredar foto Anies duduk berdampingan dengan Rano Karno yang akan menjadi wakilnya. Keduanya mengumbar senyum ceria. Foto itu seakan menyuratkan Anies dan Rano Karno resmi akan menerima mandat PDIP.
Di tengah geremengan Megawati yang tak kunjung selesai, beredar pula pernyataan dari elit PDIP Olly Dondokambey, bahwa dipastikan Anies tak akan diusung PDIP. Sebutnya, PDIP akan mencalonkan kadernya sendiri, Pramono Anung dan Rano Karno. Bisa jadi saat itu Anies masih berada di kantor PDIP. Sulit menggambarkan dinamika yang terjadi di internal PDIP saat itu.
Kesimpulan pun diambil, faksi yang menghendaki Anies diusung PDIP sepertinya kalah telak dengan faksi yang tak menghendakinya.
Anies dicalonkan faksi PDIP, itu semata jika ingin memenangi Pilkada Jakarta. Itu yang disampaikan pada Megawati. Sedang yang tak menginginkan PDIP mengusung Anies, itu terlihat lebih pada sikap subyektif-emosional. Seolah itu yang lalu jadi pilihan Megawati.
Semua itu, baik yang menginginkan atau menolak Anies diusung PDIP lebih menggambarkan dinamika panggung depan yang mudah dianalisa. Itu yang lalu jadi suguhan tidak mengenakkan. Seolah hanya itu masalahnya, satu faksi mengalahkan faksi lainnya. Dibuat sempit seolah masalah internal yang lalu mampu menyepak-menendang Anies.
Padahal kisah panggung belakang yang tak disuguhkan pada publik, itu justru bisa jadi peristiwa yang sebenarnya yang mampu menekan PDIP untuk tak berani-beraninya mengusung Anies. Panggung belakang yang memunculkan tekanan pada PDIP itu bisa dipastikan tekanan dahsyat, dan itu mengancam sampai memunculkan pilihan tak mau ambil risiko mencalonkan Anies. Analisa itu yang setidaknya boleh disebut.
Tapi ada tafsir lain yang terjadi di panggung belakang, dan itu tawaran "gula-gula" yang didapat PDIP agar tak mengusung Anies. Sepertinya itu tawaran dari rezim baru yang akan menghuni istana. Tentu nilai fantastis yang didapat. Anies memberi jalan transaksi itu berlangsung.
Maka timpakan saja kesalahan itu pada Anies, yang memilih jalannya sendiri di tengah ketidaksiapan partai politik mengusungnya dengan berbagai alasannya. Kumpulan partai yang tersandera dosa politik, atau yang memilih jalan pragmatisme. Jalan yang memudahkan kartel kekuasaan menguasainya. Anies berada dalam kepungan partai-partai demikian.
Untuk melihat itu semua setidaknya bacaan isyarat yang disampaikan Ketua Umum NasDem Surya Paloh pada satu kesempatan, itu bisa melihat begitu keras penjegalan pada Anies dilakukan. Tentu dengan segala cara. Katanya, "... Saya beritahu Anies, ini bukan momen Anda untuk maju Pilkada Jakarta."
Tapi perlakuan PDIP terhadap Anies lewat pertunjukan norak dan menghina, itu laku politik tak beradab. Meski demikian tak lantas mampu jatuhkan nilai Anies di mata rakyat. Justru Anies akan bernilai sebaliknya.
Dilema Anies saat ini bisa disebut risiko perjuangan memilih jalan tak biasa. Jalan yang diyakininya benar. Jalan bersama rakyat kebanyakan: jalan perubahan.**
*Ady Amar, Kolumnis