Jalaluddin Rumi, Menghabiskan Usia Mencari Allah
Maulana Jalaluddin Mohammad Maulavi yang lebih dikenal dengan sebutan Rumi hingga kini namanya masih bersinar terang berkat karya-karyanya yang memukau. Pemikiran dan karyanya yang berbahasa Farsi telah menyebar ke segenap penjuru dunia dan diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Maulavi adalah arif dan penyair terkemuka Persia abad ketujuh hijriah atau abad ketiga belas masehi. Kebanyakan para peneliti mengungkapkan bahwa Maulavi dilahirkan tanggal enam Rabiul Awal 604 Hijriah, atau bertepatan dengan 30 Desember 1207 Masehi di Balkh.
Ayah Maulavi, Baha Valad memutuskan untuk meninggalkan Balkh, karena situasi politik dan sosial di kota itu yang tidak kondusif akibat ancaman serangan Moghul. Bersama keluarganya, beliau menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan singgah di berbagai kota besar seperti: Nisabur, Baghdad, Syam hingga Hijaz.
Maulavi memiliki berbagai karya terkemuka di antaranya: Makatib, Fihi Ma Fihi dan Majalis Sab’ah dalam bentuk nasr. Di bidang syair, ada Divan Kabir dan Matsnavi-e Maknavi. Selain Makatib yang terdiri dari sebagian surat Maulavi kepada seseorang dan tokoh terkemuka di zamannya, para peneliti meyakini Maulavi tidak memiliki karya lain di bidang tulisan selain syair.
Syair Maulavi disusun oleh murid setianya, Hessamuddin Chilbi, dan ia juga membacakan kembali syair yang ditulisnya kepada Maulavi untuk diperiksa. Kitab Fihi Ma Fihi dan Majalis Sab’ah juga dikumpulkan oleh para muridnya. Fihi Ma Fihi adalah kitab yang merupakan catatan dialog Maulavi di berbagai pertemuan dan kelas.
Divan Kabir yang dikenal dengan nama Divan Shams berisi enam ribu bait syair yang terdiri dari ghazal, rubaiyah dan tarjiat Maulavi.Alasan penamaan kitab syair ini menjadi Divan Shams Tabriz, sebab seluruh syair yang ditulis Maulavi dalam buku ini lahir setelah pertemuannya dengan Shams, yang mengubah jalan hidupnya. Selain itu, ghazal dalam buku tersebut didedikasikan untuk mengingat Shams Tabrizi.
Menurut peneliti sastra Persia, Shafeie Kadkani, unsur-usur afeksi dalam syair Maulavi dari awal hingga akhir menunjukkan keluasan horizonnya. Peneliti sastra Persia tersebut menuturkan, “Horizon pemikirannya seluas semesta, dan masalah partikular dan menengah tidak muncul dalam syairnya.”
Hal tersebut disebabkan karena penguasaan Maulavi terhadap ilmu aqli sangat tinggi. Beliau juga sangat menguasai ilmu-ilmu naqli. Selain berbagai pengetahuannya yang tinggi tersebut, Maulavi juga menggunakan pengalaman yang diperolehnya dalam kehidupan ini sebagai bekal untuk memandang masalah dengan kedalaman dan keluasan horizonnya.
Keluasan alam semesta, dari awal hingga akhir dunia, hubungan Tuhan dan dunia, wahdatul wujud, dan akhirnya masalah manusia serta unsur-unsur yang berkaitan dengannya seperti cinta, kebebasan, kesempurnaan dan jalan yang menghubungkan manusia menuju Tuhan, termasuk pemikiran mendasar yang dituangkan Maulavi dalam bentuk syair yang menawan.
Saking luasnya horizon imaji Maulavi, awal dan keabadian saling terikat dan digambarkan dalam bentuk syair yang menarik. Para kritikus sastra menilainya sebagai karya baru dan orsinil. Maulavi menilai keindahan dalam kesederhanaan dan kenaturalan sesuatu. Ia menggunakan terma baru dan lama dengan penggambaran yang memukau. Untuk mencapai tujuan tersebut, Maulavi menggunakan unsur-unsur penggambaran pendahulunya, tapi dengan makna baru yang memikat dan berbobot.
Doktor Shafeie Kadkanie berkeyakinan bahwa “Kelahiran baru Maulavi terjadi ketika bertemu dengan Shams Tabrizi”. Shams-i-Tabrizi atau Shams al-Din Malekdad Tabrizi adalah orang Tabriz, provinsi Azerbaijan Timur Iran saat ini, dan wafat di Khoy, provinsi Azerbaijan barat.
Shams dikenal sebagai guru spiritual Maulavi. Bahkan Maulavi menulis karya sebagai bentuk penghormatan kepada gurunya itu berjudul Divan-i Shams-i Tabrizi. Makam Shams-i Tabrizi dinominasikan menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO.
Mengenai latar belakang kehidupan Shams, tidak banyak yang dijelaskan oleh para sejarawan. Kebanyakan bersandar kepada perkataan Maulavi mengenai gurunya itu. Menurut pengakuan Maulavi sendiri, Shams adalah orang yang mengenalkan cinta bukan kepemikiran sebagai jalan menuju kebenaran.
Menurut Sipah Salar, teman dekat Rumi yang menghabiskan empat puluh tahun dengan dia, Shams adalah putra Imam Ala al-Din. Dalam sebuah karya berjudul Manaqib al-'Arifīn (eulogi Gnostik), Aflaki menyebut nama Ali sebagai Ayah Shams-i Tabrizi dan kakeknya bernama Malik Dad. Menurut Aflaki, mendasarkan perhitungan Haji Bektasy Wali dalam bukunya Maqālāt, Shams tiba di Konya pada usia enam puluh tahun. Namun, sebagian sarjana meragukannya.
Shams menerima pendidikan di Tabriz dan merupakan murid dari Baba Kamal al-Din Jumdi. Sebelum bertemu Rumi, ia tampaknya melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain sebagai penenun dan menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Haji Bektasy Wali dalam bukunya menjelaskan seorang pria dengan setelan serba hitam dari kepala sampai kaki datang ke penginapan di Konya, namanya Shams-i Tabrizi. Dia mengaku sebagai pedagang keliling. Dia sedang mencari sesuatu di Konya, dan akhirnya bertemu dengan Maulavi.
Sesuai penjelasan Maqālāt, pada akhir Jumadil Akhir tahun 642 Hijriah (akhir Oktober 1244 M) Shams memasuki Konya. Pertemuan antara Shams dan Maulavi terjadi yang dimulai dengan tanya jawab. Kemudian setelah enam belas bulan terjadi interaksi intens antara Maulavi dan Shams, Shams mengunjungi Konya untuk menjumpai Maulavi tahun 643 Hijriah (1245 M).
Pertemuan Maulavi dengan Shams menimbulkan perubahan besar dalam dirinya. Kehadiran Shams di Konya membawa warna baru bagi Rumi. Maulavi sendiri termasuk orang yang tekun belajar sekaligus mufti besar di zamannya. Selain menguasai dengan baik ilmu-ilmu keislaman, ia mengenal dengan baik tasawuf dan Irfan.
Tapi ketika bertemu dengan Shams, Maulavi seolah menemukan jalan baru, yang tidak ditemuinya di masa lalu. Profesor sastra Persia, Doktor Sirus Shamisa mengutip syair Maulavi menjelaskan, “Hangus, dari mentah menjadi matang, az khami beh pokhtegi rasideh bod, sokht”. Jika perjalanan hidup Maulavi dituliskan dengan tiga kalimat,”Dulu mentah, lalu matang dan terbakar. “Kham bodam, pokhteh shodam, sokht”.
Profesor Zerin Koub dalam bukunya “Tangga-tangga menuju Tuhan” menjelaskan tentang pertemuan penting antara Maulavi dan Shams. Pakar sastra Persia ini menuturkan, “Pertemuan dengan orang asing karismatik mengubah kehidupan faqih dan ulama besar Iran di Konya, dan bagi Maulana menjadi awal kehidupan baru. Kehidupan baru seorang zahid dan khatib menjadi seorang arif dan pencinta.”
Di hadapan Shams, Maulavi seolah tampak menjadi murid yang baru belajar alif ba, dan dituntun menuju tiap tangga maknavi yang harus ditempuhnya. Maulavi bertutur:
Zahed keshvari bodam saheb manbari bodam Kard ghaza mara eshgh-o kap zanan to
[dahulu zahid, sang pemilik mimbar
tapi jadi pencinta di telapak tanganmu]
Apa yang disampaikan Shams sebenarnya telah dipelajari dan dijalankan oleh Maulavi sebelum bertemu dengannya. Shams membawa Maulavi menuju alam maknawi yang dahulu dipelajarinya di rumah sang ayah ketika masih kecil. Shams mengingatkan Maulavi dan membimbingnya menuju jalan ketaatan kepada Tuhan dan melepaskan kecintaan kepada dunia dengan jalan cinta. Sebab, keterikatan terhadap dunia menjadi penghalang mencapai Tuhan, sekaligus hijab untuk mencapai fana fillah.
Menurut Zerin Koub, “Maulavi menghabiskan usianya untuk mencari Allah dan dunia ghaib. Meskipun sibuk memberikan nasehat kepada masyarakat dan pelajaran kepada para muridnya, tapi ia tidak pernah meninggalkan pencarian menuju kebenaran. Baginya, Shams adalah kepingan dari alam maknawi. Kehadiran Shams membawa Maulavi menuju insan kamil dan cita-citanya.”
Ketika itu Maulavi meliburkan kelas yang diampunya. Ceramah dan pelajarannya dihentikan. Sebagai gantinya ia menghadiri majlis Shams. Tentu saja kehadiran Maulavi di majlis itu membuat suasana semakin meriah.
Diliburkannya kelas dan ceramah Maulavi membuat sebagian muridnya kecewa. Mereka menuding Shams sebagai penyebabnya. Sebagian dari murid Maulavi mulai melakukan tindakan tercela terhadap Shams supaya Maulavi kembali mengajar dan meninggalkan Shams. Akhirnya Shams meninggalkan Konya tanpa pamit kepada Maulavi hingga setahun lamanya tanpa kabar.
Tapi, ketidakhadiran Shams justru menimbulkan masalah bagi Maulavi. Ia murung dan tidak mau menyampaikan pelajaran dan ceramah. Kemudian, Maulavi mengirimkan pengikutnya untuk mencari Shams, tapi mereka tidak menemukan tanda-tanda hingga surat Shams dari Damaskus sampai di tangan Maulavi. Akhirnya Maulavi sendiri menemui Shams.
Profesor Annemarie Schimmel dalam bukunya “Keagungan Shams” menjelaskan kehidupan Maulavi setelah bertemu dengan Shams. Peneliti sastra Persia dari Jerman ini menuturkan:
“Kehidupan Maulana dilalui dengan ibadah dan tafakur serta diskusi serta pertemuan Sama’...tiga tahapan dalam diri Maulavi terulang, setelah mengalami terbakar dalam gairah cinta Shams al-Din, ia tenang dalam pembicaraan Salah Al-Din Zerkub, dan akhirnya pengaruh Hesamuddin Chilbi menyempurnakan pemikirannya. Setelah mencapai puncak cinta Shams-i Tabrizi, dan ketenangan dalam persahabatan dengan Zerkoub, kemudian kembali menjadi mursyid dan sheikh di dunia dalam bentuk seorang guru”.
Pada musim gugur tahun 672 Hq atau 1273 M, Maulavi jatuh sakit hingga dokter tidak berdaya untuk mengobatinya. Ulama, penyair, arif sekaligus ilmuwan Iran ini wafat pada 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 M di usia 68 tahun.(PH)
Pars Today (Joeza Mortheza)