Jalaluddin Rumi dan Asyura, Makna yang Tetap Terasa Mendebarkan
Hari Asyura bertepatan dengan 10 Muharram. Sejumlah kejadian dan momentum bersejarah, sekaligus memberikan hikmah kepada umat manusia. Pada hari itu, umat Islam berkesempatan menunaikan ibadah berpuasa Asyura.
Bertepatan dengan hari itu, ternyata mempunyai makna tersendiri bagi Penyair Sufi yang Agung, Maulana Jalaluddin Rumi. Dalam konteks kekinian, terkait aktivitas sosial dan religiusitas, Rumi kerap disebut-sebut dan menjadi inspirasi sejumlah tokoh pemikir Islam. Di antaranya, Ali Syariati dan Abdul Kareem Soroush, menjadikan pembahasan menarik sebagai pengembangan ide penataan sosial dalam konteks kontemporer.
Dalam buku keenam Matsnawi, Maulana Jalaluddin ar-Rumi memulai dengan sebuah kisah berkaitan dengan hari Asyura di Aleppo, sebuah kota dengan mayoritas penduduk Muslim beraliran Syiah. Pada hari Asyura, penduduk kota Aleppo berkumpul di Baba Antiokia. Tempat ini semacam gerbang kota kuno dan tempat berkumpul orang banyak.
Dalam kumpulan yang sangat besar itu, dibacakan berbagai musibah dan ujian untuk keluarga suci Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw). Para pendengar itu kemudian menangis mengingat penderitaan Keluarga Suci itu.
Hari Asyura semua penduduk Aleppo berkumpul di Gerbang Antiokia.
Lelaki dan perempuan mengenang keluarga suci, berkumpul dalam majlis agung
Merintih, merintih dan menangis, orang Syiah. Asyura untuk Karbala
Dikisahkan semua kezaliman dan ujian. Yang ditimpakan Yazid dan Syimr kepada Keluaga agung.
tangisan mereka berasal dari hati terdalam, melibas kesepian padang sahara
Momentum Bersejarah dan Kemanusiaan
Seorang penyair asing datang ke kota dan menyaksikan semua kejadian Asyura itu. dia terheran heran mengapa orang-orang itu berkumpul dan menangis? Rumi kemudian berkata kepada penyair tadi.
"Tidakkah engkau tahu bahwa hari Asyura adalah hari duka cita
Satu jiwa suci ini lebih utama ketimbang seluruh abad?
Bagaimana bisa tragedi ini dianggap ringan oleh seorang mukmin hakiki?
Kecintaan kepada anting (Husain) sama dengan kecintaan kepada telinga (Nabi Muhammad Saw).
Dalam pandangan mukmin sejati, duka cita kepada ruh murni lebih agung ketimbang ratusan banjir pada (zaman) Nuh".
Demikian semoga bermanfaat. Amiin.