Jakob Oetama Tangga Bagi Bangsawan Jurnalis Indonesia
Tiba-tiba Dahlan Iskan melontarkan pertanyaan yang tak pernah saya duga. "Rif, dulu cita-citamu menjadi wartawan apa?," kata Pemimpin Redaksi Jawa Pos, saat itu.
Ia melontarkan pertanyaan itu saat lesehan dengan sejumlah wartawan di teras Kantor Redaksi Jawa Pos di Karah Agung Surabaya. Ada sejumlah redaktur yang nimbrung.
"Dulu cita-cita saya menjadi wartawan Kompas atau Tempo. Ini cita-cita hampir semua mahasiswa komunikasi UGM seangkatan saya," jawab saya terus terang.
Memang di tahun 1980-1990-an, Kompas dan Tempo menjadi kasta tertinggi media di Indonesia. Ia menjadi impian hampir semua sarjana komunikasi, khususnya alumnus Fisipol UGM.
Namun, di akhir 1980-an, untuk menjadi wartawan kedua media itu sudah harus lulus sarjana. Saya tidak memenuhi persyaratan itu karena bergelar MA alias Mahasiswa Abadi.
Saya bersyukur bisa menjadi wartawan Jawa Pos meski belum lulus sarjana. Bahkan beruntung karena berkarir cepat di koran ini.
Hanya butuh waktu 10 tahun untuk menduduki jabatan puncak seorang wartawan: menjadi Pemimpin Redaksi. Sesuatu yang belum tentu bisa dicapai di Kompas maupun Tempo.
DEWA JURNALISME
Bagi mahasiswa Fisipol UGM, Jakob Oetama bukan hanya seorang wartawan. Juga bukan hanya Raja Media. Ia adalah dewa jurnalisme Indonesia.
Wartawan yang sudah masuk dalam tataran makrifat. Bukan lagi tataran syariat. Yang memikirkan terus makna jurnalisme bagi umat manusia.
Jakob bagi mahasiswa generasi saya juga alumnus yang jadi jujugan. Menjadi tempat sambatan jika cari sponsor acara-acara kampus dan kemahasiswaan.
Dia bisa dibilang kakak angkatan saya di jurusan yang sama, fakuktas yang sama dan universitas yang sama. Hanya saja, ia menamatkan kuliahnya di Publisitik Fisipol UGM 1961, saat saya belum lahir.
Ketika masih mahasiswa, jangankan artikelnya dimuat di Kompas. Bisa terpampang di Kolom Surat Pembaca saja sudah senang luar biasa. Menulis di Kompas menjadi mimpi banyak mahasiswa.
Jakob tak hanya berhasil membangun industri media. Ia berhasil menciptakan institusi sosial berikut dengan strata dan kastanya dalam struktur sosial di negeri ini. Ia menciptakan kekaguman, kebanggaan, dan tangga untuk mobilitas sosial bagi siapa saja.
Ketika seseorang berhasil menembus tembok institusi sosial yang dibangunya, mereka akan langsung naik kelas. Melalui Kompas, seseorang bisa membangun tangganya sendiri untuk kelas dirinya.
Itulah yang membuat Harian Kompas menjadi impian banyak orang. Termasuk mereka yang secara khusus belajar tentang jurnalistik melalui lembaga pendidikan formal. Menjadi wartawan Kompas berarti menjadi bangsawan di jagat kewartawanan.
Wartawan Pemikir
Di zaman Jakob Oetama membangun kerajaan Kompas, wartawan memang bukan hanya penyampai berita. Pengumpul peristiwa untuk disampaikan kepada para pembacanya.
Wartawan adalah juga pejuang. Pekerjaan yang diikat oleh kode etik dengan komitmen tinggi pada profesinya. Wartawan jaman itu pada dasarnya seorang ilmuwan yang langsung berkomunikasi dengan publik.
Mereka bisa membangun opini melalui obyektifitas yang subyektif. Obyektif dalam arti berdasarkan fakta dan realitas sosial yang direkamnya. Subyektif karena memberi makna pada berbagai peristiwa yang direkam dan ditulisnya.
Jakob Oetama berhasil mentransformasikan karya pejuang pemikir itu dalam sebuah industri. Inilah yang membuat Kompas menjadi institusi sosial sekaligus bisnis yang kuat sekali.
Banyak orang yang berhasil membangun industri media setelah generasi Jakob Oetama. Namun, kebanyakan hanya berhasil membangun industri bisnisnya tanpa spirit kejuangan wartawan.
Tapi saya meyakini bahwa setiap orang ada jamannya dan setiap jaman ada orangnya.
Rasanya agak sulit mengharap lahirnya seorang Jakob Oetama di jaman sekarang. Ketika semua orang bisa menjadi pelapor peristiwa dan pendapatnya di berbagai platform yang ada.
Yang bisa diumunculkan sekarang adalah para pemain media. Pebisnis media. Dan bisa juga melahirkan para "dagelan" media. Makin sempit jalan bermimpi untuk mereka yang belajar kewartawanan.
Nah, masihkah ada harapan penoreh sejarah dari dunia wartawan seperti Jakob Oetama? Saya tak punya gambaran yang mencerahkan ke depan.
Selamat jalan Pak Jakob. Biarlah engkau menjadi mimpi saya yang tak tersampai sampai engkau meninggalkan kita semua.
Advertisement