Jakob Oetama, Jurnalisme Empati dan Kaum Santri
oleh: Riadi Ngasiran
Di sudut jalan, seorang berjualan es tebu. Kebetulan jalan dekat pasar. Makin hari makin ramai saja pembelinya. Sayang, di lahan ruang terbuka hijau itu, sebagai bagian dari fasilitas umum, dipadati para penjual: lontong balap, bakso, warung makan, warung kopi, bahkan ada yang menjadikan tempat reparasi motor. Makin hari, bertambah satu dua yang berjualan di jalan yang memanjang hingga melewati kereta api dan di bentaran sungai.
Lama kelamaan di sepanjang jalan itu ramai orang berjualan. Bahkan, yang awalnya berjualan kini telah menggunakan bantaran sungai yang membelah kota, untuk digunakan sebagai tempat tinggal. Maka, rumah-rumah pun makin lama tumbuh subur dari tanah kosong yang sebelumnya dipadati rumput dan tanaman hiasan yang tak terpelihara.
Kini, pemerintah kota mengalami kesulitan untuk membebaskan jalan itu dari hunian liar dan para penjual yang sekarang seolah menjadi tempat tinggal sekaligus tempat jualan. Ketika itu akhirnya pemerintah kota harus mengeluarkan dana untuk memindahkan mereka agar lokasi tersebut terbebas dari pedagang kaki lima dan hunian liar.
Kita lalu terngiang masalah ini, sebagaimana pernah terjadi di Jalan Jagir Wonokromo Surabaya. Bila media massa berperan aktif, dengan menerapkan processisme journalism (jurnalisme proses) niscaya masalah kekotaan ini tak akan terjadi. Tak sampai menjadi problematika yang pelik penyelesaiannya.
Misalnya, sejak awal ketika seorang berjualan es tebu itu dan ditulis kemudian langsung mendapat tanggapan dari pengambil kebijakan, tentu tak akan berkembang hingga memakan jalan sempadan dan bantaran kali yang peruntukannya sebagai lahan terbuka hijau. Pemandangan lepas ke sungai pun menjadi lapang.
Satu pelajaran (dan praktik, tentu saja) dari H Agil H Ali (almarhum, Pendiri Memorandum) adalah perlunya pemahaman processism journalism itu. Penerapan ini lazimnya sebelum ada kasus-kasus penggusuran terhadap pelaku sektor riil, pedangan kaki lima (PKL) dan kaum miskin kota, di kawasan yang dilarang di area umum suatu Pemkot. Ini yang kini jauh dari penerapan, khususnya bagi kalangan jurnalis di perkotaan, di tengah banjirnya 'kabar burung' di medsos.
Seiring dengan itu, ketika kita meletakkan manusia sebagai pusat orientasi. Misalnya, untuk hal-hal yang human interest (minat insani, pinjam makna dari seorang penyiar radio, Ari Maricar), adalah penerapan jurnalisme empati. Jurnalisme model inilah yang, bila ditelisik sejak lama, ternyata yang dipraktikkan di Kompas.
Dua pendiri Kompas -- media yang sangat mengesankan sejak mulai saya bisa baca huruf latin, belajar membaca dari koran bekas -- P.K. Ojong dan Jakob Oetama. Kita terkesan dengan editorial P.K. Ojong dengan Kompasiana -- yang dikumpulkan jadi buku. Perspektif dalam menulis penuh cakrawala.
Saya pun beruntung, sejak mula menggeluti profesi jurnalistik terpengaruh Jakob Oetama dengan ide-ide gaya jurnalistiknya (sebagai santri, tentu Mahbub Djunaidi dan KH Saifuddin Zuhri tetaplah idola utama, lho ya!). Tapi, dengan keistimewaan gagasannya, Jakob Oetama sesungguhnya yang menekankan posisi ideal seorang Jurnalis sebagai Intelektual Bebas. Dus, bukan tukang catat berita semata atau tukang pinjam gagasan orang lain. Karena itu, saya pun terpengaruh atas Burhanuddin Mohamad Diah, agar jurnalis punya karya buku. Itulah kesejatian seorang jurnalis: Buku adalah Mahkota.
Di tengah-tengah saya berbincang-bincang dengan Kiai Abdussalam Shokhieb di Pesantren Denanyar Jombang, Rabu 9 September 2020, kami pun kaget mendengar berita duka. Jakob Oetama meninggal dunia, dalam usia 89 tahun. Ingatan langsung tertuju kepadanya. Lantaran, seorang santri akhirnya memahami Jurnalisme Empati darinya.
Jurnalisme Empati yang merupakan salah satu metode penulisan dengan cara memandang jurnalisme dari sisi lain. Metode jurnalisme ini mengajarkan kita untuk melihat, mendengar, merasakan dari sisi narasumber. Bukan mencari dan memberikan berita sesuai dengan keinginan dari para pembaca maupun jurnalis sendiri, tapi bagaimana, apa yang narasumber ingin sampaikan dan nara sumber perlihatkan tentang hal yang dia rasakan.
Tujuan dari Jurnalisme Empati ini agar para pembaca dapat melihat, mengerti dan merasakan apa yang nara sumber rasakan. Terhadap suatu kasus, pada para korban dari kejahatan maupun korban bencana alam. Memang, ada yang merasa jurnalis empati hanyalah menceritakan dan mengeksploitasi penderitaan orang tanpa memberikan solusi. Dari sinilah, seorang jurnalis harus bisa melihat dari sisi narasumber. Dengan begitu pembaca dapat merasakan apa yang narasumber rasakan.
Pengalaman Maria Hartiningsih, seraya mengingatkan: bila seorang jurnalis tak dapat merasakan apa yang narasumber rasakan, bagaimana mungkin dia dapat menyampaikan parasaan narasumber kepada pembaca. Karena jurnalisme ini adalah memberikan pendidikan, bukan memberikan rasa kasihan semata.
Bentara Rakyat ke Kompas
Ketika KH Abdurrahman Wahid mendirikan suratkabar harian Duta Masyarakat Baru di Jakarta dan seiring gemuruh Reformasi, saya sempat membayangkan media ini menjadi besar. Suatu terbitan dari organisasi Islam terbesar di Indonesia (juga di dunia), Nahdlatul Ulama (NU). Tentu saja, dengan memerhatikan perkembangan Kompas.
Kami belajar memahami sejarah berdirinya Kompas terkait keberhasilannya menjadi media bergengsi yang merupakan suratkabar nasional tertua di Indonesia. Didirikan dua jurnalis Katolik, Petrus Kanisius Ojong (P.K. Ojong) dan Jakob Oetama. Ide pertama kali muncul dari usulan Ahmad Yani kepada koleganya di kabinet: Frans Seda agar kalangan Katolik mempunyai media massa sendiri. Hal tersebut sebagai bentuk respon atas pengaruh Komunis yang semakin kuat di masyarakat serta di jajaran birokrat.
Bermula nama "Bentara Rakyat”, bermakna pembela rakyat. Namun atas usul Presiden Sukarno akhirnya nama itu diubah menjadi Kompas, yang memiliki arti pemberi arah serta jalan mengarungi lautan dan rimba. Kali pertama Kompas terbit pada 28 juni 1965 dengan empat halaman berisi sebelas berita luar negeri dan tujuh berita dalam negeri di halaman pertama. Berita utama pada halaman satu, saat itu berjudul “KAA Ditunda Empat Bulan”. Ketika itu, Kompas diplesetkan sebagai Komando Pastor oleh kalangan Komunis, karena para pendiri dan perintisnya kebanyakan berasal dari kelompok atau partai Katolik.
Semula Kompas dimiliki Yayasan Bentara Rakyat. Karena semua penerbitan di Indonesia wajib berbadan hukum, maka status hukumnya berubah menjadi PT Kompas Media Nusantara, di bawah naungan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) dan menjadi koran yang berorientasi pada bisnis. Awalnya Kompas terbit sebagai suratkabar mingguan dengan 8 (delapan) halaman, kemudian terbit 4 (empat) kali dalam seminggu.
Kelahiran Kompas adalah masa setelah diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 -- satu pidato bersejarah menandai dimulainya tahapan Demokrasi Terpimpin. Menjadi ciri utama dari sistem politik Demokrasi Terpimpin: dominasi peranan presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan Angkatan Bersenjata sebagai unsur sosial politik.
Era demokrasi terpimpin menjadi periode terburuk bagi sejarah perkembangan pers di Indonesia. Perlakuan penguasa terhadap pers Indonesia telah melampaui batas-batas toleransi dan hanya memandang pers semata-mata alat untuk memobilisasi massa serta opini publik. Karena itu rezim Demokrasi Terpimpin merasa perlu menguasai seluruh pers yang ada untuk revolusi kekuasaan rezim itu sendiri.
Pada saat itu pers terbagi menjadi dua golongan: Pertama, pers komunis (pers nasionalis sayap kiri) yang menduduki posisi dominan mempengaruhi opini publik serta kebijakan pemerintah. Kedua, pers dalam posisi periferal (pers anti komunis) yaitu pers agama seperti Kompas yang beraviliasi dengan Partai Katolik. Kompas menjadi pers yang moderat dalam menghadapi aksi-aksi politik Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pers kelompok BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme) pada masa itu.
Zaman Soeharto.
Memasuki Orde Baru pada 1966-1998 (Demokrasi Pancasila), pemerintah memberikan kebebasan kepada pers untuk memberitakan kebobrokan Orde Lama. Kebebasan pers ini berlansung dalam kurun waktu delapan tahun. Pada 1974, pers Indonesia kembali mengalami kemunduran setelah peristiwa pembredelan yang dilakukan kepada harian Indonesia Raya pada 15 Januari 1974 atau kemudian dikenal dengan “Peristiwa Malari”. Peristiwa ini sekaligus merupakan “tonggak sejarah” bagi Kompas. Sebelum peristiwa Malaria, Kompas dikenal sebagai suratkabar yang idealis dan menyuarakan "Hati Nurani Rakyat" dan kontrol sosial secara kritis dan berani. Setelah peristiwa Malaria, fungsi Kompas sebagai bulldog (anjing penjaga) berubah menjadi interpreter pernyataan pemerintah.
Dalam sejarahnya, Kompas pernah mengalami dua kali pembredelan oleh pemerintah setelah memberitakan aksi-aksi anti Soeharto, Kompas dilarang terbit. Pertama, terjadi setelah peristiwa 30 September 1965 (lebih dikenal dengan G30S/PKI). Pelarangan terbit dilakukan sejak tanggal 2-6 Oktober 1965. Kedua, terjadi ketika demonstrasi mahasiswa akhir tahun 1977 dan awal 1978. Selain Kompas, tujuh harian lainnya juga dilarang terbit.
Pelarangan hanya bersifat sementara. Pada pada 5 Februari 1978 Kompas terbit kembali dengan menyetujui tawaran pemerintah untuk menandatangani surat berkepala tentang permintaan maaf. Tentu saja, disertai kesetiaan Kompas terhadap pemerintah Orde Baru.
Kompas memilih untuk tunduk kepada pemerintahan Orde Baru. Cara tersebut dianggap efektif untuk bisa bertahan hidup dan terus mengemban amanat hati nurani rakyat, meski dilakukan secara terselubung apabila terjadi benturan dengan kepentingan pemerintah.
Kompas dibaca terutama oleh kalangan elite Indonesia. Lebih dari 60 persen pembaca adalah lulusan perguruan tinggi dan sekitar 30 persen pembaca pengeluaran bulanannya mencapai paling sedikit Rp2.250.000,- dan memelihara (seperti dulu) gaya bahasa yang seimbang dan sangat berhati-hati dalam melaporkan sebuah peristiwa terutama peristiwa yang berhubungan dengan konflik. Gaya semacam itu pernah dikatakan Benedict Anderson sebagai "Kebosanan yang terawat".
Dalam prosesnya, Kompas menerapkan strategi "Jurnalisme Kepiting", sebutan yang diberikan H. Rosihan Anwar. Maksudnya, kepribadian Kompas bergerak ala kepiting, mencoba melangkah setapak demi setapak untuk mengetes seberapa jauh kekuasaan memberikan toleransi kebebasan pers yang ada. Jika aman, kaki kepiting bisa maju beberapa langkah, jika kondisi tidak memungkinkan, kaki kepiting pun bisa mundur beberapa langkah.
Rosihan Anwar, tokoh pers nasional, menilai bahwa gaya koran Jakob Oetama cenderung main aman dan kurang tajam. Namun, di sisi lain, pilihan tersebut dianggap sebagai pilihan tepat untuk bisa bertahan menghadapi kepemimpinan rezim Orde Baru. Rosihan sempat menyebut bahwa Jakob mangkel dengan ungkapannya, namun gaya tersebut memang tidak bisa ditolak jika melihat berita-berita Kompas yang tak berani terlalu keras kepada kekuasaan.
Tentang jurnalisme kepiting, Jakob Oetama menggambarkan kehati-hatian khas Kompas. "Mau tidak mau kita melaksanakan semacam sensor, semacam rem, ya apa boleh buat, sehingga kita diejek sebagai jurnalisme kepiting. Saya memang bilang sama temen-temen (wartawan) “kita tulis, tulis, tulis, makin naik dan naik, dan makin berani, ada sinyal kuning (bahaya) kita mundur. Kita diejek seperti seekor kepiting maju dan mundur. Cuma bagi saya, mundur itu untuk maju lagi. Itu soal pilihan. Saya kalau dikritik juga tidak apa-apa. Memang itu kenyataanya".
Selain itu, Jokob Oetama pun berpendapat bahwa melalui strategi tersebut, pers dapat berperan dalam masyarakat yang nilai-nilai demokrasinya masih berkembang dalam kebudayaan politik masyarakat dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan, budaya, politik serta nilai-nilai dasar masyarkat Indonesia. Pers bertanggung jawab memperluas ide demokrasi dan kebebasan bagi masyarakat dengan membuat terobosan pada semua bidang yang megarah kepada kemajuan masyarakat Indonesia.
St Sularto mencatat, dalam hal ini Kompas tidak hanya berperan mengurus serta mengembangkan dari segi redaksinya saja. Namun, manajemen bisnis, pembinaan sumber daya manusia, keuangan, sirkulasi, periklanan, hubungan masyarakat, dan percetakan juga harus diperhatikan, agar semua bagian bisa saling membantu serta menopang satu sama lain.
Jakob Oetama sebagai pendiri harian Kompas merupakan pemilik saham terbesar dan memegang jabatan sebagai direktur Kompas Gramedia. Di Kompas Jakob Oetama berperan dan memandang dirinya sendiri sebagai Ayah sebuah keluarga besar. Demikian pulalah Jakob Oetama dipandang oleh para stafnya. Peranannya sebagai figur ayah yang mengurus keluarganya membuatnya menentukan apa yang menurutnya benar untuk perusahaanya.
Kompas terus berkembang menjadi koran terbesar di Indonesia. Menurut David T Hill, dibandingkan dengan sejumlah suratkabar lain yang sukses di pasaran, bendera Kompas-lah yang paling lama berkibar sepanjang perjalanan sejarah. Oplah Kompas selalu naik dari semula hanya 4.800 eksemplar menjadi 8.003 eksemplar. Sejak tahun 1969, Kompas merajai penjualan suratkabar secara nasional.
Dalam catatan Santoso pada 2010, harian Kompas cetak memiliki sirkulasi oplah rata-rata 500.000 eksemplar per pada hari Senin hingga Jumat, dengan rata-rata jumlah pembaca mencapai 1.850.000 orang per hari yang terdistribusi ke seluruh wilayah Indonesia dan 600.000 eksemplar pada akhir pekan. Oplah terbesar dicapai pada saat bertepatan dengan ulang tahun Bung Karno ke-100 dengan oplah 750.000 eksemplar dalam edisi khusus.
Kompas merupakan koran dengan oplah terbesar di Indonesia bahkan juga di Asia Tenggara. Berdasarkan hasil survei pembaca tahun 2008 , profil pembaca koran Kompas mayoritas berasal dari kalangan (Strata Ekonomi dan Sosial) menengah ke atas yang tercermin dari latar belakang pendidikan dan kondisi keuangan.
Jakob Oetama dan Kaum Santri
Seiring bergesernya waktu, di tengah membanjirkan media sosial dan tren bacaan masyarakat pada media online, Kompas tentu menanggung dampaknya. Bukan hanya Kompas, tapi media-media lainnya. Pada edisi in-memoriam Jakob Oetama, Kompas menghadirkan 20 halaman pada edisi Kamis 10 September 2020.
Jakob Oetama selalu mengajarkan kewartawanan yang santun dan elegan dalam meberikan kritik terhadap suatu keadaan. Pemilihan bahasa yang digunakan, dipilih bahasa yang sopan dan santun, akan tetapi orang yang diberikan kritik menyadari bahwa ada perbuatannya yang tidak benar.
Jatuhnya rezim Presiden Soeharto pada Mei 1998 menandai berakhirnya Orde Baru sekaligus lahirnya Era Reformasi -- menjadi tonggak kebebasan pers di Indonesia. Kemudahan dalam hal perizinan menjadikan pemain usaha di bidang media massa meningkat secara tajam. Banyak bermunculan media-media baru dengan berbagai kemasan dan segmentasi, sehingga hal tersebut menjadi tantangan bagi Kompas untuk bisa menghadapinya.
Kelonggaran kebijakan berpendapat dan kebebasan pers oleh pemerintah di Era Reformasi disikapi Kompas dengan tak berlebihan. Pengalaman di era sebelumnya membantu memperkuat ketahanan mereka untuk bisa memanfaatkan kebebasan pers secara proporsional. Kompas fokus untuk memperkuat kesinambungan perluasan skala usaha mereka. Saat ini Kompas Gramedia memiliki beberapa anak perusahaan/bisnis unit yang bervariatif dari media massa cetak maupun daring, toko buku, percetakan, penerbitan, radio, hotel, lembaga pendidikan, Bentara Budaya, penyelenggara acara, stasiun televisi hingga universitas.
Demikianlah kita memahami perjalanan Kompas, terkait dengan Dus Dur dan pers di lingkungan kaum santri. Ketika Duta Masyarakat Baru lepas dari tangan Gus Dur dan dalam pengelolaan yang lain hingga kini, kita selalu teringat hubungan antara Gus Dur dan Jakob Oetama. Juga Jakob Oetama dan kaum santri dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
Ada kisah dari Zainal Arifin Junaidi, Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) zaman Gus Dur. Pada awal tahun 90-an Arifin Junaidi (kini, Ketua PP Lembaga Pendidikan Maarif) diamanahi Gus Dur untuk memimpin Tabloid Warta NU terbitan Lajnah Ta'lif wa-Nasy PBNU. Saat itu, ormas yang berdiri 31 Januari 1926 dalam tekanan keras dari pemerintah.
Tentu karena Gus Dur sangat kritis dan vokal kepada pemerintah. Akibatnya, penerbitan Warta NU pun kesulitan, dalam keadaan tidak ada iklan/sponsor, dukungan instansi pemerintah dan dukungan dari perorangan yang ketakutan dekat-dekat dengan Gus Dur. Sedangkan mengharapkan uang langganan dari pelanggan juga jauh panggang dari api. Utang di percetakan pun semakin menggunung.
Suatu hari Arifin Junaidi dipanggil ke ruang Gus Dur, dan ternyata ada Jakob Oetama di ruang kantornya di PBNU.
"Untuk penerbitan Warta NU sampeyan bicarakan dengan Pak Jakob ya!", kata Gus Dur setelah memperkenalkan Arifin Junaidi kepada Jakob Oetama.
"Nanti Pak Arifin hubungi anu (menyebut nama) ya!", kata Jakob Oetama setelah menanya ini-itu ke Arifin Junaidi.
Arifin Junaidi pun cepat-cepat menemui sosok yang disebutkan Jakob Oetama, selain dia kenal yang bersangkutan juga naskah sudah siap cetak. Tak lama kemudian Warta NU bisa terbit kembali setelah sekian bulan tidak terbit. Tiga bulan kemudian Arifin Junaidi kaget ada tagihan dari Kompas biaya cetak Warta NU selama tiga bulan.
Arifin Junaidi akhirnya menghubungi temannya yang ditunjuk Jakob Oetama sebagai penghubung. Dia bilang, "Itu tagihan dari percetakan yang harus dibayar. Wah, kirain gratis!"
Ia langsung menghadap Gus Dur menyampaikan adanya tagihan itu. Gus Dur pun langsung telpon Jakob Oetama,' kisah Arifin Junaidi.
"Sampeyan diiminta temui Pak Jakob di kantornya sekarang", kata Gus Dur.
Arifin Junaidi bergegas ke kantor Kompas. Dia ditemui salah seorang stafnya yang menyerahkan tas kresek berisi bungkusan kertas koran. Arifin Junaidi balik ke PBNU di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Ketika dia buka bungkusan koran ternyata berisi uang dan saat dihitung pas dengan tagihan biaya cetak dari percetakan.
"Esoknya saya bayar tagihan biaya cetak Warta NU. Wah, ternyata benar-benar gratis.....! Demikian kata Arifin Junaidi.
Hal itu dirasakan Arifin Junaidi berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Rupanya Jakob Oetama membantu Gus Dur dan NU, lewat Warta NU, dengan tetap menjaga martabat NU. Dengan cara itu, orang-orang percetakan tahunya Warta NU mampu membayar sendiri biaya pencetakan Warta NU dan jauh dari keinginan dipuji. Gumamnya: "Luar biasa Pak Jakob Oetama".
Sosok rendah hati yang berani dekat dengan Gus Dur saat orang lain menjauh darinya. Jakob Oetama adalah sosok tanpa pamrih. Karena itu, kita pun tak heran ketika H Mahbub Djunaidi berkesempatan mengisi kolom pada setiap edisi Minggu dalam rubrik "Asal Usul". Dari masalah-masalah yang sederhana tapi mencerminkan problematika yang diangkat dibicarakan dengan penuh wawasan yang tak sederhana.
Kini, Jakob Oetama telah menghadap ke Rahmatullah. Prestasi di jagat jurnalistik telah mengantarkan posisinya sebagai Negarawan.
Tokoh kelahiran Desa Juwahan, dekat Candi Borobudor, Jawa Tengah, 27 September 1931, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Semoga almarhum damai di sisi Allah Taala.
Rasanya teringat nama-nama yang memberikan ilmu dalam menggeluti jurnalistik. Bagi para pendahulu dari kaum santri itu, Alfatihah!.
Riadi Ngasiran
(Santri yang menggeluti jurnalistik, salah satu buku karyanya, Kesabaran Revolusioner Djohan Sjahroezah: Pejuang Kemerdekaan Bawah Tanah, diterbitkan Penerbit Buku Kompas, 2015).