Jakarta Polusi Parah, Segera WFH Lagi
Oleh: Djono W. Oesman
ASN di Jakarta segera WFH lagi. Dalam jangka lama. Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi kepada pers, Minggu (20/8) mengatakan: “Solusi polusi udara Jakarta, hasil rapat Kemenko Marinves, seluruh karyawan kementerian sepakat WFH.”
—----------
Itu berlaku mulai September 2023. Kepastiannya masih menunggu surat keputusan yang akan dibuat Kementerian PAN-RB. WFH akan berlaku untuk batas waktu yang belum diketahui.
Tentu, WFH berlangsung sampai polusi udara di Jakarta (tepatnya Jabodetabek) kembali ke batas normal.
Budi Karya: “Rapat juga dihadiri Menteri Lingkungan Hidup (LH) dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar. Pihak Kementerian LH juga berencana menerapkan teknologi modifikasi cuaca (Traffic Management Center - TMC) di Jabodetabek pekan depan.”
Polusi udara Jabodetabek dikeluhkan masyarakat sejak sebulan terakhir. Kian hari keluhan meningkat. Pada pekan lalu, seorang ibu via video singkat TikTok, mengunggah cerita anaknya bernama Hanan (belum genap setahun) mendadak demam. Rewel semalaman.
Dia bawa ke dokter, diperiksa, didiagnosis: Sesak nafas. Normalnya 40 per menit. Hanan di level 60 per menit. Hanan diinfus. Diberi nebulizer 3 kali sehari untuk pernapasan. Dirawat di RS tiga hari.
Hasilnya, pulang masih batuk pilek, tapi tidak lagi sesak nafas.
Presiden Jokowi sudah memberi arahan ke jajaran menteri dan Pj. Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono terkait polusi udara Jabodetabek di Rapat Terbatas, Senin pekan lalu.
Jangka panjang. Pemerintah sudah menyiapkan angkutan umum ramah lingkungan, MRT dan LRT. Juga percepatan elektrifikasi kendaraan umum dengan bantuan pemerintah.
Jangka pendek, Presiden Jokowi: "Jika diperlukan kita harus berani mendorong banyak kantor melaksanakan hybrid working. Work from office, work from home mungkin (WFH) saya nggak tahu nanti dari kesepakatan di rapat terbatas ini apakah jam 7-5 2-5 atau angka yang lain."
Akhirnya rapat Kemenko Marinves memutuskan, semua pegawai kementerian WFH. Balik ke zaman pandemi Covid-19 lagi. Selama tiga setengah tahun terakhir semua karyawan sudah biasa bolak-balik, putus-nyambung, WFH.
Itu seperti prediksi tim riset oleh lima peneliti Amerika Serikat, bahwa warga dunia sudah terbiasa WFH, maka suatu saat akan balik WFH lagi, meski bukan karena Covid.
Lima peneliti itu Alexander W. Bartik, Zoë B. Cullen, Edward Glaeser, Michael Luca dan Christopher T. Stanton dalam karya mereka berjudul “What jobs are being done at home during the COVID-19 crisis? Evidence from firm-level surveys” (25 November 2020).
Di karya hasil riset itu disebut: “Banyak perusahaan di dunia percaya, bahwa WFH akan menjadi lebih umum setelah pandemi. Karena pemberi kerja telah membayar biaya tetap untuk menyiapkan sistem kerja jarak jauh bagi karyawan mereka.”
Setidaknya, para karyawan sudah punya pola waktu dan tempat untuk WFH selama pandemi.
Pola waktu berupa, karyawan sudah terbiasa mengatur waktu untuk target pekerjaan mereka. Jadi, mereka bekerja berdasar target pekerjaan. Bisa dilakukan di waktu pagi, siang, malam. Asalkan target tugas harian mereka tercapai.
Pola tempat, karyawan selama ini sudah menyiapkan ruang kerja di rumah. Dibangun sedemikian rupa, membuat mereka nyaman bekerja di rumah.
Sehingga di zaman pasca-Covid jika dibutuhkan WFH, mereka dengan cepat bisa menyesuaikan diri. Sudah hafal pola WFH.
WFH muncul di awal tahun 2000-an, ketika pandemi Covid, ketika teknologi telecommuting sudah berkembang dan pekerja dapat melakukan WFH. Pekerja diuntungkan, menghindari biaya dan waktu perjalanan, mendapat fleksibilitas jadwal, dan mencapai keseimbangan kehidupan kerja lebih baik.
Namun WFH khas untuk jenis pekerjaan tertentu. Tidak untuk semua jenis pekerjaan. Misal, polisi tidak mungkin WFH. Atau petugas lapangan di banyak bidang. Juga pekerja produksi di pabrik.
WFH menguntungkan pemilik perusahaan dan karyawan. Itu sudah diuji secara cukup di zaman Covid, sesuai hasil riset lima peneliti di atas.
Dengan WFH perusahaan menekan biaya secara signifikan. Antara lain, kebutuhan kantor dan segala fasilitasnya.
Juga mengubah pola kerja harian menjadi on target. Sedangkan sebelumnya, karyawan bekerja berdasar waktu masuk kerja. Kalau pekerjaan belum selesai akan dilanjut esoknya. Hasil pekerjaan tertunda sehari atau lebih.
Juga menghindari konflik antar karyawan di kantor, yang tentunya tidak disukai manajemen perusahaan. Juga mengurangi turnover karyawan. Sehingga harus mendidik pekerja baru.
Buat karyawan, WFH selain menghemat biaya perjalanan dan mendapat fleksibilitas waktu kerja, juga bisa mendekatkan diri dengan keluarga. Punya waktu lebih banyak mengawasi dan mendidik anak-anak.
Juga menghindari konflik teman kerja. Akibatnya, minim turnover pekerja.
Terakhir, pekerja punya kontrol lebih besar terhadap faktor lingkungan saat WFH. Faktor kualitas lingkungan dalam ruangan (Isotopic Equilibrator - IEQ). Misal, pencahayaan, suhu, kelembaban, kualitas udara, kebisingan, ergonomi ruan kerja di rumah. Itu penting untuk kesehatan fisik dan mental pekerja.
Beda dengan di kantor konvensional, ruang kerja biasanya diatur oleh pemberi kerja. Walaupun umum kantor pusat perusahaan punya IEQ lebih baik dibanding kantor cabang.
Selain menguntungkan, ada faktor negatif WFH. antara lain:
Karyawan tidak punya kesempatan untuk bersosialisasi dengan rekan kerja. Itu menurunkan pergerakan fisik, seperti tidak bisa berjalan di antara lokasi pertemuan yang berbeda.
Bagi individu yang tinggal sendiri, WFH penuh waktu tanpa interaksi tatap muka dan dukungan sosial setiap hari, dapat berkontribusi pada masalah mental seperti isolasi sosial dan depresi.
Manusia memang unik. Kalau bertemu muka dengan sesama karyawan bisa menimbulkan konflik, sebaliknya kalau berjauhan bisa kurang sosialisasi. Jadi, maunya berkumpul tapi tidak berkonflik, atau berjauhan tapi tidak kesepian. Dua hal yang kontradiktif.
Kekurangan lain, dengan pola kerja on target harian, maka individu yang lemah dalam manajemen waktu, bisa kelabakan. Bisa kerja sampai larut malam atau tidak tidur untuk menyelesaikan target pekerjaan.
Tapi kekurangan signifikan WFH buat karyawan adalah terpapar terus-menerus dengan komputer. Termasuk untuk rapat koordinasi via zoom. Bisa menimbulkan sakit mata.
Kalau di Jakarta diterapkan WFH akibat polusi udara parah, di kota lain bisa meniru Jakarta, meskipun kurang polusi. Karena semua perusahaan punya pengalaman WFH, dan bisa dilanjutkan.