Jadikan Sidoarjo Tak Hanya Kamar Kecilnya Surabaya
Terkadang terbersit keinginan menjadi Bupati Sidoarjo. Tapi belum tahap niat. Lebih sekadar gregetan karena wilayah penyangga Surabaya ini begitu terasa tertinggal dibanding kota sebelahnya.
Tapi kan nggak mungkin saya jadi Bupati Sidoarjo. Sebab, Pak Bupati Saiful Illah masih akan menjabat hingga 2021 mendatang. Apalagi, dengar-dengar, ia juga sudah menyiapkan anaknya untuk menggantikannya.
Cobalah rasakan saat melewati bundaran Waru yang menjadi perbatasan kedua kota ini. Memang tidak sampai ibarat bumi dan langit. Mungkin masih antara bumi dan atap gedung bertingkat. Tapi sangat terasa beda kemajuannya. Njeglek, kata orang Jawa.
Sampai dengan sisi perbatasan Surabaya, jalannya sudah empat jalur besar. Dua jalur utama yang masing-masing sisi kanan dan kiri sudah ada frontage-nya. Lebar sekali. Serasa seperti Jalan Sudirman dan Thamrin di Jakarta. Juga tanamannya. Tampak sepanjang jalan rimbun dan hijau.
Begitu menyeberang sisi selatan jembatan layang tol, jalan langsung menyempit. Jalan yang tadinya ada empat lajur menjadi tinggal dua. Lajur frontage yang di Surabaya sudah tuntas, di sisi Sidoarjo belum berhasil dibebaskan sama sekali. Ini yang menyebabkan setiap saat bundaran Waru macet sekali.
Seandainya saya Bupati Sidoarjo, frontage road dari Waru sampai dengan Aloha yang akan dikebut penyelesaiannya pertama kali. Biar sama seperti yang di Surabaya. Biar tak menjadi penyumbat yang memacetkan. Setelah bebas, aspal dan pedestriannya saya bikin jauh lebih bagus dari Surabaya.
Setelah itu, jalan dari simpang tiga Aloha ke Bandara Juanda saya rombak total. Saya perbaiki taman sepanjang jalan. Tidak hanya tanaman. Tapi bunga warna warni seperti jalan menuju Bandara Beijing di China. Frontage roadnya saya aspal dan tata ulang. Pedestrian juga dibikin bagus seperti Orchad Road Singapura.
Saya akan tutup kuping jika diprotes warga Sidoarjo lainnya. Mengapa kok hanya jalan dari Surabaya ke Juanda yang diprioritaskan? Bagi saya, jalan ini adalah halaman depannya Sidoarjo. Ini etalasenya kota. Semua orang yang tiba dari berbagai pelosok Indonesia dengan pesawat pasti melewatinya.
Saya tak ingin mereka hanya terkesan dengan Surabaya. Saya tak ingin membandingkan Sidoarjo dengan kota sebelahnya. Lalu bilang Sidoarjo jelek dan Surabaya keren. Begitu mendarat di Juanda, mereka harus langsung bergumam: "wuik keren kotanya." Kalau perlu mereka mendarat sudah merasa di Surabaya.
Sistem drainase sepanjang jalan itu saya perbaiki dan ditata ulang. Sehingga setiap hujan tidak menimbulkan genangan air di mana-mana. Di sepanjang jalan saya siagakan pasukan kuning yang selalu siap memungut sampah di mana pun berada. Jika ada orang membuang sampah sembarangan, saya denda besar.
Lho mengapa? Saya ingin setiap orang yang turun di Bandara Juanda punya kesan pertama yang baik tentang kota ini. Saya akan malu kalau mereka tidak terkesan karena setiap mau mendarat nama Sidoarjo selalu disebut pramugari dalam pengumuman. Kalau perlu mereka tak jadi ke Surabaya karena di Sidoarjo sudah terkesan dan kerasan.
Malah terpikir untuk membuat kota baru super modern di pantai timur Sidoarjo. Yang tak jauh dari Bandara Juanda. Yang lengkap dengan tempat konvensi dan pameran. Berkelas internasional. Seperti di Incheon Korea Selatan. Atau di Changi Singapura.
Dengan fasilitas itu, para penumpang pesawat tidak perlu jauh-jauh ke Surabaya. Kecuali yang sedang berurusan bisnis. Mereka cukup tinggal di kota baru yang lengkap dan modern. Nginep di situ dan belanja juga di situ. Bisnis di Surabaya, belanja di Sidoarjo.
Oh...ya. Kawasan yang berbatasan dengan Surabaya akan saya tata ulang. Jalan yang tembus Surabaya saya lebarkan. Semua saluran dibersihkan dan dilebarkan. Biar banjir tidak menjadi langganan. Saya akan malu kalau mereka yang tinggal dekat Surabaya di luar mengaku sebagai warga kota itu. Padahal ia penduduk Sidoarjo.
Dengan kerja keras dan sungguh-sungguh, saya kira cukup satu periode untuk mengubah wajah Sidoarjo bagian utara. Agar lebih maju atau setidaknya sama dengan kemajuan kota sebelahnya. Bukan hanya menjadi limpahan mereka yang "tersingkir" dari Surabaya.
Semua itu penting. Biar Sidoarjo tidak hanya menjadi kamar kecilnya Surabaya. Tidak hanya menjadi penyangga ibukota. Tapi bisa menjadi bagian dari megapolitan yang ikut menikmati kemajuan. Yang warganya tidak perlu mencari kebanggaan di kota Surabaya.
Dulu saat Bupati Win Hendarso masih sering berkoordinasi dengan Pemkot Surabaya untuk kerjasama perencanaan dan urusan lainnya. Tidak jarang berdiskusi informal dengan saya yang saat itu menjadi Wakil Walikota Surabaya. Saat walikotanya Pak Bambanh DH.
Saya tidak tahu setelah saya meninggalkan balaikota. Apakah masih ada pertemun rutin pejabat perencanaan dari dua wilayah yang bertetangga ini. Yang pasti, makin hari makin terasa njomplangnya kemajuan Sidoarjo dan Surabaya.
Tapi siapa yang akan memilih saya kalau ingin jadi Bupati Sidoarjo? Partai apa yang mau mengusungnya? Kalau pun ada apa bisa bersaing dengan putra daerahnya?
Saya sudah sangat senang kalau angan-angan saya ini menginspirasi visi mereka yang sedang menyiapkan berlaga dalam pilkada mendatang. (Arif Afandi)