Jadikan Perpustakaan Kota, Sebaiknya Gedung DPRD Direlokasi
Hampir semua kota di negara maju selalu mempunyai perpustakaan besar di tengah kota. Tidak sekadar fasilitas fisiknya, tapi juga layanan prima bagi warga. Kota dengan perpustakaan yang besar selalu identik dengan tingkat peradaban masyarakatnya yang luar biasa. Setidaknya, fasilitas perpustakaan akan menunjukkan tingkat literasi kotanya.
Melbourne adalah contohnya. Salah satu kota besar di Australia ini dikenal sebagai kota pendidikan. Di sini ada Melbourne University yang amat populer di Indonesia. Juga RMIT (Royal Melbourne Institute of Technology) dan Melbourne Institute of Technology. Di kota ini juga ada Victoria University. Inilah salah satu kota pendidikan yang menjadi jujugan mahasiswa Indonesia dan Asia.
Perpustakaan sebagai fasilitas utama kota pendidikan menjadi indikatornya. Tidak hanya perpustakaan kampus. Tapi juga perpustakaan kota. ''Di Melbourne University, perpustakaannya buka 24 jam di hari biasa,'' kata Selma Halida, mahasiswa asal Indonesia.
Di Boston, salah satu kota tua di Amerika, juga demikian. Harvard University dan Massachusset Institute of Technology ada di kota ini. Kedua perguruan tinggi tersebut merupakan terbaik di dunia. Bahkan, sejumlah tokoh dunia sebagain besar jebolan Harvard University.
Saya pernah ke kota ini 2001 lalu. Boston juga punya perpustakaan kota yang amat besar. Bangunannya megah dan di pusat kota. Tidak hanya itu. Hampir di setiap distrik atau kecamatan mempunyai perpustakaan umum. Warga atau publik bebas menjadi anggota perpustakaan dan memanfaatkannya.
Melbourne dan Boston adalah contoh kota yang menjadi sumber peradaban. Mereka tidak hanya menyediakan fasilitas pendukung bagi pelajar dan mahasiswa lewat perpustakaan, tapi juga fasilitas lainnya seperti transportasi yang memadai dan murah bagi mahasiswa.
Lantas bagaimana dengan kota-kota di Indonesia? Memang tidak adil membandingkan kota di Indonesia dengan kota-kota tua di Amerika dan Australia. Umumnya, peradaban mereka terbangun sejak ratusan tahun lalu. Victoria State Library, misalnya, dibangun sejak 1853.
Kini, perpustkaan yang terletak di kawasan pusat bisnis Melbourne itu mempunyai 2 juta buku dan 16 ribu serial. Berapa anggaran yang dibelanjakan untuk perpustakaan yang luas lahannya sebesar kawasan Balai Pemuda Surabaya plus Gedung DPRD tersebut? Saya tidak memperoleh info pasti.
Yang jelas, sangat besar. Saya membayangkan, untuk mengoleksi puluhan lukisan kuno itu saja pasti dibutuhkan ratusan juta dollar Australia. Lukisan-lukisan yang dipajang di galery perpustakaan tersebut banyak karya pelukis kenamaan di abad 18. Sebagian baru menjadi milik perpustakaan pada abad 20 dan 21.
Yang bisa dibayangkan, perpustakaan besar di tengah kota dengan koleksi buku maupun monograps yang bejibun menunjukkan komitmen para pemimpin kota itu terhadap peradaban. Terhadap kebudayaan yang menyertai dinamika masyarakat yang menjadi warga kota.
Saya pernah bercita-cita menjadikan kawasan Balai Pemuda Surabaya menjadi perpustakaan kota yang megah dan besar. Saat itu, saya sempat menyarankan secara lisan kepada Ketua DPRD Musyafa' Rauf (2004-2009). Ketika dia menjadi Ketua DPRD Surabaya, saya wakil walikota.
Kepada dia saya usul agar DPRD Surabaya membangun gedung baru. Tapi tidak di lokasi sekarang. Melainkan di tempat lain yang lahannya lebih luas. Kalau perlu tidak hanya 8 lantai, tapi sampai 10 lantai dan seterusnya.
Banyak aset Pemerintah Kota Surabaya yang bisa dipakai menjadi Gedung DPRD Baru. Bisa di kawasan Convention Hall milik Pemkot Surabaya di Jalan Arif Rahman Hakim. Bisa juga menjadi pioneer untuk menghidupkan kawasan Jembatan Suramadu. Atau di aset-aset lainnya yang terserak di berbagai kawasan kota.
Lalu, gedung DPRD yang ada sekarang dirombak untuk menjadi perpustakaan kota. Dengan demikian, fasilitas untuk mencerdaskan warga itu bisa menjadi satu kawasan dengan pusat kesenian dan kegiatan pemuda yang ada di Balai Pemuda.
Jika itu bisa dilaksanakan, Surabaya bisa menjadi kota dengan fasilitas perpustakaan yang istimewa di pusat kota. Bukan malah memperluas gedung DPRD dengan menggusur fasilitas kesenian dan kreatifitas warga yang ada sekarang.
Pasti, warga akan gembira kalau DPRD merelakan gedungnya yang sekarang menjadi perpustakaan kota. Hanya saja, tentu tidak tidak adil jika beban membangun pusat peradaban itu hanya dibebankan kepada kota Surabaya. Pemerintah Provinsi Jatim perlu ikut turun tangan.
Jika, angan-angan itu bisa diwujudkan, pasti para angota DPRD akan menjadi pahlawan di mata publik, khususnya pustakawan. Setidaknya bisa meniru kota-kota dengan peradaban tinggi seperti Boston di Amerika Serikat dan Melbourne di Australia. (Arif Afandi)
Advertisement