Jadi Suster Khusus Lansia, Meredam Amarah dengan Sabar dan Kasih
Menjadi seorang suster yang memgurusi orang lanjut usia, sebenarnya bukan pilihan Maria. . Waktu remaja, setelah tamat SMA, perempuan asal Boyolali, Jawa Tengah iti bercita cita ingin menjadi guide atau pemandu wisata.
Bayangannya kala itu, dengan menjadi guide bisa melancong obyek wisata, sambil memperkenalkan keindahan alam dan budaya Indonesia kepada wisatawan.
Tapi sayang, cita citanya meleset jauh, tidak seperti yang diimpikan. Yaitu menjadi guide. Garis tangan Maria menentukan sebagai suster khusus merawat lansia. "Mungkin ini rahasia dan jalan Tuhan yang harus saya lalui, karena itu saya menerimanya dengan lhlas," kata Maria mengawali cerita tentang perjalanan hidupnya sebagai seorang suster.
Pernah Dijambak dan Dicaci maki
Dalam menjalani profesinya sebagai seorang suster, benar benar menguras kesabaran. Karena yang dihadapi lansia dan sifatnya terkadang kekanak kanakan, emosinya tidak terkontrol.
"Kalau cuma dipisuhi dan dicaci maki, sudah menjadi lauk sehari hari. Saya juga pernah mendapat perlakuan kasar, dijambak seorang oma yang saya rawat," kenang Maria.
Menghadapi kejadian yang tidak menyenangkan, Maria berusaha meredamnya dengan sabar dan penuh kasih. Dirinya yang harus mengalah. "Kalau tidak sabar terus diladeni bisa gelut sama pasien," ujar ibu dari anak semata wayang tersebut sambil tertawa kecil.
Terkadang muncul pertanyaan apa enaknya bekerja ngemong lansia opa oma bukan sanak bukan kadang, tidak ada pekerjaan lain apa.
Pertanyaan itu membuatnya menangis dan bertanya dalam hati, apakah merawat lansia seperti yang ia lakukan merupakan pekerjaan hina sehingga ada orang yang nyinyir.
Merawat opa oma yang berusia di atas 70 tahun, apa lagi bukan orang tua sendiri oleh Maria diakui memang cukup berat kalau ukurannya hanya untuk mencari uang.
Tetapi Maria memaknai pekerjaanya ini sebagai ibadah, bak pengabdian seorang anak pada orang tua. Sehingga perlakukan pada pasien yang dirawatnya, melebihi tugas dan upah yang diterima.
"Tugas seorang suster itu 24 jam. Menyiapkan seluruh kebutuhan sehari hari dari memandiin, memaikan baju, menyiapakan makan, minum, sampai menamani berjemur, olah raga pagi, jalan jalan ke mall sampai pergi ke dokter," ujar suster berusia 40 tahun tersebut.
Lebih berat lagi kalau pasiennya mengalami gangguan fisik, lumpuh karena stroke, harus dibantu dengan peralatan khusus kursi roda serta alat bantu lainnya. Tidak hanya berat tapi ribet.
"Apalagi kalau pasien yang dirawat itu cerewet dan ngamukan, bekerja sebaik apapun tidak ada benarnya. Dipisuhi, dicaci maki, bahkan dijambak sudah biasa" cerita Maria.
Pengalamannya, bertahun-tahun menjadi suster tidak semua pasien yang dirawat cerewet, banyak juga yang baik, bahkan ada yang mengangap dirinya bagian dari keluarga. Diajak makan dalam satu meja dan nonton teve bareng keluarga, membuat hatinya tersanjung.
Sebaliknya kalau mendapat pasien yang cerewet, makan hati, badan jadi kurus kalau tidak sabar.
Ikut Pelatihan untuk Jadi Suster Khusus Lansia
Menjadi seorang suster dikatakan tidak bisa ujuk ujuk. Ia harus mengikuti training selama tiga bulan di sebuah yayasan di Kota Solo. Yakni salah satu penyedia jasa pengasuh anak dan lansia. Dengan keterampilan dan sertifikat pelatihan itu Maria mulai menapaki profesinya sebagai suster lansia.
Maria lebih suka merawat lansia, daripada baby. Alasanya sederhana. kalau baby ribet. Kemana mana harus bawa perlengkapan bayi, kereta dan pengawasannya lebih njlimet. "Saya pernah beberapa bulan menjadi baby sitter nggak betah, ditambah ibunya ceriwis," katanya.
Ia menjadi suster lansia sebenarnya bukan pilihannya. Karena terdorong oleh kebutuhan hidup setelah berpisah dengan suaminya, terpaksa ia lakoni.
Soal upah yang diterima, Maria malu malu menyebut. Ia mengalihkan upah yang diterima oleh seorang suster. Kalau di Jakarta berkisar Rp3,50 juta sampai Rp 6 juta tergantung pada tingkat kesulitan pekerjaan yang dihadapi.
Selama menjadi suster lansia, Maria mempunyai pengalaman yang tak terlupakan. Pengalaman itu berkaitan dengan kedekatannys pada seorang pasien yang ia dirawat.
Ceritanya, waktu pandemi covid-19 Maria merawat seorang oma yang berusia 73 tahun, sedang menjalani perawatan covid-19 secara mandiri.
Sebagian keluarganya menjauh, tapi Maria memberanikan diri tetap merawatnya meskipun tahu dampaknya, yaitu ketularan yang bisa berakibat kematian.
Atas kuasa Tuhan oma yang terkena Covid-19 oleh dokter dinyatakan sembuh total. Tapi muncul masalah baru, pasiennya itu tidak mau berkomunikasi dengan keluarga yang meninggalkannya ketika terkena covid. Tetapi ia selalu berdoa untuk keluarga dan anak anaknya. "Sehari oma berdoa sampai lima kali, dia penganut Konghucu yang taat," ujarnya.
Enam bulan kemudian setelah terbebas dari covid, kondisi oma yang dirawat menurun dipengaruhi oleh faktor usia. Selama sakit Maria yang diminta mendampingi sampai ajal tiba.
"Aku menangis sekeras kerasnya, oma meninggal sambil menggenggam tanganku," kenang Maria.
Pada saat kritis ada anaknya, tapi didiamkan. "Di saat itu saya merasa meskipun hanya seorang suster tapi begitu berati bagi orang lain," ujar Maria saat menemani pasiennya seorang opa berusia 83 tahun berjemur di Taman Komplek Perumahan Karmel, Kebun Jeruk, Jakarta Barat.