Jadi Guru Besar, Cornelis Lay Tawarkan Jalan Ketiga Intelektual
Pakar politik dan pemerintahan Universitas Gajah Mada (UGM) Dr Cornelis Lay resmi menjadi guru besar. Ini setelah dia menyampaikan pidato pengukuhan guru besar di Balai Senat UGM, Bulaksumur, Yogyakarta, Rabu, 6 Januari 2019.
Di depan sidang Senat terbuka, Conni --demikian ia biasa dipanggil-- menyampaikan pidato berjudul: Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan. Ia mengawali pidatonya tepat pukul 10.10 WIB.
Pengakuan dan penghormatan terhadap intelektualitas Conni terlihat dari para undangan yang hadir. Balai senat penuh sesak dengan pata tokoh politik dan akademisi. Tampak sejumlah tokoh pemerintahan seperti Mensesneg Pratikno, Menristek Dikti Mohamad Nasir, Menlu Retno Marsudi, Mendagri Tjahjo Kumolo, Wakil Ketua MPR Ahmad Baskara, Wamen ESDM Arcandra Tahar dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Sejumlah tokoh politik juga tampak hadir. Misalnya Sekjen DPP PDIP Hasto Kristianto, anggota DPR RI Aria Bima. Sejumlah staf khusus Presiden seperti Arie Dwipayana, Sukardi Rinakit, dan Teten Masduki tampak hadir. Juga sejumlah orang dekat Presiden Joko Widodo yang memang alumni UGM.
Dalam pidatonya, Conni mengangkat dilema peran inteletual dalam kekuasaan. Setelah mengutip contoh-contoh aktual, ia mengakui adanya kompleksitas hubungan antara kekuasaan, intelektual, dan ilmu pengetahuan. Kompleksitas itu tidak mudah untuk diurai.
Dia melihat bahwa reputasi yang melekat pada intelektual membuat mereka seakan hanya dihadapkan pada dua pilihan jalan. Pertama, mendekat dan menjadi bagian dari kekuasaan atau sebaliknya. Kedua, menjauhi dan bahkan memusuhi kekuasaan.
"Tidak tersedia jalan lain bagi intelektual dan kekuasaan untuk bisa hadir berdampingan," kata ilmuwan politik pemerintahan yang selama ini sering menjadi rujukan pemikiran Presiden Jokowi dan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri ini.
Dalam pidatonya, Conni sempat melakukan otokritik terhadap ilmu politik dan pemerintahan yang digelutinya. Setelah menjlentrehkan pelbagai data sejarah, ia berkesimpulan bahwa ilmu politik dan pemerintahan kini sedang membeku di satu titik waktu dengan Orde Baru sebagai simpul referensi utamanya.
"Ilmu politik dan pemerintahan mengalami stagnasi dan secara pasti mulai tunduk pada hukum spiral involusi yang membuatnya kehilangan relevansi dan orientasi dasarnya sebagai ilmu pengetahuan untuk kekuasaan," katanya.
Dalam kaitan itu, ia menawarkan jalan ketiga peran inteletual dalam kekuasaan. Apa itu? Ia menyarankan perlunya jalan ketiga yang bersifat imbal balik. "Kamu intelektual bisa masuk dan keluar dari kekuasaan berdasarkan penilaian yang matang dan menyeluruh, bukan didikte oleh motif kecintaan atau kebencian terhadap kekuasaan," tuturnya.
Menurutnya, jalan ketiga ini berbeda dengan logika "berumah di angin" ala Rendra si Burung Merak, yang menekankan fungsi resi kaum intelektual yang hanya hadir dalam situsoli darurat dalam kerangka memperbaiki.
"Jalan ketiga yang saya tawarkan justru mengharuskan kehadiran intelektual dan ilmu pengetahuan dalam praksis rutin kekusaan. Jalan ketiga ini menekankan sentralitas voluntarisme dalam politik," tambahnya.
Conni mengakui bahwa banyak intelektual yang kesulitan dalam memerankan jalan ketiga ini. Sebab, kekuasaan memang mempunyai berbagai lapis jebakan bagi intelektual yang memungkinkan mereka sulit keluar dari jebakan tersebut.
Namun, secara optimistik kaum intelektual bisa memilih jalan ketiga ini. Sebab, ia meyakini bahwa kekusaan dan ilmu pengetahuan lahir dan bertumbuh di atas cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan. Keduanya bisa menemukan alasan moral yang kuat dan masuk akal untuk jalan bersisian di tengah pesimisme yang berkembang.
Di mata Conni, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapan untuk dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya. "Tetapi justru ketika ia bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekusaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual; berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan," tegasnya.
Conni menyampaikan pidato pengukuhan guru besarnya tepat sejam lebih sedikit. Beberapa kali, hadirin memberikan aplous karena pernyataan-pernyataannya yang kritik dan tajam. (rif)
Advertisement