Jabatan Itu Amanah, Sebuah Refleksi Ulama Pesantren
Perayaan demokrasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak telah berlangsung Rabu 27 November 2024. Mulai dari bupati dan wali kota hingga gubernur di seluruh Indonesia.
Semua itu merupakan ikhtiar demokratis dalam menentukan pemimpin bagi masyarakat selama lima tahun mendatang. Lalu bagaimana pandangan Ulama Pesantren terkait perebutan kursi jabatan demi kepemimpinan itu?
Berikut ulasan KH Muhammad Syamsuddin, Pengasuh Pesantren Putri Al-Jufri Bawean, Kabupaten Gresik:
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa jabatan adalah panggung kehormatan, tempat di mana seseorang bisa bersinar dan memerintah seenaknya.
Namun, mari kita luruskan: jabatan bukan sekadar kursi empuk atau piala kemenangan. Ia adalah amanah. Amanah yang berat, bahkan Nabi sendiri enggan memikulnya jika tanpa izin Allah. Namun, anehnya, banyak dari kita yang mengejar jabatan seolah-olah mengejar harta karun dunia.
“Jabatan itu amanah!” teriak seseorang yang baru saja memenangkan pemilihan. Ironisnya, kalimat ini sering digunakan lebih sebagai slogan daripada kesadaran.
Padahal, Nabi Muhammad SAW bersabda:
> "إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ". قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: "إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ"
“Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran (kiamat)." Beliau ditanya, "Bagaimana menyia-nyiakannya?" Beliau menjawab, "Apabila suatu perkara (jabatan) diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya." (HR. Bukhari)
****
Jabatan itu amanah, bukan sekadar pajangan. Namun, bagaimana jika jabatan diberikan kepada yang tidak ahli? Atau lebih parah, diberikan kepada mereka yang rakus akan kekuasaan? Tentu, kehancuran bukan hanya sekadar ramalan, tapi kenyataan yang lambat laun hadir.
Mereka yang duduk di kursi jabatan sering kali lupa, bahwa di balik tepuk tangan dan hormat orang-orang, ada pengadilan Allah yang menanti. Dalam sebuah hadis lain, Rasulullah SAW bersabda:
> "إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ، وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ"
“Sesungguhnya kalian akan berlomba-lomba untuk mendapatkan jabatan, padahal itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat. Jabatan itu memang nikmat saat pertama kali (seperti bayi disusui), tetapi sangat buruk akibatnya ketika lepas darinya." (HR. Bukhari)
Bayangkan, seseorang yang begitu keras mengejar jabatan, bersumpah serapah untuk merebutnya, akhirnya menang. Namun, di Hari Akhir, jabatan itu berubah menjadi belenggu. Sungguh tragis, bukan?
Seharusnya, jabatan membuat kita gemetar, takut tidak mampu mempertanggungjawabkannya. Tetapi, ada yang justru menganggapnya sebagai kesempatan untuk memperkaya diri. Padahal Allah SWT berfirman:
> "إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا"
"Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya." (QS. An-Nisa: 58)
Namun, ketika amanah menjadi alasan untuk memperkaya diri, kita justru mencederai firman Allah tersebut. Seolah-olah jabatan adalah kendaraan untuk memuaskan hawa nafsu, bukan medan perjuangan untuk melayani masyarakat.
Maka, jika Anda sedang memegang jabatan atau bahkan menginginkannya, pikirkanlah ulang. Jabatan bukan mahkota, tapi beban. Dan jika Anda tak mampu memikulnya dengan benar, bersiaplah menghadapi pertanggungjawaban yang sangat berat di hadapan Allah.
Sungguh, jabatan itu amanah, bukan mainan. Tetapi jika Anda lebih senang menjadikannya sebagai permainan, bersiaplah: permainan itu akan berakhir dengan air mata di akhirat.
Advertisement