Jabalsari Itu Seperti Kuman di Seberang Lautan, Tapi Tengkulak Selalu Punya Keker
Dirinci-rinci, dijumlah-jumlah, warga Desa Jabalsari, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung itu 6.212 orang. Sekian rinci dan jumlah penduduk itu ada 1893 KK. Makin hari, bulan dan tahun makin banyak saja.
Dalam jumlah cukup banyak warga menjadi TKI ke luar negeri. Tapi banyak juga yang bertahan tetap di desa dengan keadaan yang ada. Pasrah namun membela diri. Selebihnya adalah waspada menjalani hidup.
Yang tetap bertahan di desa selain bertani ya jadi perajin musiman. Itu yang menjadikan produk barang rumahan seperti komoceng, sapu, keset ijuk, keset bahan limbah kain tetap jadi gantungan hidup.
Sebenarnya juga tak sekadar pekerjaan sampingan untuk menghasilkan rupiah tambahan. Buktinya, pekerjaan itu terus menerus dilakukan. Sama seperti halnya pertanian, meski acapkali tidak sesuai dengan harapan tetap dikerjakan dengan sukacita. Meski acapkali tak seuai harapan itu sejatinya mereka tak pernah mau benar-benar lepas dari lahan pertaniannya.
Jabalsari, kata Sunarti, Bu Kades perempuan itu, memang punya pamor lebih ketimbang desa lain di sekitarnya. Seperti: Desa Bendo, Desa Jati Wetan di sebelah Selatan, Sumberdadi di Barat, Sambi Robyong di Utara, dan Pulotondo di Timur. Selain memiliki sentra beberapa kerajinan, juga memiliki industri makanan tradisional yang sangat terkenal namanya. Ya… Geti itu.
Panganan Geti terbuat dari adonan gula kelapa yang dicampur dengan biji wijen dan kacang tanah. Meski hanya panganan ndeso yang terbuat dari bahan baku sederhana, tapi jangan salah, penikmatnya bisa mencapai lidah orang mancanegara. Orang Korea dan Jepang sangat suka camilan ini.
“Sayangnya, semua itu orang lain yang mendapat nama. Bukan si perajin dari Jabalsari sendiri. Sebab, perajin tidak cukup modal untuk membawa sendiri produknya keluar. Modalnya hanya cukup untuk memproduksi dan membayar beberapa pekerjanyanya. Modalnya tidak cukup untuk melakukan publikasi dan promosi atau membuat jaringan distribusi sendiri,” kata Sunarti.
Keterbatasan ini membuat semuanya tergantung pada tengkulak. Mereka hilir mudik masuk ke Jabalsari sebagai juragan. Sementara perajin hanya cukup puas jika barang produsiknya habis terbeli. Perajin tidak pernah tahu kalau produksinya mampu menjangkau banyak wilayah. Menyebar ke seantero provinsi dengan aneka merk. Tanpa secuil pun identitas dari Jabalsari.
Fenomena ini di satu sisi memang menguntungkan bagi perajin karena cepat menghasilkan uang. Namun ketiadaan identitas produksi membuat mereka rentan terhadap permainan pasar.
Fenomena ini meski bisa dibilang menyedihkan namun cukup membuat hidup perekonomian di Jabalsari. Minimal semua aktivitas itu bisa menghambat warganya agar tak lari ke kota atau keluar negeri untuk mencari pekerjaan. Sejalan dengan itu potensi sekaligus kelemahan inilah yang kemudian dicoba digarap oleh beberapa program pemberdayaan berlabel pemerintah.
Kata Sunarti, program pemerintah itu bernama Unit Pengelola Keuangan dan Usaha (UPKU) Melati. Desa Jabalsari mengelola dana sebesar 169,8 juta rupiah. Sebelum terjadi penambahan aset hingga sebesar itu, modal awal UPKU Melati yang berasal dari program pemberdayaan ini adalah 112 juta rupiah. Modal awal dipecah menjadi dua bagian, 70 juta dialokasikan untuk kegiatan simpan pinjam sedangkan yang 42 juta untuk membiayai program kemitraan.
Progresnya menunjukkan hasil signifikan. Modal awal 112 juta rupiah membesar menjadi 169,8 juta rupiah.
Nur Rodli, S.Pd, Ketua UPKU Melati Jabalsari menuturkan, program kemitraan yang digarap oleh desa itu diarahkan untuk perajin-perajin kemoceng, keset, sapu dan makanan geti. Untuk masing-masing perajin mendapatkan kebijakan stimulan yang berbeda dengan pelaku usaha yang biasa. Kalau pelaku usaha biasa hanya mendapatkan dana pinjaman dana 500 ribu sampai 1 juta rupiah, para perajin yang cukup besar bisa mendapatkan pinjaman 8-15 juta rupiah.
Dengan pinjaman itu perajin yang biasanya juga berupa kelompok masyarakat ini, mampu berproduksi lebih stabil. Tidak tergantung musim dan menunggu sisa laba dari hasil panen di sawah.
Siti Umayah, 31 tahun, misalnya. Dia adalah perajin kemoceng berbahan plastik raffia. Dia merasakan manfaat dana pinjaman itu. Meski tetap mengandalkan tengkulak untuk melempar hasil kemocengnya, produksi yang semula 3 kodi dalam seminggu meningkat pesat menjadi 30 kodi dalam waktu yang sama.
Satu kodi berisi 20 kemoceng, dan dibeli tengkulak hanya 1750 rupiah per bijinya. Meski dengan harga super murah, ia masih bisa menggaji 3 orang pekerja yang ikut dengannya. Masing-masing harus digaji 4 ribu rupiah untuk tenaga garuk dan 5 ribu rupiah untuk pembuat kemoceng per satu kodi.
Selain Siti Umayah, ada Suparmi 65 tahun, perajin makanan tradisional Geti, juga merasakan hasil serupa. Stimulan 8 juta rupiah yang diterimanya mampu meningkatkan kapasitas produksinya. Malahan ia juga mampu membuat variasi usaha makanannya.
Selain Geti, dia juga menghasilkan camilan bernama mancu wijen, mancu kroto, carang mas, krecek singkong, dan opak gambir. Jika hari raya tiba omsetnya juga melonjak dahsyat. Bisa mengolah bahan baku mencapai 6 ton per hari. Pemasarannya juga melebar dari Surabaya hingga Kalimantan dan Sumatera. Sayangnya, tetap tengkulak juga yang mengambil peran paling besar. Jabalsari sebagai penghasil malahan hanya sesekali saja nampak, itu pun terlihat seperti kuman di seberang lautan. (idi/habis)
Advertisement