Iwan Fals, OI, dan Gerakan Musik Protes
Musisi dan penggemar adalah dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Terbentuknya penggemar adalah karena kesenangan terhadap sosok musisi yang dapat menyanyikan dan mengekspresikan karya-karya seni dengan baik.
Sosok musisi ini tidak hanya unjuk gigi lewat suara dan ataupun lihai dalam memainkan alat-alat musik. Musisi juga dapat dilihat dari sisi kharismatik serta fame yang dibangunnya melalui berbagai penampilan juga karya-karya yang dihasilkan.
Iwan Fals adalah sosok yang kuat dalam setiap karya yang dinyanyikan, baik lagu gubahannya sendiri maupun gubahan kawan-kawan pencipta lagu yang sejawat dengannya, serta memiliki sisi kharismatik yang khas dan belum dapat tergantikan oleh musisi lainnya.
Lagu-lagu seperti Surat Buat Wakil Rakyat, yang menceritakan kritikannya terhadap anggota legislatif dan Galang Rambu Anarki, lagu yang dipersembahkan khusus untuk menyambut kelahiran anaknya dan secara implisit menceritakan mengenai keadaan ekonomi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Sosok Iwan Fals dengan lagu-lagunya yang berisi kritik-kritik sosial maupun terhadap pemerintahan Orde Baru, secara eksplisit menarik perhatian publik hingga ngefans dengan sosok Iwan Fals, dan karya-karya yang disenandungkan.
Ngopibareng.id menemui dua pentolan Orang Indonesia (OI), organisasi masyarakat besutan Iwan Fals sekaligus wadah berkumpulnya para penggemar Bang Iwan.
Dua pentolan OI Surabaya tersebut adalah Harry dan Chaeruddin. Ngopibareng.id menemui keduanya di rumah Harry kawasan Karangpilang, Surabaya selatan, pada 15 November 2023.
Harry menceritakan bagaimana awal mula OI bisa terbentuk di berbagai universitas yang ada di Kota Pahlawan, sekitar akhir 90-an, menjelang Reformasi.
“OI juga terbentuk awalnya di Surabaya, di Unitomo (Universitas dr. Soetomo), IAIN Sunan Ampel (UIN Sunan Ampel), dan UWK (Universitas Wijaya Kusama),” kenang Harry.
Kelompok-kelompok OI yang telah terbentuk di berbagai kampus, kemudian menamakan masing-masing perhimpunan yang telah terbentuk yang diambil dari judul lagu-lagu bonafit yang disenandungkan oleh Iwan Fals.
“Di IAIN nama kelompoknya adalah “Wajah Pribumi”. Kalau di UWK itu “Sarjana Muda” dan di Unesa “Sarjana Muda” karena mereka gemar dengan kegiatan berbau literasi,” jelas Harry.
Menurut Harry, OI Surabaya terbentuk secara resmi pada 10 Oktober 2002, beberapa tahun sesudah Reformasi ’98 berlangsung. OI Surabaya sebenarnya telah terbentuk secara tidak resmi sejak 2001. Namun baru disahkan setahun selanjutnya.
“OI Surabaya terbentuk pada 2002 dan deklarasinya dulu di Monumen Kapal Selam, dekat Plaza Surabaya sekarang,” tambah Harry.
Menurut Harry, OI terbangun atas lima pilar, SOPAN, yang digagas dan dibentuk sendiri oleh Iwan Fals. SOPAN akronim Seni, Olahraga, Pendidikan, Akhlak, dan Niaga. Namun, menurut Chaeruddin, SOPAN akronim Seni, Olahraga, Pendidikan, dan Kepustakaan.
“Filosofi Kepustakaan itu menurut Bang Iwan bahwa walaupun anggota OI tidak sekolah, tapi harus membaca. Karena membaca itu kan Iqro,” tambah Ncing Udin, sapaannya.
Harry juga berujar bahwa Iwan Fals tidak berpolitik dalam rutinitasnya. Jika ia ingin terjun ke dunia politik, maka OI sejak dahulu sudah berdiri sebagai partai politik. Bukan sebagai organisasi masyarakat yang gemar dengan Iwan Fals dan karyanya.
Chaerudin sependapat dengan koleganya. Ia berujar bahwa Iwan Fals sebenarnya sudah berpoltik, namun berpolitik secara pribadi. Kalau OI di kemudian hari akan dijadikan sebagai partai politik, maka mereka akan keluar.
Dasar organisasi OI adalah berdaya bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan juga dunia, bukan sebagai fanbase, fansclub, ataupun partai politik.
“Bang Iwan takut kalau nanti OI dibikin sebagai fansclub, matinya nanti kayak John Lennon. Banyak nanti yang nyanyi-nyanyi dan baca doa di makamnya,” ujar Ncing Udin sambil menirukan gaya bicara Iwan Fals.
OI sendiri terbentuk tepat setahun setelah Reformasi, pada 1999 oleh Yayasan Orang Indonesia (YOI) diketuai sendiri oleh Iwan Fals. Agenda OI pertama adalah untuk mengumpulkan penggemarnya dari berbagai daerah di Indonesia untuk berkumpul di rumah Iwan Fals, Jalan Luwinanggung, Depok, Jawa Barat.
OI Surabaya di bawah pimpinannya telah mencapai 922 orang anggota resmi yang memiliki KTA, pada 2016 silam. Banyak juga dari anggota Bhayangkara yang menjadi anggota OI Surabaya kala itu menurutnya. Bahkan di luar Jawa, banyak pejabat publik yang bergabung dengan masing-masing OI yang tersebar di seluruh Indonesia. OI terbangun secara nasional, menurutnya.
“OI ini basisnya sudah seluruh Indonesia. Jadi kalau misalnya anggota ini hendak berpergian ke salah satu daerah begitu, tinggal mengontak OI di daerah itu aja. Karena kami terbangun atas asas kekeluargaan,” tutur Harry.
Berbagai kegiatan OI juga dijalankan sesuai dengan isi dari setiap lagu-lagu karya Iwan Fals. Menurut Harry, lirik-lirik tersebut diimplementasikan lewat berbagai kegiatan, seperti bersih-bersih sungai, menanam pohon, memberi santunan, dan menyebarkan buku sebagai jembatan literasi kepada masyarakat.
Pada 2022 lalu, OI melalui OI Crisis Center, telah melakukan ekspedisi Bengawan Solo, juga pendataan mata air di Gunung Wilis, ikut dalam kegiatan penanganan bencana di Cianjur juga banjir bandang di Tasikmalaya.
OI Surabaya pada perkembangannya, terdiri atas berbagai latar belakang. Banyak dari mereka yang dulunya sebagai pengamen, peminum, pencopet, namun setelah masuk dan bergabung dengan OI banyak dari mereka yang berubah jalan hidupnya dan mendapat pekerjaan yang layak sebagaimana mestinya.
Chaeruddin berujar kepada kami, bahwa kritik-kritik sosial yang disampaikan oleh Iwan Fals lewat lagu-lagunya, justru tidak tersampaikan karena dinyanyikan. Menurutnya jika dinyanyikan malah tidak mengubah keadaan, contohnya lagu “Surat Wakil Rakyat” yang dinyanyikan setiap Pemilihan Umum berlangsung.
“Bang Iwan pernah tanya ke saya, kok lagu gua yang itu malah buat anggota DPR malah ketiduran. Terus saya jawab, kan lagunya enak dinyanyikan bang, coba kalau dibuat seperti baca pidato, mungkin tidak ketiduran mereka,” ujarnya sambil tertawa.
Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, Pradipto Niwandhono ketika ditemui pada 27 November 2023 lalu, berujar bahwa banyak tradisi musik protes yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Beberapa musisi, seperti Gombloh, Leo Christi, Franky Sahilatua, juga Iwan Fals, merupakan aktor penting dalam perkembangan gerakan musik protes di Indonesia.
Menurutnya, seiring berjalannya waktu, musik-musik yang dinyanyikan oleh Iwan Fals, sudah tidak musim lagi untuk dinyanyikan pada masa sekarang.
“Tongkat estafet tersebut dilanjutkan oleh para musisi indie (independen). Jenis musiknya pun telah memiliki kecenderungan seperti musikalisasi puisi dan dengan musik yang sederhana. Ada regenerasi yang terlihat,” ujarnya.
Pradipto juga menjelaskan bahwa gerakan musik protes berkembang terlebih dahulu di dunia barat. Gerakan musik tersebut tumbuh seiring berlangsungnya Perang Dingin.
“Amerika dan Inggris adalah pusatnya. Musisi folk, seperti Bob Dylan, Joan Baez, Joni Mitchell. Mereka menggunakan medium puisi sebagai protes terhadap perang yang berlangsung, khususnya Amerika yang mengintervensi negara-negara dunia ketiga,” tambahnya.
Terlebih Amerika Serikat, mereka mempunyai tradisi musik kepahlawan juga, seperti musik blues serta nyanyian-nyanyian rakyat imigran yang menceritakan mengenai realitas sosial yang terjadi pada mereka.
Gerakan musik yang termasuk dalam budaya tanding tersebut, juga pernah dilakoni oleh Ebiet G. Ade, Bimbo, dan Franky Sahilatua.
Iwan Fals yang membawa pesan-pesan protes, juga bersama Slank dan Franky Sahilatua. Lagu-lagu yang berbau protes dan politis, seperti lagu “Bento” dan “Guru Oemar Bakri” yang menceritakan mengenai keadaan guru yang tidak sejahtera sampai sekarang.
“Ada kesadaran dari para musisi untuk mengangkat permasalahan kaum sub-urban dan kaum miskin perkotaan yang ada. Pengaruh lagu tersebut tidak lepas dari sosok Iwan Fals yang kharismatik, paling kharismatik di antara koleganya,” tambahnya.
Lagu-lagu Iwan Fals yang bersifat protes dan politis merupakan pertentangan terhadap rezim Orde Baru yang sedikit untuk membuka celah dalam mengekspresikan pendapat. Hanya segelintir seniman dan budayawan yang berani dan nekat saja, yang memiliki keinginan untuk memprotes pemerintahan Presiden Soeharto.
“Era Orde Baru kan ada masa mengambang. Mereka berusaha untuk mendepolitisasi kebudayaan. Berbeda dengan saat masa Demokrasi Terpimpin dan dominannya gerakan kiri di Indonesia, banyak lagu yang bertemakan politis berkembang,” ujarnya.