ITS Rancang TB-Analyzer Percepat Diagnosa Tuberculosis
World Health Organization (WHO) menyatakan tuberculosis (TBC) adalah salah satu penyakit penyumbang kematian tertinggi di dunia, di mana salah satu penyebabnya adalah tidak akuratnya informasi tingkat keparahan penderita. Dengan angka kematian mencapai 1,7 juta jiwa per tahun, penanganan terhadap penyakit ini harus secara sigap dilakukan.
Melihat kondisi itu, dosen dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya merancang sebuah inovasi alat yang diberi nama TB-Analyzer, yakni alat yang dapat menghitung jumlah bakteri tuberculosis secara akurat. Dengan alat ini, tenaga medis mampu memotong waktu diagnosis selama berjam-jam.
Dr I Ketut Eddy Purnama ST MT, dosen perancang TB-Analyzer, mengungkapkan bahwa selama ini diagnosa tuberculosis masih dilaksanakan secara manual. “Dokter dan perawat masih menggunakan mata dengan menghitung adanya bakteri tahan asam (BTA) pada dahak penderita yang diletakkan di atas citra mikroskopik”, tutur dosen Departemen Teknik Komputer, Fakultas Teknologi Elektro ITS itu.
Penghitungan ini, menurut pria yang biasa disapa Ketut ini, seringkali tidak akurat. Hal ini dikarenakan area yang diperiksa sangat luas sehingga tidak memungkinkan untuk menghitung jumlah bakteri secara teliti. “Bayangkan ada 100 area, lalu kita memindahkannya satu-satu dengan tangan. Pasti nanti akan ada yang terlewat entah karena lalai atau lelah,” katanya.
Berangkat dari hal itu, Ketut menggandeng tiga tim dosen lainnya untuk melakukan penelitian. Ketiga dosen tersebut antara lain Dr Ir Arman Hakim Nasution MEng dari Departemen Manajemen Bisnis, Dr Supeno Mardi Susiki Nugroho ST MT dan Arief Kurniawan ST MT dari Departemen Teknik Komputer.
Selama lebih dari tiga tahun, Ketut dan tim melakukan penelitian sampai akhirnya dihasilkan alat penghitung bakteri tuberculosis yang diberi nama TB-Analyzer: Smart System to Count Tubercolosis Bacterial on a Sputum Smear Automatically. Alat ini merupakan sistem terpadu antara aplikasi perangkat keras dan perangkat lunak untuk analisis citra mikroskopik.
Ia mengatakan bagian perangkat kerasnya terdiri dari komputer jinjing yang terhubung ke mikroskop digital. Sementara bagian aplikasi mampu menginstruksikan untuk menggerakkan motor dan mendapatkan fokus pada bakteri agar mendapatkan puluhan gambar yang tidak tumpang tindih.
Lulusan University of Groningen ini mengatakan cara kerja alat ini diawali dengan penderita melakukan X-Ray untuk menentukan apa pasien terjangkit TBC atau tidak. Ketika didiagnosa menderita TBC, dahak dari penderita diambil di atas preparat dahak, dikeringkan lalu dibakar. Tujuan pembakaran ini untuk melelehkan bakteri yang berbentuk batang dengan lapisan lilin.
Ketika pembakaran selesai, preparat diberi warna dengan menggunakan Ziehl Neelsen. Setelah itu, preparat didinginkan dan diletakkan kembali di atas mikroskop digital. Nantinya, bakteri akan secara otomatis muncul di layar komputer.
Ketut yang bertindak selaku ketua tim ini mengutarakan, penting diketahui bahwa TB-Analyzer ini memiliki kemampuan yang akurat dan kuat dalam menghitung ratusan gambar bakteri serta mampu menghitungnya dalam berbagai macam skala gambar.
Akan tetapi, TB-Analyzer yang dibuat ini masih dalam tahap penyempurnaan. “Kita masih akan menyempurnakan bagian mekaniknya terlebih dahulu. Setelahnya, produk ini akan mulai dipasarkan dengan menggandeng rumah sakit milik pemerintah maupun swasta, klinik, serta laboratorium penelitian,” pungkasnya. (frd)