Isu Radikalisme Banyak Warnai Politik Islam di Asia
Pakar politik dari University of Malaya, Prof Dr Makmor Tumin menegaskan, pemahaman mengenai politik Islam belakangan ini banyak diwarnai oleh isu terorisme dan kejahatan. Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran dari pakar keamanan internasional.
“Jika melihat kaitan antara politik dan Islam saat ini banyak kesalahpahaman yang sangat besar. Gerakan Islam secara internasional banyak dipandang sebagai ancaman bagi dunia Barat, terutama aksi terorisme. Hal ini mengundang para pakar dengan pemikiran yang efektif untuk mengambil langkah dalam investigasi terhadap isu tersebut khususnya di era disruptif ini,” ujarnya, dalam keterangan dikutip Rabu 14 April 2021.
Prof Dr Makmor Tumin mengungkapkan fakta tersebut, dalam Seminar Internasional bertajuk "Political Islam In Asia Between Constitution And Implementation" yang diselenggarakan Program Studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Nasional bekerja sama dengan Pusat Kajian Sosial dan Politik (PKSP) UNAS di Jakarta, Kamis.
Dalam paparannya, Makmor Tumin juga menjelaskan berbagai tantangan yang dihadapi dari perkembangan berbagai model gerakan. Ia juga menjelaskan mengenai pencarian identitas dari berbagai gerakan Islam tersebut.
Di sisi lain, President Islamic University Ukraina, Prof Sheikh Ahmad Tamim mengulas tentang bagaimana Islam berkembang di Uzbekistan dan empat negara lainnya di kawasan Asia Tengah, juga pengaruhnya terhadap gerakan politik Islam di sana.
Ia juga mengatakan bahwa gerakan Islam sering dicirikan sebagai anti-modern atau didorong oleh ideologi pramodern yang mengancam gaya hidup barat. Namun, lanjutnya, gerakan tersebut merupakan respons terhadap kondisi sosial ekonomi dan politik yang diperburuk oleh urbanisasi yang cepat dan kekuatan globalisasi ekonomi di banyak negara Muslim, seperti Arab, dan non-Arab, terutama Asia.
“Fenomena ini bergantung pada beberapa faktor, seperti geografi, sejarah, dan ukuran komunitas muslim,” jelasnya.
Sementara itu, Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP Unas, Dr Robi Nurhadi melihat adanya dilema yang dihadapi oleh negara-negara di kawasan Asia Tengah, seperti Kazakhstan, Kirgistan, Turkmenistan, Tajikistan dan Uzbekistan.
Robi melihat kawasan ini memiliki tiga ciri, yaitu jalur sutra yang strategis, sumber daya alam seperti emas, perak yang melimpah, serta penduduk mayoritas Muslim.
Namun, tambah Robi, kawasan ini juga dihadapkan pada tiga tantangan yaitu pengaruh tiga negara besar dengan tiga ideologi yang berbeda, yakni Rusia dan China dengan paham komunismenya, Iran dengan Syiah-nya, dan Amerika Serikat serta negara-negara Barat dengan liberalismenya.
Robi melihat bahwa umumnya negara-negara ini memilih mengakomodasi liberalisme dalam praktek berpolitik dan beragama. Proses akomodasi politik liberal ini pada gilirannya telah memancing lahirnya kelompok radikal, ekstremis bahkan terorisme.
Karena itu, menurut Robi, konstitusi negara-negara kawasan Asia Tengah menjamin kebebasan beragama untuk semua pemeluk agama. Dinamika politik Islam lebih banyak ditentukan oleh siapa yang menjadi sosok Presiden nya, karena konstitusi memberi kekuasaan eksekutif yang lebih besar (executive heavy) dibanding legislatif yang umumnya menerapkan sistem bikameral.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian (P3M) Sekolah Pascasarjana UNAS tersebut menambahkan, politik akomodatif di negara-negara mayoritas Muslim tidak hanya terjadi di Asia Tengah melainkan di berbagai kawasan Asia lainnya, seperti Turki, Malaysia dan Indonesia.
Dihelat secara virtual, seminar Internasional ini juga merupakan wadah berbagi pemikiran tentang Politik Islam di Asia di kalangan cendikiawan, praktisi, birokrat, dan masyarakat sipil.
Kegiatan ini diikuti sekitar 100 peserta yang terdiri dari profesor, peneliti, dan mahasiswa, serta turut dihadiri oleh Ketua Prodi Hubungan Internasional UNAS, Dr Irma Indrayani, M.Si, serta jajaran dosen dari FISIP Universitas Nasional.