Isu Pemakzulan Langkah Panik
Oleh: Djono W. Oesman
Pilpres yang sudah dekat diwarnai isu pemakzulan Presiden Jokowi. Alasannya, Jokowi tidak netral jelang Pilpres. Isu ini bergulir sejak pekan lalu. Tapi, elite politik dan pejabat negara menganggap, alasan terlalu lemah. Dianggap, itu dilontarkan paslon nomor satu dan tiga.
—-----------
Berdasar Pasal 7B UUD 1945, Presiden RI bisa dimakzulkan jika: 1) Berkhianat terhadap negara. 2) Korupsi. 3) Tindak pidana berat atau perbuatan tercela. 4) Tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden.
Presiden tidak netral di Pilpres, tidak bisa dijadikan alasan pemakzulan. Tidak netral bukan pelanggaran hukum, apalagi pelanggaran hukum berat. Jika Presiden Jokowi mengatakan, bahwa presiden boleh memihak, itu malah sesuai hukum.
Sesuai Pasal 280 Undang-Undang Pemilu merinci, pejabat negara yang tidak boleh kampanye, antara lain, ketua dan para Hakim Agung, ketua dan para hakim Mahkamah Konstitusi, ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan seterusnya, tidak termasuk presiden dan wakil presiden.
Merujuk Pasal 299 ayat 1 Undang Undang Pemilu menyatakan, presiden dan wakil presiden berhak untuk berkampanye. Baik mengampanyekan diri mereka sendiri (kalau jadi petahana), atau mengampanyekan orang lain yang menjadi capres dan cawapres.
Sehingga wacana pemakzulan Presiden Jokowi karena dianggap tidak netral jelang Pilpres 2024 malah kontra-produktif buat pihak yang mewacanakan. Lebih jelas lagi, karena putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka jadi cawapres di paslon nomor dua, maka publik menganggap wacana itu digaungkan paslon nomor satu dan tiga.
Wacana yang sangat serius (pemakzulan, atau pemecatan presiden) dengan alasan sangat sepele (dan keliru), menandakan langkah panik paslon satu dan tiga. Mungkin karena dukungan masyarakat untuk paslon dua semakin kuat. Sementara pilpres sudah sangat dekat. Mengakibatkan langkah panik paslon satu dan tiga.
Akibatnya, dukungan masyarakat terhadap paslon dua bisa melejit. Tak terbendung. Karena terkesan diserang lawan politik dengan serangan yang keliru. Penyerang seperti menyerang tanpa analisis sama sekali.
Ide pemakzulan pertama kali dilontarkan 22 orang yang mendatangi Menko Polhukam, Mahfud MD di kantornya, Selasa, 9 Januari 2024. Di antaranya Faizal Assegaff, Marwan Batubara, Letjen (Purn) Suharto, Syukri Fadoli. Mereka mendorong Mahfud agar memakzulkan Presiden Jokowi, dengan alasan itu tadi.
Mendorong Mahfud memakzulkan presiden, pun sudah salah. Itu bukan kewenangan Menko Polhukam. Posisi Mahfud adalah pembantu presiden. Mana mungkin pembantu presiden memakzulkan presiden? Maka, seketika itu juga Mahfud menolak dorongan itu.
Mahfud melalui Instagram @mohmahfudmd, Senin, 15 Januari 2024, menyatakan, pemakzulan presiden bukan kewenangan Menko Polhukam. Itu urusan partai politik dan anggota DPR. prosesnya sangat panjang. Dijelaskan Mahfud:
Berdasar konstitusi, pemakzulan presiden harus diusulkan 1/3 jumlah anggota DPR RI. Kemudian, dilakukan sidang pleno. Syarat sidang pleno, harus dihadiri 2/3 dari anggota DPR.
Apabila 2/3 dari anggota DPR yang hadir menyetujui pemakzulan presiden dan memenuhi syarat, maka dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini sudah tidak dipimpin adik ipar Jokowi lagi.
Mahfud kepada wartawan: “Proses pemakzulan presiden tak bakalan selesai setahun. Itu memakan waktu lama.”
Ditanya wartawan, apakah Mahfud setuju Presiden Jokowi dimakzulkan? Dijawab begini:
“Saya tidak bilang setuju atau tidak setuju. Itu silakan saja dibawa ke DPR, jangan minta pemakzulan ke Menko Polhukam. Itu bukan kewenangan saya.”
Sejak itu wacana pemakzulan ramai. Diberitakan media massa. Digunjing di medsos. Viral. Terus bergulir. Meski, Mahfud sudah mengatakan begitu.
Selain Mahfud yang cawapres paslon nomor tiga, Surya Paloh, pengusung Capres Anies Baswedan sebagai paslon nomor satu, juga mengatakan, tidak perlu memakzulkan Presiden Jokowi. Karena jabatan Jokowi selaku Presiden RI cuma sampai Oktober 2024. Sedangkan, proses pemakzulan sangat lama. Lebih dari setahun. Itu pun kalau alasan pemakzulan sesuai dengan UU.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo kepada wartawan, Sabtu, 20 Januari 2024 mengatakan:
“Masih jauh panggang dari api. Karena pemakzulan bukan hal yang mudah. Prosesnya sangat lama dan alasan pemakzulan harus jelas, sesuai Undang-Undang.”
Dilanjut: "Sesuai Undang-Undang, alasan pemakzulan harus jelas dan kuat. Antara lain, pengkhianatan terhadap negara, perbuatan tercela, korupsi besar, dan macam-macam. Prosesnya lama, harus melalui hak angket, nah harus ada penyelidikan, harus ada pemanggilan, harus ada pengecekan. Semuanya makan waktu lama.”
Beberapa tokoh masyarakat ikut komentar soal isu ini. Semuanya merujuk Undang-Undang, bahwa tidak masuk akal jika memakzulkan Presiden Jokowi. Tapi orang terpenting berkomentar di konteks ini adalah tiga tokoh di atas. Mewakili paslon tiga dan satu, serta Ketua MPR RI.
Isu pemakzulan sangat lemah. Bakal hilang bersama angin.
Di saat heboh pemakzulan, tahu-tahu Presiden Jokowi malah mengatakan, bahwa Presiden RI boleh memihak dalam Pilpres. Itu dikatakan Jokowi kepada wartawan di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu, 24 Januari 2024. Begini:
"Presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh, tetapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara."
Pernyataan Jokowi itu mengejutkan. Karena sedang heboh pemakzulan, alasan Jokowi memihak. Maka, wartawan bertanya, apakah Jokowi memihak dalam Pilpres 2024? Dijawab Jokowi begini (bergurau):
"Nah… itu yang saya mau tanya, memihak ndak?" Jokowi tertawa.
Dilanjut: "Presiden berkampanye boleh, sesuai Undang-Undang. Memihak juga boleh. Tapi kan dilakukan atau tidak dilakukan, itu terserah individu (presiden dan wakil presiden) masing-masing."
Begitu entengnya Jokowi menanggapi isu serius, keberpihakannya di Pilpres 2024, yang jadi dasar alasan wacana pemakzulan. Jokowi menanggapi dengan enteng, sebab berdasar UU, presiden dan wakil presiden boleh memihak, bahkan boleh kampanye untuk paslon yang sedang bersaing.
Sebaliknya, lawan politik Jokowi terus menggali ide untuk menyerang Jokowi, khususnya untuk menyerang paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Sampai-sampai ide keliru pun diwacanakan.
Jokowi (tepatnya paslon Prabowo-Gibran) diserang lawan politik begitu rupa. Gencar. Masif. Menyeret keterlibatan masyarakat untuk ikut menyerang Jokowi. Ternyata elektabilitas Prabowo-Gibran tetap di atas dua paslon lain. Malah elektabilitas mereka cenderung naik. Mengapa?
Jawabnya, karena tingkat kepuasan rakyat terhadap kinerja Presiden Jokowi sekitar 81 persen. Sangat tinggi. Sangat kuat. Belum pernah presiden terpilih Indonesia berprestasi segitu.
Maka, Prabowo-Gibran berkali-kali mendengungkan, jika mereka menang, bakal melanjutkan semua program Presiden Jokowi. Padahal, Prabowo dulu lawan politik (habis-habisan) Jokowi. Capres Prabowo dulu didukung nyaris separo rakyat Indonesia. Kini Prabowo memastikan, bakal melanjutkan semua program Jokowi, yang nilainya 81 persen tingkat kepuasan rakyat itu.
Jadi, melawan (politik) Jokowi sama saja melawan 81 persen rakyat yang merasa puas atas kinerja Presiden Jokowi itu. Terlalu berat bagi lawan. Lawan melontarkan isu apa pun. Mulai dari isu politik dinasti sampai pemakzulan, elektabilitas Prabowo-Gibran tetap berkibar. Tak bisa dilawan.
Kecuali, seandainya pada hari-hari akhir jelang Pemilu 14 Februari 2024, Prabowo-Gibran, misalnya, melakukan kesalahan sangat fatal. Itu bakal lain cerita.
Advertisement