Isu Lingkungan, LBH-WALHI Bawa Bangkai Pohon ke Bawaslu Surabaya
Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Surabaya, Jalan Tenggilis Mejoyo, Surabaya, mendapatkan kiriman berupa sebuah bangkai pohon dan hasil riset tentang praktek tree spiking menjelang Pemilu 2024.
Kiriman diantarkan oleh koalisi masyarakat sipil, yang terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, pada Rabu 7 Februari 2024.
Koordinator Isu Lingkungan Hidup YLBHI-LBH Surabaya, Taufiqurochim mengatakan, berdasarkan hasil riset mereka, praktik tree spiking dalam iklan kampanye Pemilu 2024 di tujuh kelurahan. Yakni Gubeng, Airlangga, Kertajaya, Pucang Sewu, Pacar Keling, Tambaksari, dan Pacar Kembang, berjumlah sekitar 381 pohon dan 879 paku yang menancap dibatangnya.
"Saat dilakukan kroscek kembali, bahwa angka 7.668 APK yang diklaim oleh Bawaslu Kota Surabaya di antaranya tidak termasuk angka tree spiking yang ditemukan," ujarnya, Rabu 7 Februari 2024.
Keberpihakan Pemilu 2024 kepada hak pohon patut dipertanyakan. Beberapa regulasi yang melarang praktik tree spiking selama penyelenggaran pemilu telah diatur dalam Pasal 70 PKPU No. 15/2023 dan Pasal 23 Perbawaslu No. 11/2023.
Dirinya juga menyatakan, saat menengok ke belakang sejak bertahun-tahun lalu, praktek tree spiking ini justru sudah menjadi sesuatu yang membudaya dan para penyelenggara pemilu hanya bertugas untuk membersihkan kesalahan orang.
"Dalam kata lain penertiban APK/BK seolah-seolah sudah menjadi jurus ampuh, padahal akar permasalahan untuk menghentikan praktik perusakan lingkungan tidak hanya dengan cara semacam itu," ucapnya.
Taufiq memohon kepada seluruh penyelenggara pemilu untuk bisa memperhatikan dan peduli dengan keadaan lingkungan. Termasuk keberadaan pohon, dengan membangun sistem yang tegas dan komprehensif.
"Bila penertiban dirasa tidak mampu membuat orang untuk bertobat ekologi, maka paradigma tree spiking sebagai pelanggaran ketertiban umum harus diubah menjadi kejahatan lingkungan," tegasnya.
Direktur WALHI Jatim, Wahyu Eka Styawan menyatakan, kebiasaan para peserta pemilu untuk memaku APK di pohon sama saja dengan usaha untuk menyakiti manusia. Pohon adalah makhluk hidup, sama seperti manusia pada umumnya.
"Kalau praktik itu (menancapkan paku di pohon) berarti tidak menghargai pohon. Kalau tidak menghargai pohon bagaimana mereka menghargai manusia. Itu yang kami tekankan," ujarnya.
Menurut Wahyu, pola yang ditemukan oleh Walhi Jatim, para peserta pemilu menancapkan APK hanya karena ingin mendapatkan tempat iklan gratis sehingga bisa menghemat biaya kampanye.
Wahyu melanjutkan, para peserta pemilu dianggap tidak memiliki pengetahuan yang cukup bahwa menancapkan APK tidak boleh sembarangan.
"Tentu ini menjadi pola dan kebiasaan karena tidak pernah ditindak, ini menjadi persoalan yang pelik karena setiap tahun masih berlangsung praktik tersebut. Penyelanggara pemilu belum mampu untuk berbuat lebih baik lagi. Partai-partai semakin beringas dengan menancapkan dimana-mana," pungkasnya.