Isu Intoleransi pun Dibahas, Ini Pokok KKI II
Intoleransi jangan dipahami dalam arti sempat. Atau hanya pada persoalan kehidupan beragama. Melainkan, harus dimaknai dalam arti luas, karena kaitannya dengan budaya.
"Menghormati budaya suatu daerah, meskipun tidak cocok dengan pikiran kita, adalah bagian dari tolersnasi yang dilindungi oleh undang-undang."
Pandangan itu disampaikan Dirjen Kebudayan Hilmar Farid pada Pra-Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) II, di Plaza Insan Berprestasi Gedung Kemdikbud, Jl Sudirman, Jakarta, Selasa 27 November 2018.
"Keliru kalau intoleransi hanya dikmanai pada tataran kehidupan beragama, seperti soal pendirian tempat ibadah yang sudah ada aturannya," kata Hilmar.
Sebab itu pada Kongres Kebudayaan Indonesia II di Jakarta pada 6 - 7 Desember 2018, beberapa isu penting yang akan diangkat, termasuk pemahaman intoleransi.
Isu penting itu antara lain pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian yang menghancurkan sendi-sendi budaya masyarakat.
Munculnya persoalan ini disebabkan terlalu lama wawasan kebangsaan menghilang. Tidak meratanya akses masyarakat pada keanekaragaman budaya. Selain itu belum terwujudnya mekanisme pengelolaan kebudayaan yang memperkuat peran kaum minoritas dan penyandang difabilitas. Serta kurang optimalnya antartata nilai yang berbeda, seperti antara penganut agama, penghayat kepercayaan dan pelaku budaya tradisi.
Isu lainnya, adalah meredupnya tradisi dalam gelombang modernitas, kata Hilmar.
"Isu ini terjadi karena kurangnya keberagaman ekspresi budaya dan hak berkebudayaan masyarakat. Utamanya ritus, adat istiadat kesenian dan kesusastraan. Serta belum optimalnya pemanfaatan budaya modern dalam pemajuan budaya tradisi," kata Hilmar Farid.
Pra-Kongres Kebudayaan Indonesia II, diikuti Dinas Kebudayaan provinsi, kabupaten dan kota seluruh Indonesia, berlangsung selama dua hari, dengan melibatkan para pakar kebudayaan.
Hasil rumusan pra kongres ini akan menjadi bahasan pada Kongres Kebudayaan ke II yang akan dibuka oleh Presiden RI Joko Widodo. (asm)