Isu BBM Naik, Menkeu Paparkan 3 Pilihan Pahit
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi nasibnya seperti buah simalakama. Dimakan bapak mati, tidak dimakan ibunya yang mati.
Kalau BBM bersubsidi Pertalite dinaikkan rakyat yang menjerit, tidak dinaikkan, pemerintah yang pontang-panting sebab subsidi BBM sudah menembus Rp502 triliun.
Kenaikan harga BBM subsidi tersebut rencananya bakal diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pekan ini. Seperti diketahui saat ini, harga BBM Pertalite Rp 7.650 per liter, sementara Pertamax Rp 12.500 per liter.
Jika tidak disubsidi, sejatinya harga Pertalite yang saat ini hanya Rp 7.650 per liter, harga sesungguhnya adalah Rp 13.150 per liter. Sementara Pertamax atau RON 92 yang saat ini dijual Rp 12.500 per liter harga sesungguhnya adalah Rp 15.150 per liter.
PT Pertamina (Persero) sejatinya pada 3 Agustus 2022 ini baru saja menaikkan harga tiga jenis BBM non subsidinya. Ketiga BBM tersebut di antaranya adalah Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex.
Kata Sri Mulyani, para menteri dan lembaga terkait masih membahas kebijakan apa yang tepat untuk diambil mengenai harga Pertalite dan solar itu.
"Jadi, Pak Luhut, Pak Airlangga, saya, Pak Menteri ESDM, Pak Erick, Pertamina, PLN, semuanya sedang diminta untuk terus membuat exercise," ujarnya kepada wartawan, Rabu 24 Agustus 2022.
Menurut Sri Mulyani, setidaknya ada tiga kombinasi pilihan yang sedang dibahas para menteri terkait, mulai dari kenaikan harga, pembatasan kuota dan menaikkan anggaran subsidi. "Pilihan tersebut, tidak ada yang menggembirakan. Namun, pemerintah harus tetap mengambil salah satunya," ujarnya.
Ia mengungkapkan ada tiga pilihan yang tengah dipertimbangkan pemerintah dalam menentukan nasib harga bahan bakar minyak (BBM) Pertalite dan solar.
Pertama, pilihan menaikkan anggaran subsidi sekitar Rp198 triliun, sehingga yang saat ini sebesar Rp502 triliun akan menjadi Rp700 triliunan. Untuk hal ini kondisi APBN dipertimbangkan dengan sangat matang.
Kedua, mengendalikan volume melalui pembatasan pembelian. Dengan demikian, hal yang bisa menikmati BBM subsidinya nantinya hanya masyarakat yang berhak.
Ketiga, menaikkan harga BBM. Ini menjadi opsi terakhir yang sedang dihitung pemerintah akibat kenaikan harga minyak dunia.
Bendahara negara ini menjelaskan kombinasi pilihan ini merupakan dampak kenaikan harga minyak dunia cukup tinggi di atas US$100 dolar dan kurs yang lebih tinggi dari proyeksi Juli 2022, saat anggaran subsidi ditambah menjadi Rp502,4 triliun.
"Tiga-tiganya sama sekali enggak enak. APBN jelas sekali akan sangat berat karena subsidi BBM itu sudah naik tiga kali lipat, dari Rp158 triliun ke Rp502 triliun. Itu sudah naik tiga kali lipat, ternyata masih kurang lagi," katanya.
Dalam melakukan perhitungan, ia menekankan pemerintah mempertimbangkan tiga hal. Pertama, kondisi daya beli masyarakat, terutama mereka yang berada di kelompok 40 persen terbawah.
Kedua, kondisi APBN. Pasalnya, jika keputusan yang diambil menambah anggaran, maka beban APBN makin berat. "Pasti nanti kalau kita tidak bisa membayar (di 2022), meluncur ke 2023. Kan seperti yang saya jelaskan, 2022 ini saja kita masih membayar kompensasi 2021 Rp104 triliun. Ini kalau enggak selesai nanti meluncur lagi ke 2023," jelasnya.
Oleh karenanya, saat ini para menteri masih terus mempertimbangkan pilihan mana yang harus diambil.