Istri Nonton YouTube Dibakar Suami Hidup-hidup
Oleh: Djono W. Oesman
Istri (EL) suka nonton YouTube di HP, suami (LN) menyiram tiner ke EL. Lalu dibakar. Tiga anak mereka histeris. LN kabur. Korban terbakar 40 persen dirawat di RSUD Depok, Jabar. Mengapa, kejahatan gampang meletus?
-----------
Kejadian di rumah mereka, sekaligus bengkel motor, di Kelurahan Duren Seribu, Depok, Jabar, Minggu, 28 Agustus 2022 pukul 21.00. Esoknya, dilaporkan orang tua (ortu) EL ke Polres Depok.
Kasat Reskrim Polres Depok, AKBP Yogen Heroes Baruno kepada pers, Kamis, 1 September 2022 mengatakan, pelaku LN kini masih diburu.
Kronologi kejadian:
AKBP Yogen: “Saat itu (pukul 18.00) pelaku mendapati korban sedang asyik menonton Youtube, dan dua anaknya yang kecil (usia 1 dan 3 tahun) tidak diperhatikan. Pelaku menegur korban, lantas mereka cekcok."
Kemudian, beberapa teman pria LN mendatangi TKP. Mereka pesta miras di halaman depan rumah. Sampai mabuk. Mereka bubar sekitar pukul 21.00, teman-teman LN pulang. LN masuk rumah.
Dalam kondisi mabuk, LN melihat rumah bengkelnya dirasa berantakan. Ia memanggil anak sulungnya, laki usia 10. LN marah ke anak, karena rumah berantakan.
LN marah sambil memegang sekaleng tiner. Membentak anaknya, mengancam akan membakar. Tutup kaleng sudah dibuka.
Di saat bersamaan, EL keluar dari kamar, membela si anak. Dasar sudah memendam marah, EL balik mengancam suami: "Kalo berani, bakar gue."
Sekaleng tiner disiramkan LN ke EL. Dari kepala, meluber ke badan. Langsung disulut korek gas. Bsssss....
Pemandangan mengerikan. Tragis. Menyayat hati. EL kelojotan di lantai, berteriak melengking. Disaksikan anak-anak mereka.
Para tetangga berdatangan. Ragu menolong. Mereka melongo. Beruntung salah seorang dari mereka berani menyeret tubuh EL menuju kamar mandi. Kobaran api disiram sampai padam. EL dilarikan ke RSUD Depok.
LN sudah kabur setelah menyulut api. Belum tertangkap hingga kemarin.
Para tetangga yang diwawancarai wartawan, cerita begini:
Madroi (60): "Dia teriak: Ncang, tolongin, Ncang, tolong... Saya datang, keadaannya sudah melepuh. Badannya sudah terkelet. Minta tolong itu doang 'Ncang... Ncang." (Ncang dalam Bahasa Betawi artinya kakak laki)
Dilanjut: "Emang, mereka suka ribut terus. Waktu itu kirain ribut biasa. Jadi saya nggak perhatiin. Pas kebakar, dia sadar. Saya langsung keluar, bilangin adik saya: Tolongin itu bawa ke rumah sakit."
Saksi Erna (39): "Mereka beranak empat. Yang gede umur 10, si bontot umur setahun. Waktu kejadian, tiga anak di dalam rumah. Sebelum kejadian, mereka memang suka ribut tuh. Pernah, lakinya dilempar piring sama bini. Itu mungkin kesel."
Dilanjut: "Nah, pas malam itu lakinya luapin emosi ke anak. juga ke bini: Jangan main HP bae lo. Nanti gue bakar anak lo. Die ngomong gitu, si bini malah nantangin: Kalau berani, bakar gue." Terjadilah...
Kejadian biasa. Sangat sering terjadi di keluarga Indoneisa. Khususnya warga kelas sosial bawah. Juga kelas menengah-bawah. Kelas sosial menyangkut ekonomi dan tingkat pendidikan.
Kriminolog merunut perilaku destruktif orang dewasa, terkait pengasuhan dan aneka peristiwa di masa kanak-kanak. Di kasus Depok, tiga anak menyaksikan kekejaman ortu.
Profesor David Philip Farrington dalam bukunya, "Predicting Adult Official and Self-reported Violence" (Cambridge University Press; 2001) menyebutkan:
"Kejahatan orang dewasa, terkait erat masa kecil mereka. Masa kanak-kanak adalah masa penting setiap manusia. Penelitian menunjukkan, bahwa agresi di masa kanak-kanak adalah prediktor kuat kejahatan dan kekerasan orang dewasa."
Prof Farrington adalah kriminolog Inggris. Ia profesor emeritus bidang studi psikolog forensik di University of Cambridge, Inggris. Ia kini menghabiskan masa tua di London.
Di kalimat pada bukunya itu, dijelaskan begini: Agresi di masa kanak-kanak, bisa berarti: Perilaku agresi anak terhadap temannya. Atau anak melihat perilaku agresi orang lain terhadap orang lain.
Kalimat selanjutnya: 'adalah prediktor kuat kejahatan dan kekerasan orang dewasa'. Dijabarkan: Anak yang melakukan, atau melihat agresi, bisa menjadi agresor berbentuk perbuatan jahat atau kekerasan terhadap orang lain.
Perilaku jahat atau tindak kekerasan orang dewasa, terkait masa lalu mereka, dikaitkan juga dengan Socio Economic Status (SES) orang bersangkutan. Semakin rendah tingkat SES orang di masa kecil, semakin sering mereka melihat atau mengalami kekerasan. Begitu juga sebaliknya.
Prof Farrington tidak merinci, mengapa orang miskin ekonomi dan rendah tingkat pendidikan (SES rendah) lebih sering bertengkar, dibanding SES tinggi.
Barangkali, pembaca teori Farrington disuruh menafsirkan sendiri. Bahwa keluarga yang selalu kesulitan uang untuk menafkahi keluarga, otomatis sering pusing. Kalau sudah pusing, segalanya jadi serba gelap.
Sehingga persoalan menonton YouTube, yang bagi orang dengan SES tinggi adalah hiburan, bagi SES rendah bisa jadi malapetaka. Bahkan tragedi.
SES rendah berpondasi pada miskin ekonomi. Keluarga dengan miskin ekonomi, otomatis sulit membayar sekolah anak-anak mereka. Jadilah kelengkapan SES rendah: Miskin harta, miskin ilmu.
Pantas saja, kejadian-kejadian sepele dalam rumah tangga di Indonesia, bisa meletus seperti kasus di Depok itu. Terjadi di mana-mana. Bermula dari sepele-sepele.
Sebab, mayoritas masyarakat kita masih miskin. Dalam arti ekonomi. Bahkan, banyak yang masih sulit beli makan. Yang layak.
Teori Prof Farrington tidak menyoroti masyarakat dengan SES tinggi. Terkait kriminologi. Misal, kasus Duren Tiga adalah keluarga dengan SES tinggi.
Tapi, teori Farrington menyebutkan, tidak semua orang yang pada masa kanak-kanak dibesarkan dari keluarga SES rendah, setelah dewasa mereka jadi penjahat atau berperilaku kejam. Tidak semua. Karena, bukan hanya SES penentu orang jadi penjahat. Ada beberapa variabel lain.
Salah satu variabel signifikan adalah Coping (kendali diri). Anak-anak yang hidup di keluarga dengan SES rendah, tapi ia punya tingkat Coping tinggi, maka kecil kemungkinan ia jadi penjahat.
Disebutkan di buku, Coping adalah mekanisme psikologis yang digunakan untuk mengatasi, atau meminimalkan, dampak ancaman atau tantangan yang dirasakan setiap orang, atau anak.
Coping bersifat genetik. Sejak lahir. Otomatis. Tapi bisa juga diajarkan.
Anak-anak dengan tingkat Coping rendah, lebih tertarik pada perilaku berisiko. Anak model begini, harus dibimbing mengendalikan diri, menahan emosi. Secara genetik, ia punya tingkat Coping rendah. Tapi kemudian diajari mengendalikan diri. Terutama oleh ortu.
Maka, manusia dengan tingkat Coping rendah, harus segera menyadari kelemahan ini. Untuk diperbaiki. Tapi repotnya, mayoritas anak-anak belum paham ini. Bahkan orang dewasa yang mendidiknya, pun belum tentu sadar potensi bahaya anak tersebut di masa depan.
Di kasus Duren Tiga, teori Coping ini, masuk. Punya hubungan kausalitas dengan pelakunya.
Fokusnya di kasus Depok, adalah problem utama masyarakat kita sekarang. Wajib dipikirkan semua orang, terutama penyelenggara negara.
Repotnya, penyelenggara semua negara selalu gonta-ganti. Satu kepala membawa banyak gerbong. Membentuk geng politik. Geng inilah yang berkuasa.
Pasal 34 Ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan, kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Itu belum sepenuhnya dilaksanakan. Bukti, banyak pengemis - pengamen di jalanan. Bisa jadi, karena terlalu banyak fakir miskin dan anak terlantar. Yang dalam teori Prof Farrington, disebut SES rendah. Di sini SES sangat rendah.
Mungkin, kelompok pemimpin Indonesia berikutnya memberikan janji-janji, meningkatkan SES. Lalu kita tunggu lagi, janji-janji itu. (*)
Penulis adalah Wartawan Senior