Istri Munir: Salah Besar Jika Aksi Kamisan Disebut Aksi 5 Tahunan
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga istri almarhum Munir Said Thalib, Suciwati, menjawab tudingan sejumlah pihak yang menyebutkan bahwa Aksi Kamisan merupakan aksi 5 tahunan jelang Pemilu.
Suciwati menegaskan bahwa tudingan yang dimunculkan oleh sejumlah pihak tersebut adalah salah besar, sebab Aksi Kamisan adalah aksi yang digelar oleh para keluarga korban pelanggaran HAM setiap hari Kamis sejak 18 Januari 2007.
Ia juga menjelaskan bahwa Aksi Kamisan tidak hanya menuntut soal penyelesaian kasus penculikan aktivis pro reformasi pada masa 1997-1998, namun juga beberapa kasus pelanggaran HAM lainnya.
Suciwati pun memaparkan, beberapa kasus pelanggaran HAM tersebut di antaranya seperti Tragedi Semanggi, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Peristiwa Tanjung Priok, hingga Peristiwa Talangsari 1989.
"Kita ini selalu ada setiap Kamis, bukan hanya soal isu penculikan yang kami suarakan, tapi juga kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya," tegas Suciwati dalam keterangannya saat ditemui usai acara Diskusi Publik Kemunduran Demokrasi dan Matinya Hak Asasi Manusia di Ballroom Munir, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Kota Malang, Senin, 5 Februari 2024.
Namun, soal alasan kenapa getol menyuarakan kasus-kasus pelanggaran HAM menjelang Pemilu 2024, Suciwati mengungkapkan bahwa alasannya karena salah satu calon presiden (capres) yang maju adalah Prabowo Subianto.
Tidak hanya pada Pemilu 2024, sejak digelar pertama kali pada 2007, dia menyampaikan bahwa Aksi Kamisan sudah menuntut kepada setiap kepala negara agar menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus penculikan tersebut.
"Cuma, sekarang ini kan yang maju (sebagai capres dalam Pemilu 2024 adalah) penculik, artinya kita harus lebih intens ngomongin soal itu," kata perempuan penerima Asia’s Heroes dari Time Magazine ini.
Sebagaimana diketahui, dijelaskan Suciwati, Prabowo Subianto yang saat itu merupakan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus adalah orang yang menculik para aktivis pro reformasi pada masa 1997-1998.
Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Prabowo Subianto sendiri secara terang-terangan juga mengakui bahwa dirinya merupakan orang yang telah menculik para aktivis pro reformasi tersebut.
Berdasarkan pengamatannya, Suciwati pun menduga, tudingan-tudingan soal Aksi Kamisan ini merupakan aksi 5 tahunan jelang Pemilu memang sengaja dimunculkan oleh orang-orang yang ada di belakang Prabowo Subianto.
Oleh karena itu, Suciwati mengaku prihatin dengan orang-orang yang memunculkan isu bahwa Aksi Kamisan adalah aksi 5 tahunan. Padahal, kata dia, mereka sendirilah yang sebenarnya musiman.
"Jadi, kalau ada orang yang menyatakan bahwa (Aksi Kamisan) ini 5 tahunan, itu salah besar dan tidak pernah baca berita, karena aksi ini sudah dimulai sejak tahun 2007 dan sudah banyak media yang menulis," tegasnya.
Dengan melihat kondisi tersebut, Suciwati pun mendorong kepada kalangan anak muda agar dapat menghargai sejarah. Jika tidak tahu, dia meminta para anak muda ini agar tanya langsung kepada pihak-pihak terkait yang kredibel, misalnya seperti Komnas HAM.
"Membangun empati itu penting, karena ini korban (pelanggaran HAM). Jadi, kalau tidak tahu, datangi lembaga-lembaga yang kredibel, misalnya Komnas HAM, tanya. Ada nggak kasus-kasus (pelanggaran HAM) ini?" ujarnya.
Kemudian, soal pertanyaan yang menyebutkan kenapa tidak dibawa ke ranah hukum jika memang Prabowo Subianto bersalah, Suciwati menyebutkan bahwa pertanyaan tersebut seharusnya ditujukan kepada Presiden Jokowi, salah jika publik menanyakannya kepada para korban atau aktivis HAM.
"Pertanyaan itu seharusnya ditujukan ke Jokowi, kenapa tidak selesaikan? Padahal, lewat PP HAM yang dibentuk dan diketuai oleh Mahfud MD sudah mengakui adanya pelanggaran HAM berat, tapi kenapa kok hanya non-yudisial yang didorong, tapi yang yudisial tidak dilakukan?" ungkapnya.
Suciwati pun menyinggung soal Nawacita Presiden Jokowi yang salah satunya menyebutkan akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Namun, nyatanya sampai sekarang para pelaku pelanggaran HAM berat tidak pernah dibawa ke pengadilan.
"Jadi, jangan mau dibodohi oleh penguasa yang saat ini berbulan madu dengan penjahatnya. Sebab, pemerintah lewat nawacita itu sebenarnya sudah mengakui pelanggaran HAM berat, namun sampai saat ini belum menepati janjinya untuk membawa ke pengadilan," ucapnya.