Istri Malu Melawan Suami Sendiri dalam Pilkades di Lamongan
Sejauh mata memandang, tampak banner-banner terpampang di setiap ujung gang di Desa Bulubrangsi, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan. Banner ini berisi ajakan untuk mendaftar menjadi calon kepala desa. “AYO DAFTARKAN SEGERA” begitu bunyi ajakan dalam banner tersebut, disertai dengan penjelasan persyaratan untuk maju dalam pemilihan kepala desa.
Banner ini seolah mengingatkan warga, jika desa ini membutuhkan calon kepada desa. Ya, September nanti, desa ini akan menyelenggarakan pemilihan kepala desa. Sebenarnya tak hanya desa ini. Namun, ada 385 desa lain di Lamongan yang juga akan mengadakan hajatan yang sama. Maklum, pemilihan kepada desa di kabupaten yang dikenal dengan kuliner sotonya ini dilaksanakan secara serentak.
Banner-banner ajakan untuk mendaftarkan menjadi calon kepala desa ini, kata warga sudah terpasang lebih dari sebulan. Namun meski sudah lama terpasang, sampai menjelang penutupan pendaftaran hanya satu yang berani mendaftar. Dia adalah Mutif .
Mutif bukan orang baru di desa ini. Dia adalah petahana untuk pemilihan kepala desa September mendatang. Mengetahui hanya dirinya mendaftar, Mutif pun berpikir bagaimana caranya agar pemilihan kepala desa jangan sampai gagal. Pemilihan desa dianggap gagal jika hanya ada satu calon yang mendaftar dan lolos menjadi calon kepala desa.
Mutif pun kemudian mendorong istrinya untuk ikut mendaftar. Tujuannya cuma satu, jangan sampai pemilihan kepala desa gagal. Hanya gara-gara tak ada warga lain yang mau maju. Dengan segenap bujuk rayu, Fiola Sofia, istri Mutif pun akhirnya mau maju. Mereka berdua akhirnya menjadi pasangan suami istri yang maju menjadi calon kepala desa.
Kasus calon kepala desa suami-istri di Desa Bulubrangsi ini, baru pertama kali. Saat maju dalam pemilihan kepala desa 2013 lalu, Mutif masih harus berjuang. Dia harus bersaing dengan dua orang calon kepala desa lainnya. Namun, beda dengan yang sekarang ini. Mutif tak punya lawan.
“Entah kenapa pemilihan kepala desa tahun ini sepi. Tidak ada yang mendaftar,” kata Mutif saat ditemui di rumahnya.
Dia menolak anggapan jika ingin mengangkangi kekuasaan sebagai kepala desa. Alasannya, sosalisasi soal pemilihan kepala desa sudah dilakukan sejak lama. Baik secara lisan maupun lewat banner-banner yang terpasang di tiap gang.
Pilihan untuk memajukan istrinya sebagai lawan pun dilakukannya saat injury time batas akhir pendaftaran. Dua hari menjelang penutupan pemilihan kepala desa, dia diberitahu sekretaris desa jika ternyata tak ada yang mendaftar.
“Saya sama sekali tidak bermaksud untuk menguasai panggung pemilu desa. Terpaksa, karena nanti kalau tidak ada kadesnya bagaimana. Pemerintahan desa tidak akan jalan,” kata Mutif.
Sebenarnya malu
Mendapat desakan dari suaminya untuk maju Fiola Sofia sempat menolak. Dia merasa malu jika harus bersaing dengan suaminya sendiri dalam pemilihan kepala desa September nanti.
“Apa kata warga nanti kalau ada suami istri sama-sama maju,” kata Fifi panggilan akrab dari Fiola Sofia.
Dengan bujuk rayu dari sang suami, Fifi akhirnya luluh juga. Dia akhirnya mau maju mencalonkan diri menjadi calon kepala Desa Bulubrangsi, melawan suaminya sendiri.Fifi akhirnya mau mendaftar.
Mulus dalam pendaftaran, bukan berarti ujian sudah berakhir. Fifi ternyata harus menjalani ujian lagi, yaitu cibiran dari warga. Dia dicibir oleh warga lewat media sosial. Lewat media sosial Fifi sering menemukan komentar warga yang meledeknya.
“Warga membicarakan saya. Kata mereka, pemilihan kepala desa seperti pesta pengantin (mantenan). Bulan depan ada mantenan, ayo datang ke pestanya,” kata Fifi menirukan cibiran warganya kewat media sosial.
***
Pemilihan kepala desa Bulubrangsi yang sepi peminat ini juga menjadi pertanyaan tokoh masyarakat. Salah satunya dari Moch. Nor. Dia saat ini dipercaya warga menjadi Ketua RW 4 Desa Bulubrangsi.
“Ini baru pertama kali di Desa Bulubrangsi calon kadesnya suami istri,” kata Noor.
Dia menduga jika sepinya peminat dalam pemilihan kepala desa mendatang, karena warganya lebih senang berwirausaha atau bekerja di luar negeri. Jabatan sebagai kepala desa dianggap warga tak terlalu menjanjikan karena hanya beberapa tahun saja.
“Mereka lebih senang berdagang keluar kota, atau kerja keluar negeri jadi TKI,” kata Nor.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh warga lainnya, Mashud. Kata dia, warga Bulubrangsi tak terlalu bernafsu untuk berebut menjadi kepala desa. Jabatan kepala desa dianggap tak terlalu menjanjikan secara finansial.
“Warga sini pikirannya gaji kepala desa tidak seberapa. Fokus bekerja lebih enak daripada rebutan kekuasaan,” kata Mashud.
Fenomena calon kepala desa dari pasangan suami istri seperti ini sebenarnya tak hanya menimpa Desa Bulubrangsi saja. "Sesuai data yang masuk, ada sebanyak 50 calon kepala desa pasangan suami istri yang maju. Dari 385 desa yang akan melaksanakan pemilihan kepala desa," terang Abdul Khowi, Kepala Bagian Pemerintahan Desa Pemerintah Lamongan.
Kata dia, banyaknya pasangan suami istri yang bertarung dalam pemilihan kepala desa karena tidak ada masyarakat yang berminat mendaftar sebagai calon kades.
Selain tidak adanya saingan yang maju, hingga jelang batas akhir waktu pendaftaran pun hanya ada calon tunggal. Itu yang membuat calon tunggal tersebut menyodorkan istri, maupun suaminya untuk mendaftar calon kades.
"Makanya, sebelum batas akhir pendaftaran ditutup, para calon kepala desa tersebut meminta istri atau sebaliknya, untuk sama-sama maju," ujarnya
Lebih lanjut, Khowi mengatakan secara regulasi, pasangan calon suami istri tersebut boleh untuk sama-sama maju.
"Secara aturan diperbolehkan, yang tidak boleh itu adalah adanya calon tunggal. Dan, maksimal satu desa hanya lima orang calon, aturannya seperti itu," tegasnya.
Advertisement