Imlek Hanya Ada di Indonesia, di China Tidak Dikenal
Vihara-vihara di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta, melakukan persiapan akhir menyambut tahun baru Imlek 2570 yang jatuh pada hari Kamis, 5 Februari 2019. Aktivitas yang beberapa hari terakhir, terlihat penyucian terhadap pantung dewa sudah dilakukan. Hari ini, patung-patung yang dianggap dewa itu dikembalukan pada posisi semula. Besok dilakukan upacara.
Upacara syukuran Tahun Baru Imlek dimulai nanti malam. Namun sebagian sudah ada yang datang lebih awal sejak pkl 12.00
Di kawasan Glodok terdapat delapan Vihara. Vihara Dharma Bakti, merupakan yang terbesar dibanding vihara lain. Karena yang paling besar, Vihara Dharma Bakti slalui ramai di setiap Tahun Baru Imlek.
Perayaan Imlek bukan Hari Raya Keagamaan seperti Idul Fitri, Natal, Hari Raya Galungan dan Waisak. Tapi sebagai upacara tradisi budaya bagi komunitas Tionghoa warisan nenek moyangnya.
Pimpinan Vihara Dharma Bhakti, Gunawan, mengatakan, orang Tionghoa yang merayakan Tahun Baru Imlek beragam. Tidak terbatas penganut agama tertentu. Hanya caranya yang berbeda. Tapi yang datang ke Vihara Dharma Bakti ini sebagian besar beragama Budha.
Karena itu di setiap ruang di Viahara Dharma Bakti ini terdapat patung Budha. Disamping patung dewa lain seprti Dewi Kwan Im yang diyakini sebagai dewa pembawa rezeki dan kemakmuran.
Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama).
Malam tahun baru Imlek juga dikenal sebagai Chúxī yang berarti "malam pergantian tahun".
Aji Bromokusumo, Kepala Kajian dan Riset Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (Aspertina), mengatakan, sebutan Imlek lahir melalui proses serapan penduduk Nusantara terhadap istilah Hokkian, Yin Li.
“Imlek berasal dari kata Yin Li, artinya lunar calendar. Jadi tahun baru China itu sama dengan tahun baru Islam karena dihitung berdasarkan peredaran bulan,” ujar Aji di Jakarta, Senin 4 Februari 2019.
Menurut Aji, sebutan Imlek hanya bisa ada di Indonesia. Bahkan, di China sendiri, istilah untuk perayaan ini disebut sebagai Chunjie yang secara bebas dapat diterjemahkan sebagai festival menyambut musim semi.
“Kalau di Indonesia disebut demikian jadi aneh, karena Indonesia tidak punya musim semi,” katanya.
Di samping itu, beberapa kalangan keturunan Tionghoa di Indonesia pun kerap menyebut Tahun Baru Imlek sebagai Sincia.
Penyebutan tersebut sama-sama diserap dari dialek Hokkian untuk menyebut xin zheng yang dibaca sin ceng.
Sementara, Ny Basoeki, pencinta keberagaman, mengatakan, perayan tahun baru Imlek di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan nama Presiden ke 4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Karena Gus Dur lah yang mengijinkan komunitas Tionghoa merayakan Tahun Baru Imlek. Sebelumnya rezim Orde Baru melarang perayan Imlek dilakukan secara terbuka.
Oleh Umat Kong Hu cu Gus Dur dianggap sangat berjasa. Bukan karena memperbolehkan komunitas Tionghoa merayakan tahun baru Imlek, tapi di era pemerintahan Gus Dur, Kong Hu cu bahkan diakui sebagai agama yang sah di Indonesia di samping Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha," kata Ny Ria di Vihara Dharma Bhakti. (asm)