Isteri Untuk Suamiku
Oleh Wina Bojonegoro
KAPAN terakhir kali kau ingin mati?
Aku menginginkannya sekarang, ketika lelaki yang tengah berdiri di hadapanku ini menatapku dengan teduh, dengan suara merintih ia berkata: izinkan aku menikah lagi. Dia, lelaki yang begitu kucintai. Suamiku.
Kau pun pasti ingin mati. Segera. Secepatnya. Dan, melupakan dunia yang memuakkan ini. Aku pun demikian. Di sebelahku teronggok seperangkat peralatan makan dan pisau dapur berbagai rupa. Rasanya aku ingin menyambarnya sebiji dan menusukkannya, pada jantungku sendiri. Lalu mati. Mati! Dengan simfoni Requiem oleh Mozart yang mengiringi kepergianku. Tapi, mati tak dapat ditempuh sesederhana itu. Bahkan, untuk sebuah kematian pun kau harus berjuang.
Lelaki itu tiba-tiba bersujud di depanku. Dibenamkannya kepalanya di antara kedua kakiku dan tangannya memeluk kedua pahaku. Ia tidak berbicara apa-apa. Hanya diam. Lalu kudengar ia terisak perlahan.
“Apa kau menghamili seorang gadis?” tanyaku dalam nada setegar mungkin, meski hati dan kepalaku kini rusuh berkabut. Lelaki itu menggeleng, pelan.
“Kau terlibat hutang dengannya?”
“Tidak!” ia menjawab pendek. Suaranya bertumpang tindih dengan isak tangis.
“Lalu apa?”
Lelaki itu mendongak. Tangannya meremas kedua pundakku. Matanya menatapku tepat di kedua mataku.
“Tidak seperti yang kausangka,” suaranya lemah mengandung siksa. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya padamu,” ujarnya. Seiring dengan itu, kesakitan yang sejak tadi mendesak di dadaku tiba-tiba luber lewat kedua mataku. Seperti air bah.
Setelah sore itu, berhari-hari aku menyendiri dan memikirkan cara untuk mati. Dalam situasi seperti ini, adakah hal lain yang lebih indah daripada kematian? Jika sesuatu yang telah kauanggap seperti seluruh jiwamu tiba-tiba terenggut paksa, dan kau sadar kau tak bisa melakukan apa pun kecuali merelakannya, apakah hidup masih punya arti?
Andai kau menjadi aku, kematian seperti apa yang hendak kaupilih saat ini? Aku ling-lung. Aku tidak bisa marah atau menangis lagi. Ia sedang tidak menghamili gadis lain, atau berhutang dan harus membayar dengan tubuhnya. Tidak seperti yang kusangka? Perempuan itu pasti menghipnotisnya, atau menggunakan ilmu hitam untuk merebut suamiku.
“Pertemukan aku dengannya,” pintaku pada suatu waktu setelah akal sehatku mulai kembali. Suamiku terdiam.
“Percayalah, aku tidak akan marah padanya. Aku hanya ingin tahu mengapa kau begitu menginginkannya,” kataku. Ia menatapku ragu-ragu.
Begitulah, cara yang kupilih untuk menentukan nasib kami. Entah aku yang harus bertahan atau dia yang akan mempecundangi aku keluar pagar. Ini bukan soal siapa memiliki siapa, tapi siapa memiliki harga diri.
*
Kapan terakhir kali kau ingin mati?
Mungkin sekaranglah saatnya. Ialah ketika kau berdiri di halaman rumah kekasih suamimu. Lahan seluas 5.000 meter persegi di atas bukit yang dikelilingi rumpun bambu, seolah menghinamu.
Bunga-bunga kemuning, mawar, dan kacapiring memenuhi halaman dan menebar aroma wangi, berjajar rapi di sepanjang jalan setapak yang kulalui. Sejenak tekanan darahku melorot, dan aku melupakan keinginan untuk mati.
“Silakan duduk, ibu sedang yoga. Sebentar lagi selesai,” ujar seorang asisten rumah tangga dengan ramah, lalu ia meninggalkanku terbenam dalam ruang perpustakaan yang dipenuhi buku setinggi langit-langit. Ada suara musik lamat-lamat, mengalun dari lantai atas.
Di dinding yang berwarna putih, ada sebuah sketsa kota di atas air. Sketsa itu sepertinya kukenali. Di mana aku pernah melihatnya? Di mana? Gambar itu terasa tidak asing. Sketsa berukuran 40 x 60 cm yang menceritakan tentang kehidupan di atas air dari sebuah kota, di mana bangunan terasa melayang di atasnya.
Setelah beberapa jenak mengingat, otakku menangkap cuilan ingatan itu. Sketsa itu, serupa dengan yang ada di ruang kerja suamiku. Ya! Aku baru menyadarinya sekarang. Mereka memiliki sketsa kembar! Mendadak rasa cemburu mendidih dalam kepalaku. Tentang apa ini? Apa yang sedang mereka bangun diam-diam di belakang punggungku?
Kapan terakhir kali kau ingin mati?
Aku menginginkannya sekarang. Ialah ketika tiba-tiba di depanku berdiri seorang perempuan setinggi 170 cm dan berbau harum. Ia membiarkan rambutnya tergerai sepanjang punggung dan wajahnya dibiarkan polos tanpa make up. Ia menyalamiku dengan melampirkan seberkas senyum dan sebuah kejut yang menggetarkan dadaku. Dia seorang perempuan yang terlampau matang untuk suamiku. Ah, apa mungkin aku salah orang?
“Saya, Resita. Anda?” ia bertanya dalam nada penuh hormat.
“Saya Ullia, istri Ben.”
“Oh!” dia terkejut. Sepasang matanya tercekat seketika. Namun, kemudian ia dapat menguasai diri. Sementara di kepalaku bermunculan lapis demi lapis pertanyaan dan sangsi. Benarkah ini kekasih suamiku? Rasa cemburu dan amarah yang sempat berkumpul di kepalaku meluber perlahan-lahan. Ia sepert aliran agma yang mengalir lewat parit-parit kecil bercabang, melintasi sawah-sawah dan hanyut ke laut.
“Ben benar, istrinya sangat cantik,” dia menggumam. Aku terkesiap, benarkah aku cantik?
“Saya kemari untuk membicarakan tentang Ben. Tentang kita.”
Sejenak ia tercenung. “Kalau begitu, mari kita bicara sambil berjalan-jalan di kebun.”
Aku merasa seperti zombie yang berjalan tanpa berpikir. Kepalaku sibuk menganalisis, tidak ada emosi.
*
Kapan terakhir kali kau ingin mati?
Aku menginginkannya sekarang. Ialah ketika kesadaranku kembali dan melihat kenyataan bahwa kekasih suamiku adalah perempuan berusia 48 tahun. Sementara suamiku masih begitu muda dan vital, belum genap di angka 35.
Jadi, apa yang salah denganku? Aku masih 33 tahun dan badanku masih liat. Wajahku pun jelita, kata orang. Dan, aku berhasil membesarkan tiga anak dengan tanganku sendiri, tanpa perlu bantuan pembantu atau baby sitter. Di mana letak kekeliruan ini?
Aku pun tidak lagi terbakar cemburu, melainkan gusar. Apa istimewanya seorang perempuan 48 tahun bagi lelaki 35 tahun? Aku tidak percaya hanya rasa aman yang dicari lelaki muda pada diri perempuan matang. Aku menduga ada sesuatu yang lebih besar daripada itu. Sesuatu yang hanya lelaki itu sendiri memahaminya.
Di kebun belakang rumahnya yang serba kayu, kami melintasi jalanan setapak. Sebuah danau buatan direnangi sepasang angsa, dan beberapa teratai berwarna putih kian menegaskan keindahannya. Berapa kali suamiku terbenam di sini dan menikmati surga kecil ini? Rumah kami bahkan tak memiliki halaman untuk sekadar memberikan anak-anak kesempatan berkemah di malam minggu.
“Ben adalah pengagum saya. Dia menyukai sketsa karya saya, dan selalu menghadiri pameran-pameran atau talkshow di mana saya punya kesempatan. Dia lalu meminta izin menulis buku tentang saya, juga mempromosikan karya saya.”
“Anda tidak pernah menikah?” lagi-lagi, pertanyaan bodoh melompat dari lidahku, yang sebenarnya kumaksud sebagai cara memecah rasa cemburu yang menguasai dadaku.
“Pernah,” ia tersenyum getir. “Suami saya pergi bersama perempuan lain sebelas tahun lalu. Dan, lucunya, saya patah hati. Tidak ingin bertemu dengan lelaki untuk urusan pribadi.”
Sekarang aku benar-benar terbakar cemburu. Ben tidak pernah memberiku kesempatan berkarier. Aku tidak diberinya celah untuk melakukan apa-apa selain urusan domestik: anak, dapur, dan kasur. Sementara perempuan ini memiliki banyak hal luar biasa bersama suamiku. Ini tidak adil. Ben tidak membiarkanku bernapas barang sebulan untuk membiarkanku bebas dari tugas rumah. Bahkan, ketika aku begitu lelah mengurus semuanya, ia selalu menuntut aku memberinya jatah biologis yang memaksa aku bekerja ekstra. Ia seorang yang memiliki energi berlebih. Dan, aku adalah istri yang wajib memenuhi kebutuhan itu.
“Apakah…mm…maksud saya…maaf…hubungan kalian telah jauh?” Wajahnya datar seketika. Ia membuang pandangannya jauh, menghindari tatapanku yang menuntut. Dadaku berguncang-guncang menanti jawabnya.
“Itu pertanyaan yang tidak bijaksana, Nyonya,” ia memanggilku ‘nyonya’.
“Maaf…” desisku sembari mengingat-ingat perubahan apa yang dialami suamiku dua tahun terakhir ini.
“Untuk apa Anda menginginkan jawaban jujur dari saya? Mengapa tidak bertanya pada Ben?”
“Kita bicara sebagai dua perempuan, Ibu Resita.” aku berhenti sejenak, mencoba mengatur gemuruh di dadaku, sebelum akhirnya melanjutkan, “tahukah Anda bahwa Ben ingin menikahi Anda?”
Sontak Resita tergeragap. Mata kami beradu demikian dahsyat. Ia tampak begitu shock.
“Dia tidak pernah mengatakan pada saya ...,” gumamnya.
“Dia baru mengatakannya beberapa hari lalu.”
“Apa dia mengatakan alasannya?”
“Ya, tadi di mobil dalam perjalanan kemari.”
“Apa katanya?”
“Dia bilang, dia jatuh cinta pada Anda.”
Perempuan itu membuang muka, lalu tertawa.
“Benar begitu? Saya malah tidak tahu. Saya tahu diri dia milik keluarga Anda. Hubungan kami sebatas profesional. Dan, saya mati-matian berjuang memagari diri untuk tidak terlibat secara emosional. Sebab, saya pikir, semua laki-laki mendekati perempuan karena itu bagian dari naluri semata, semacam perikehewanan yang diselimuti akal dan norma.”
Aku termenung mendengarnya. “Apakah Anda mencintainya?” Seluruh tubuhku rasanya bergetar hebat saat mengucapkannya.
Resita terdiam. Ekspresi wajahnya menegang sejenak. Aku menahan diri untuk tidak melompat mendengar jawabannya. Jangan pernah tanyakan bagaimana rasanya hatiku saat ini! Karena jika aku mengatakannya, aku bisa saja membunuhnya, sebelum akhirnya membunuh diriku sendiri.
“Sebelas tahun saya menghindari laki-laki. Kehadiran Ben mengubah hidup saya. Kami saling memberi spirit, saling melengkapi, saling meninggikan satu sama lain. Ia adalah inspirasi buat saya.”
Tubuhku mendadak lumpuh. Beban yang semenjak tadi menindihku, memberat otomatis. Dunia seketika menjelma kantong hitam yang gelap dan sempit, membuatku sesak napas. Resita pun diam, hingga beberapa jeda berikutnya. Kami adalah dua perempuan yang membeku di ujung siang yang hangat.
“Jadi, Anda akan menerima lamarannya?” desakku akhirnya, agak tak sabar. Ia tak segera menjawab. Senyum tipis mengembang di sepasang bibirnya.
“Dia laki-laki menarik. Visioner dan penuh vitalitas. Tapi, dia…suami Anda.”
“Dia meminta saya untuk menikahkan kalian,” pipiku terasa panas, ternyata sepasang sungai telah mengalir pelan di sana ketika kalimat itu usai kulemparkan.
“Terimakasih. Saya tidak tertarik.” Ia menatapku yang berurai air mata. Aku meninggalkannya berdiri di ambang pintu rumah bertingkat yang dirimbuni pepohonan itu. Ia berdiri diam di sana menungguku keluar dari pagar. Namun, aku tak mampu segera melangkah. Kepalaku kusut, penuh benang tajam. Perempuan itu… mengingatkanku pada seseorang. Sungguh, ia begitu mirip seseorang, raut wajah, senyum, dan gesture.
Aku berdiri tepekur di pintu pagar yang telah kututup kembali. Ia pun masih berdiri di sana, di ambang pintu. Gaun katunnya tampak melambai-lambai diterpa angin. Mungkin inilah saatnya aku harus mengakui bahwa perempuan ini memiliki sesuatu yang tidak kumiliki. Sesuatu yang membuat Ben merasa begitu hidup ketika bersamanya. Dia, perempuan itu, sangat mirip dengan almarhum Ibu mertuaku. (*)