Israel Mengubah Gaza Jadi seperti Neraka
oleh: Retno L Marsudi
(Menteri Luar Negeri RI)
Sebagai negara yang memperjuangkan bahwa setiap bangsa mempunyai hak atas kemerdekaannya, Indonesia bereaksi atas veto Amerika Serikat terhadap tuntutan gencatan senjata di Gaza. Selain diveto AS, negara Barat lainnya Inggris, memilih abstain pada voting terkait gencatan senjata.
Saya sangat menyesal atas kegagalan Dewan Keamanan dalam mengadopsi gencatan senjata kemanusiaan di Gaza meskipun lebih dari 102 negara, termasuk Indonesia, ikut mensponsori resolusi tersebut.
Kami menyerukan agar tidak ada lagi ketergantungan pada keputusan negara lain terhadap nasib warga sipil Palestina. Korban jiwa terbanyak serangan Israel ke Gaza adalah perempuan dan anak.
Komunitas global tidak bisa terus bergantung pada beberapa negara dan menyaksikan tanpa daya kekejaman dan pembunuhan terhadap perempuan dan anak-anak di Gaza.
Perang di Gaza antara Israel melawan Hamas menewaskan belasan ribu orang. Kini, Israel memperkuat serangan di Gaza usai kegagalan perpanjangan gencatan senjata pada pekan lalu.
Voting terkait desakan gencatan senjata di Gaza diinisiasi Uni Emirat Arab. Desakan itu disampaikan setelah Sekjen PBB Antonio Guterres memperingatkan 15 negara DK PBB atas ancaman global terkait perang di Gaza.
Dalam pernyataannya, AS menegaskan veto dilakukan karena gencatan senjata hanya menguntungkan Hamas. AS merupakan sekutu dekat Israel.
AS menegaskan, mereka hanya mendukung jeda pertempuran demi melindungi warga sipil dan pembebasan warga Israel yang ditawan Hamas.
Deputi Dubes AS untuk PBB Robert Wood mengatakan rancangan resolusi gencatan senjata dibuat terburu-buru dan tidak seimbang. Ini tidak sesuai dengan kenyataan, yang tidak akan membawa kemajuan konkret," ucap Wood.
Utusan Palestina untuk PBB menyatakan, hasil voting DK PBB adalah bencana bagi negaranya. Jutaan nyawa warga Palestina berada dalam bahaya. Setiap nyawa mereka suci dan layak diselamatkan.
Evakuasi di Gaza
Alhamdulillah, pada hari Sabtu 9 Desember 2023 sekitar pukul 19.00 waktu Indonesia bagian Barat, kita kembali berhasil mengevakuasi satu WNI atas nama Farid Zanzabil Al Ayubi keluar dari Gaza.
Mas Farid adalah relawan Mer-C yang sebelumnya menjalankan tugas kemanusiaan di Rumah Sakit Indonesia di Gaza Utara.
Sejak Rumah Sakit Indonesia tidak beroperasi, Mas Farid beserta relawan Mer-C lainnya berada di Gaza Selatan.
Situasi di Gaza masih sangat berbahaya. Israel masih terus melakukan serangan pasca selesainya jeda kemanusiaan.
Saat ini serangan Israel bahkan telah menyasar sebagian Gaza Selatan, terutama di wilayah Khan Younis. Gaza Selatan sebelumnya merupakan daerah yang relatif aman dibanding Gaza Utara.
Mas Farid adalah satu dari 3 relawan Mer-C yang sejak awal memutuskan untuk tetap tinggal di Gaza. Namun dalam perkembangannya, Mas Farid kemudian memutuskan dan meminta bantuan untuk evakuasi.
Saat ini Mas Farid telah berada dengan selamat di perbatasan Rafah wilayah Mesir bersama Tim Evakuasi KBRI Kairo.
Proses mengevakuasi mas farid memerlukan waktu yang panjang dan proses yang sangat kompleks, terutama upaya untuk memasukkan nama beliau dalam daftar yang diperkenankan untuk melintas.
Proses memasukkan ke daftar sekali lagi merupakan proses yang sangat tidak mudah.
Jeda Kemanusiaan
Sebagaimana diketahui, selama berlangsungnya jeda kemanusiaan, perbatasan Rafah juga tidak selalu terbuka untuk arus keluar karena prioritas diberikan bagi arus masuk bantuan kemanusiaan.
Sekali lagi kita panjatkan syukur ke hadirat Allah SWT, setelah proses yang panjang dan rumit tersebut kita dapat membawa Mas Farid ke lokasi yang aman di Mesir.
Selanjutnya, Tim Evakuasi KBRI Kairo akan membawa Mas Farid ke Kairo dan akan memfasilitasi repatriasi segera ke Indonesia. Dengan berhasil dievakuasinya Mas Farid, maka masih terdapat 2 warga negara Indonesia relawan Mer-C yang dengan kemauannya sendiri tetap memilih untuk tinggal di Gaza.
Saat ini mereka dalam keadaan sehat, selamat, berada di Gaza Selatan di sebuah sekolah dekat Rumah Sakit Eropa. Kami akan terus menjalin komunikasi dan memantau keadaan mereka.
Dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu evakuasi WNI yang sejauh ini sudah berlangsung dalam tiga tahap.
Dari Jenewa, Swiss
Saya tiba di Jenewa, Swiss, minggu pagi, 10 Desember. Siangnya saya menghadiri pertemuan Khusus Executive Board WHO yang membahas situasi di Gaza.
Executive Board adalah organ eksekutif WHO di bawah World Health Assembly yang beranggotakan 34 negara. Indonesia terakhir menjadi anggota Executive Board WHO pada 2018 – 2021.
Pertemuan kali ini tidak hanya dihadiri oleh anggota Executive Board, namun juga negara non anggota yang memiliki kepedulian terhadap isu, yaitu situasi di Gaza.
Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk hadir agar dapat langsung berkontribusi, mendesak pentingnya perbaikan fasilitas kesehatan, perlindungan terhadap fasilitas dan tenaga kesehatan. Termasuk tentunya disini fasilitas kesehatan Rumah Sakit Indonesia.
Situasi fasilitas kesehatan di Gaza sangat memprihatinkan. Dari 36 rumah sakit hanya 13 yang masih beroperasi dan semuanya kelebihan kapasitas hingga 2-3 kali lipat; 71 persen fasilitas pelayanan kesehatan di Gaza tidak berfungsi. Perlengkapan medis, obat-obatan, makanan, air bersih, bensin hingga listrik semakin terbatas. Ratusan pekerja medis telah terbunuh semenjak Israel menyerang Gaza.
WHO melaporkan penyebaran penyakit menular semakin tinggi; hampir 130 ribu kasus infeksi pernafasan akut; lebih dari 94 ribu kasus diare; hingga lebih dari 2700 kasus chickenpox.
Dalam pertemuan Khusus Executive Board WHO tersebut, antara lain saya sampaikan, bahwa Gaza saat ini di bawah kepungan. Israel telah mengubah Gaza menjadi seperti neraka. Jumlah orang yang meninggal terus meningkat. Rumah Sakit mengalami gempuran hebat, termasuk RS Indonesia yang dipaksa berhenti beroperasi pada 16 November 2023.
Perintah Israel Defence Force (IDF) agar suplai medis dipindahkan dari Khan Younis ke Gudang yang lebih kecil di Rafah merupakan pelanggaran berat hukum internasional dan hak asasi manusia.
Saya juga menjelaskan bahwa Indonesia telah menjadi co-sponsor resolusi mengenai Kondisi Kesehatan di Daerah Pendudukan Palestina, termasuk Jerusalem Timur atau Resolution on Health Condition in the Occupied Palestine Territory, including East Jerusalem.
Dalam pertemuan, saya juga sampaikan TIGA HAL penting yang harus dilakukan.
Pertama, pentingnya mempercepat bantuan kesehatan untuk Gaza.
Indonesia mendesak Israel untuk menghormati hak atas kesehatan dan akses masyarakat Gaza terhadap fasilitas kesehatan. Indonesia telah mengirimkan 4 sortie bantuan kemanusiaan. Indonesia juga akan mengirimkan kapal rumah sakit ke Gaza guna membantu masyarakat yang terluka dan sakit.
Kedua, pentingnya perlindungan terhadap seluruh pekerja dan fasilitas medis. Hukum Humaniter Internasional harus dihormati dan ditegakkan. Indonesia mendesak adanya akuntabilitas dan keadilan atas seluruh serangan terhadap pekerja dan fasilitas medis di Gaza.
Ketiga, pentingnya peningkatan mobilisasi dukungan untuk WHO. Dukungan ini sangat diperlukan bagi beroperasinya program-program WHO dan UNRWA di Gaza. Indonesia juga mendukung WHO untuk melakukan donors conference guna dapat membiayai dan membangun kembali sistem kesehatan Palestina.
Sebagai penutup, dalam pertemuan saya sampaikan bahwa Indonesia sangat kecewa Dewan Keamanan PBB kembali gagal mensahkan resolusi mengenai humanitarian ceasefire yang akan dapat mengurangi penderitaan masyarakat Gaza.
Upaya harus terus dilakukan guna memperbaiki situasi Gaza. Kita tidak boleh menyerah. Never give up.
Demikian yang dapat saya sampaikan dari kehadiran Indonesia di Pertemuan Khusus Executive Board WHO yang khusus membahas situasi Gaza.
Kehadiran Indonesia di Pertemuan Khusus ini merupakan salah satu dukungan konsisten Indonesia terhadap Palestina.
*) Dioleh dari pernyataan pers dan transkrip press briefing Menlu RI dari laman kemlu.or.id.