Isra' Mi'raj, Makna dalam Kajian Kitab Ulama Nusantara
Peristiwa Isra' dan Mi'raj bagi umat Islam menjadi fenomena sejarah yang sungguh luar biasa, terjadi satu tahun sebelum hijrah (10 tahun dari masa diutusnya Sayyid Muhammad sebagai Nabi) pada malam Isnain tanggal 27 Rajab.
"Saat Nabi sendirian tidur di rumah Siti Ummi Hani (saudara kandung Sayyidina Ali) datanglah Jibril untuk memintanya berjumpa Allah. Ada yang menyebutkan Nabi berada di sekitar Masjidil Haram sekitar Hijr Ismail dengan ditemani dua sahabatnya Hamzah dan Ja'far bin Abi Thalib)," kata M Rikza Chamami, Dosen UIN Walisongo Semarang.
Berikut ulasan lengkap M Rikza Chamami:
Peristiwa ini begitu cepat dimana dalam waktu semalam menyelesaikan perjalanan jalur darat dan jalur udara. Zona destinasi isra' dan mi'raj adalah titik-titik sejarah Nabi sebelum Muhammad. Ini menunjukkan bahwa peristiwa itu adalah bagian dari mu'jizat.
Menguji keimanan orang Islam dapat dilakukan dengan bertanya percaya atau tidak terhadap Isra’ Mi’raj. Saya sangat setuju ini peristiwa luar biasa yang hanya bisa didekati dengan keimanan dan bisa dilakukan dengan saintifikasi Isra’ Mi’raj. Dan jasad Nabi yang bergerak dalam peristiwa ini bersamaan dengan ruhnya yang telah menyatu.
"Sebab bumi merasa paling mulia karena dihuni oleh Nabi Muhammad. Langitpun akhirnya minta pada Allah agar Nabi Muhammad diperkenankan singgah kesana. Dan itulah yang dikabulkan Allah dalam peristiwa mi'raj."
Merenung Sejenak
Tidak terasa bahwa bulan Rajab 1437 H sudah memasuki tanggal 27. Tanggal yang indah dan bersejarah bagi umat Islam karena Rasulullah Muhammad mendapat bonus rihlah ilahiyyah yang diabadikan dengan nama Isra’ Mi’raj.
Syekh Bisri Musthofa Rembang dalam kitab Tiryaqil Aghyar fi Tarjamati Burdatul Mukhtar menjelaskan bahwa waktu yang ditempuh dalam isra' itu sangat singkat dan mi'raj itu seperti qaba qausaini.
Syi'ir yang diterjemah dalam bahasa Jawa dengan tulisan pegon oleh Mbah Bisri ini adalah:
سريت من حرم ليلا الى حرم ٭ كما سرى البدر في داج من الظلم
وبتّ ترقى الى ان نلت منزلة ٭ من قاب قوسين لم تدرك ولم ترم
Dalam catatan terjemahan ini, Mbah Bisri menyampaikan indahnya kata qaba qausaini yang secara lahiriyah bermakna "ujungnya dua pucuk". Padahal ibrah ini adalah terbalik, yang harusnya qaba qausi, jadi artinya dua pucuk.
Ada empat kitab yang secara spesifik menjelaskan Isra’ Mi’raj: 1) Qishshah Mi'rajin Nabi karya Syekh Najmudin Al Ghoidzi: 2) Tashilul Ghiba min Qissatil Isra' wa Mi'rajin Nabi karya Syekh Sahli bin Salim Assamarani: 3) I'anatul Muhtaj fi Qishshatil Isra' wal Mi'raj karya Syekh Ahmad Abdul Hamid Al Qandali: 4) Nurus Siraj fi Bayanil Isra' wal Mi'raj karya Syekh Ahmad Fauzan bin Zain Muhammad bin Muhamma Zain Arrambani.
Dalam kitab itu dijelaskan secara rinci bagaimana proses isra' dan mi'raj itu terjadi. Sehingga etnografi Isra’ Mi’raj terasakan dengan baik dan umat Islam di masa kini masih menikmati kemukjizatan Nabi Muhammad.
Syekh Ahmad Abdul Hamid Kendal mengurai terlebih dahulu keutamaan bulan Rajab sebagai bulan mulia diantara dua belas bulan lainnya. Sebab di bulan Rajab itu banyak peristiwa sejarah, termasuk selamatnya kapal Nabi Nuh.
Lokasi dimana Nabi singgah saat isra' secara detail disebutkan oleh Mbah Ahmad Abdul Hamid. Termasuk saat mi'raj juga secara rinci dijelaskan. Dimana alasan mi'raj oleh Mbah Ahmad disebut adanya kecemburuan antara langit dan bumi yang saling "poyok-pinoyok" (Jawa: mengejek satu dan lainnnya).
Sebab bumi merasa paling mulia karena dihuni oleh Nabi Muhammad. Langitpun akhirnya minta pada Allah agar Nabi Muhammad diperkenankan singgah kesana. Dan itulah yang dikabulkan Allah dalam peristiwa mi'raj.
Syekh Sahli Semarang juga menjelaskan kisah yang sama. Bahwa peristiwa isra' dan mi'raj berjalan sangat cepat dengan segudang kisah yang diceritakan. Kepergian Nabi tengah malam dan selesai menjelang subuh sudah berada kembali ke Kota Makkah.
Bahkan proses kehadiran Nabi di rumah Ummi Hani hingga Nabi langsung menuju Masjidil Haram untuk mengisahkan apa yang dialaminya juga disinggung dalam kitab Tashilul Ghiba.
Syekh Ahmad Fauzan Rembang menyinggung bahwa peringatan Isra’ Mi’raj itu diperingati dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kebiasan masyarakat. Termasuk cara mengkaji Isra’ Mi’raj disebutkan ada tiga model: modern, sederhana dan kolot.
Ini menunjukkan bahwa kisah Isra’ Mi’raj itu akan tetap menarik dikaji dari sisi apapun. Sebab itu adalah peristiwa langka yang diabadikan dalam surat Al Isra ayat 1 dan surat Annajm ayat 1-17.
Maka wajar bagi mereka yang tidak mengikuti jejak Nabi tidak akan percaya dengan kisah ini. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Najmuddin Al Ghoizi bahwa orang yang tidak beriman, tidak akan percaya sebagaimana Abu Jahal dan orang kafir Quraisy yang menyebut Nabi sebagai tukang sihir (faramauhu bis sihr).
Jika zaman dahulu sudah ada kelompok yang kufur terhadap Isra’ Mi’raj, maka peristiwa yang sudah hampir 14 abad berlalu itu masih ada yang tidak percaya itu wajar. Dan pasti, mereka yang tidak percaya adalah bukan orang yang beriman. Sedangkan bagi Muslim yang beriman, wajib percaya adanya Isra’ Mi’raj.
Dari kisah Isra’ Mi’raj ini ada dua pesan yang sangat filosofis. Pertama, bahwa isra' dan mi'raj ini menjawab kecemburuan bumi dan langit. Maka semua umat akan menyaksikan betapa kompaknya bumi-langit yang ramah kepada manusia yang beriman.
Kedua, peristiwa Isra’ Mi’raj adalah napak tilas Nabi kepada Senior Nabi dengan ziarah plus visualisasi umat dahulu dan masa mendatang. Oleh sebab itu, zaman sekarang yang terpenting bagi generasi muda adalah sowan kepada ulama dan tokoh agama dan berziarah ke makam auliya'. Sebab kisah isra' dan mi'rah mencontohkan itu.
Dan yang paling mulia adalah, para Senior Nabi sangat sayang kepada Muhammad dan umatnya dalam memberikan ilmu negosiasi ketuhanan, dimana shalat yang asalanya 50 menjadi 5 waktu. Itulah hikmah dari berziarah atau sowan serta tawadlu' kepada Senior Nabi. Wallahu a'lam. (nu-online)