Isolasi Qatar, Benarkah Skenario Amerika?
KEBETULAN saya adalah pelanggan Qatar Airways untuk penerbangan ke luar negeri. Maskapai bintang lima tapi harganya "kaki lima". Namun, ada yang berbeda terbang dengan Qatar kali ini. Apa itu?
Sepintas tak ada yang aneh dengan penerbangan Qatar Airways kali ini. Seperti halnya saat melaksanakan ibadah umroh bulan Desember lalu. Dari Jakarta ke Doha terbang dengan pesawat yang terbilang baru: Boeing 787 Dreamliner. Pesawat modern, berteknologi canggih, senyap, dan diklaim anti jetlag karena mode kabinnya selalu dibuat dalam kondisi gelap.
Dari Doha, saat itu, melanjutkan penerbangan ke Jedah dengan Boeing 777-300 ER. Persis sama dengan penerbangan ke New York kali ini. Jakarta-Doha dengan Dreamliner, Doha-JFK dengan pesawat berbadan lebar Boeing 777.
"Tapi sekarang penerbangan ke Doha menempuh waktu lebih lama, Mas. Ini imbas isolasi sejumlah negara Teluk seperti Saudi Arabia, Uni Emirate Arab, dan Bahrain terhadap Qatar," kata Riyadi, rekan dalam penerbangan ke Amerika ini.
Ya, saya pun teringat tentang berita isolasi Qatar tersebut. Dan benar saja, sekarang penerbangan dari Jakarta ke Doha atau sebaliknya memakan waktu lebih 1 atau 1,5 jam lebih lama.
"Lihat ini Mas, meninggalkan Doha pesawat kita tidak bisa melintasi wilayah udara UEA. Jadi harus berputar. Begitu pula saat menuju Doha kemarin," kata rekan tadi seraya menunjukkan layar realtime map di kursi kami.
Jelas maskapai dengan kode penerbangan QR ini dirugikan. Terkait atau tidak, pesawat dari Doha ke Jakarta yang kami naiki hanya terisi separo. Padahal, biasanya rute ke Jakarta adalah rute gemuk dan selalu penuh. Apalagi, banyak tenaga kerja ke Indonesia yang bekerja di negara kaya di Timur Tengah itu.
"Biasanya Jakarta-Doha 7,5-8 jam, sekarang hampir 9 jam," kata seorang air crew Qatar Airways yang menolak ditulis namanya.
Waktu tempuh yang lebih lama ini jelas membuat Qatar kurang kompetitif dibandingkan rival dekatnya Emirates. "Emirates jelas paling diuntungkan. Sekarang harga tiket Qatar dengan Emirates hampir sama, padahal biasanya Qatar lebih murah," kata Sanjay, seorang penumpang dari India.
Meski sangat spekulatif, saya menduga isolasi Qatar oleh sejumlah negara di Teluk ini adalah skenario besar Amerika untuk menggerogoti bisnis Timur Tengah. Termasuk bisnis penerbangan yang sekarang makin merajai di dunia. Seperti saya tulis kemarin, betapa sekarang pemerintah Amerika kelabakan dengan eskpansi tiga maskapai Timur Tengah: Qatar Airways, Emirates, dan Etihad. Akibat ekspansi tersebut, maskapai AS banyak yang menutup rute internasionalnya dan Amerika membunyikan alarm akan bahaya ini.
Namun, mengapa hanya Qatar yang "diserang" saat ini? "Qatar dulu, nanti Emirates dan Etihad dipukul juga. Tidak tahu bagaimana caranya, kita lihat saja. Jadi mestinya negara di Timur Tengah kompak, jangan saling bermusuhan seperti ini," kata Sanjay berspekulasi.
CEO Qatar Airywas Akbar Al Baker mengatakan meski situasi politik di kawasan Teluk lagi bergolak, Qatar tetap berbisnis seperti biasa. "Bahkan kami membuka banyak rute baru di Eropa Timur dan sejumlah wilayah lainnya," kata Baker dalam pernyataannya yang dimuat dalam inflight magazine Qatar Airways, Oryx.
Bahkan, tidak mau kalah dengan Emirates, maskapai dengan kode penerbangan QR ini baru saja mendatangkan pesawat baru jenis Airbus A380.
Meski sangat spekulatif menuduh Amerika di belakang perseturuan Qatar dengan negara tetangganya. Namun, sejarah mencatat, Amerika bisa melakukan segala cara agar mereka tetap menjadi negara adidaya. Wallahualam. (Habis)
Advertisement