ISNU Jatim: Masjid Tua sebagai Situs Sejarah, Potensi Wisata yang Terus Digali
Kaum muda dan generasi terkini perlu memahami fakta-fakta sejarah untuk mengenal kepribadian dan identitas bangsa. Hal itu bisa diawali dengan mengenal sutus masjid-masjid kuno yang mempunyai jejak dalam pengembangan Islam di Jawa Timur.
Dengan memahami situs-situs bersejarah seperti masjid-masjid kuno, generasi muda dan kaum muda terkini akan menyadari jati dirinya. Mereka, generasi muda kekinian itu, dilahirkan dari tokoh-tokoh pejuang dan bangsa yang bersemangat juang tinggi, yang harus dilanjutkan perjuangannya.
Hal itu terungkap dalam acara Peningkatan Kapasitas Duta Budaya dan Pariwisata Religi, digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemprov Jawa Timur kerjasama PW Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur, diikuti para pemuda dan urusan organisasi pemuda, Duta Wisata Religi di Hotel Aliante, Kota Malang, Selasa 19-20 November 2024.
Dibuka Kepala Disbudpar Provinsi Jawa Timur, Evy Avianasari, ST, MMA, diwakili Ibu Susiati, dan pembica kunci Prof H M. Mas'ud Said, Ph.D, Ketua PW ISNU Jatim.
Potensi Wisata Sejarah
Sejumlah Nara sumber, hadir di antara Riadi Ngasiran, sejarawan dan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PWNU Jatim, menyampaikan tema Potensi Wisata dan Sejarah Jawa Timur: "Situs Sejarah, Religiusitas Masyarakat dan Jejaring Kultural" dimoderatori Dimas dari Duta Wisata Religi Jatim.
Dalam pengantar diskusi Riadi Ngasiran mengatakan, ikatan dengan masa lalu memberikan peluang untuk menghargai dan menghormati para leluhur sekaligus memetik pelajaran bagi kehidupan dan langkah mengukir prestasi di masa kini.
"Memahami arti penting situs dan bukti sejarah merupakan jalan berharga bagi penguatan identitas masyarakat dan jatidiri bangsa dalam menghadapi perubahan zaman," tutur penulis buku "Djohan Sjahroezah, Pejuang Kemerdekaan Bawah Tanah" dan "Resolusi Jihad NU, Perang Sabil di Surabaya Tahun 1945".
Diingatkan Ketua Lesbumi PWNU Jatim, pemanfaatan IT sebagai medium informasi dan persebaran ilmu pengetahuan menjadi kebutuhan bagi pemahaman kesadaran cinta bangsa dan Tanah Air, tanpa harus bersikap picik dalam tata pergaulan global," katanya.
Waspada Era Kekacauan Informasi
Riadi Ngasiran, yang juga anggota Tim Kerja Museum Nahdlatul Ulama mengingatkan adanya teori tentang kekacauan opini dan perang informasi. Menurutnya, terdapat tiga cara melemahkan dan menjajah suatu negeri. Pertama, Kaburkan sejarahnya. Kedua, Hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu hingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya; Ketiga, Putuskan hubungan mereka dengan para leluhur, dengan mengatakan jika leluhur itu bodoh dan primitif.
"Dengan teori ini, bangsa Indonesia yang sebagian besar Islam, bisa dilemahkan dan kehilangan jati diri selama ratusan tahun, membiarkan penjajahan di atas negeri terjadi bukan saja dari serangan bangsa asing tapi dengan melupakan dan tidak percaya akan keberadaan leluhur, kata Riadi, yang juga dikenal sebagai esais sastra dan kebudayaan.
Dijelaskan juga soal jejak sejarah Islam di Indonesia, mulai dari situs-situs makam Walisongo, dan situs lainnya yang mempunyai relasi dengan tokoh sejarah kontemporer Indonesia.Sepert Makam Kiai Ageng Muhammad Besari (Tegalsari Ponorogo), Masjid Agung Basyariyah, Sewulan, Madiun. (leluhur Gus Dur).
"Masjid Agung Sewulan (Masjid Ki Ageng Basyariyah yang didirikan pada tahun 1740 M/1160 H terletak di Desa Sewulan, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun adalah salah satu situs peninggalan Kyai Ageng Basyariyah (Raden Mas Bagus Harun) yang merupakan penyebar syiar Islam pertama di Sewulan.
Kiai Ageng Basyariyah atau Raden Mas Bagus Harun adalah putra dari Dugel Kesambi (Pangeran / Ki Ageng Nolojoyo), adipati Ponorogo pada akhir abad ke 17 M di bawah naungan Kerajaan Mataram.
Selain itu, ada Pasarean i Kanjeng Kyai Zakaria II (wafat 22 Januari 1871) dan Raden Mas Imam Soedjono (wafat 8 Februari 1876). Lokasi di Gunung Kawi berada di Kecamatan Wonosari.
Disinggung pula soal kesadaran memahami adanya perubahan dan kontinuitas (_Change and Continuity_). Menurutnya, kehidupan masyarakat dari zaman Sriwijaya, Mojopahit, terdapat ketersambungan sejarah. Masyarakat kita yang terbuka, penuh toleransi, menghargai perbedaan, meski dengan latar belakang kultural yang berbeda.
"Zaman Walisongo, para pejuang memperluas jejaring keilmuan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Jawa menjadi pusat peradaban: berjejaring dengan Sumatera, Kerajaan Tidore, Arafuru, Ternate, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.
"Di sinilah, arti penting ziarah religi untuk menanamkan nilai-nilai budaya masyarakat yang berpijak pada tradisi religiusitas dan ketersambungan generasi terkini pada leluhurnya.
" Para peziarah memahami keberadaan generasi terkini tak lepas dari pergulatan hidup, perjuangan para leluhurnya yang mempunyai akar kuat dengan nilai-nilai keluhuran budi, pungkasnya.
Selain Prof M Mas'ud Said dan Riadi Ngasiran, ada pembicara lain, M Dawud soal publik speaking, Aliyul Murtadlo tentang Kiat Menjadi Content Creator, dan Zainul Abidin Juara tentang "Pengenalan Halal Lifestyle".
Hari kedua para peserta mengikuti kunjungan ke Pondok Pesantren An-Nuur 2 Bululawang dan Kampoeng Heritage Kajoetangan Kota Malang.
Advertisement