Islam yang Menghibur, Renungan Khas Abdillah Toha
oleh: Abdillah Toha
Dalam sejarah dunia, barangkali dua abad terakhir ini adalah era yang penuh dengan peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kemajuan dan kecepatan perubahan luar biasa membuat manusia menjadi lebih cerdas, lebih maju, dan lebih nyaman kehidupannya, bahkan rata rata umurnya lebih panjang.
Bersamaan dengan itu, tuntutan hidup yang lebih menyenangkan menjadi prioritas. Benar kemudian aturan moral dan agama sering dianggap menghalangi atau membatasi hasrat orang untuk bebas menentukan nasibnya, namun sebagian besar manusia masih tetap menghormati aturan main dan moralitas yang mendukung tertibnya hubungan antar penghuni bumi ini.
Di satu sisi, kondisi dan suasana kehidupan modern semacam itu membawa masyarakat modern cenderung kepada hedonisme, yakni pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kesenangan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup.
Di sisi lain, agama dilihat sebagai momok yang membatasi ruang gerak manusia dan menakutkan serta mengancam dengan sanksi-sanksi azab dunia dan akhirat. Di sebagian besar negeri Barat akhirnya orang meninggalkan agama dan agama menjadi tidak laku. Tuhan yang tak tampak dianggap tidak ada dan manusia mengatur dirinya sendiri dengan kesepakatan demi kesejahteraan bersama.
Meski bukan yang terbesar, Islam adalah agama yang pertumbuhannya paling pesat di dunia. Bukan karena banyak orang luar yang berhasil diislamkan tetapi karena tingkat kelahiran Muslim adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Sebaliknya, di beberapa negara maju, sudah mulai tampak gejala anak muda yang acuh, sinis, bahkan meninggalkan iman Islam.
Apakah karena agama kita penuh air mata dan tangis? Ziarah kubur dianggap penting, bukan ziarah orang hidup yang sukses untuk diteladani. Contoh ekstrim lain tradisi peringatan Karbala yang sekarang sudah dilarang dengan melukai diri sendiri.
Terlalu sering kita dengar bahwa kita diciptakan bukan untuk bersenang senang dan menikmati hidup tapi utk menghadapi ujian Allah dan kita harus lolos dari ujian itu. Padahal Allah dengan jelas menghubungkan ujian itu dengan amal. Diuji siapa diantara kamu yang ahsanu 'amalan. Artinya, ibadah itu amal.
Kita terlalu sering diberi tahu bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Dunia penuh dengan tipuan. Tujuan hidup disini adalah menyiapkan diri untuk kehidupan abadi di akhirat. Semua Itu benar sesuai wahyu Allah dalam kitab suci AlQuran, tetapi bersamaan dengan itu, apa tidak perlu ada juga pendekatan lain yang lebih menimbulkan semangat hidup dan menghibur.
Pendekatan yang membuat kita berani hidup, bukan berani mati. Dakwah yang menyerukan Muslim untuk mencapai prestasi setinggi mungkin dalam segala bidang termasuk ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan lain lain.
Daya tarik agama merosot karena unsur menghibur dan menyenangkan dari agama yang dicari generasi baru tak ditemukan.
Yang ada dalam agama adalah ancaman azab dan ganjaran surga yang belum bisa dirasakan sekarang. Suatu hari anak saudara saya, saat berumur lima tahun diajak ayahnya ikut hadir dalam acara haul seorang alim yang banyak muridnya. Anak kecil itu berpikir haul adalah sebuah pertunjukan atau konser. Pertanyaan pertama si anak “Pa, ada lawaknya nggak?”
Di Barat, menjelang perayaan Natal ada tradisi yang sebenarnya tidak sepenuhnya punya dasar Kristiani. Ada Santa Claus dan nyanyian nyanyian Natal yang menghibur dan memberi imajinasi bagi anak anak. Kita pun dalam Islam punya hari hari besar seperti Maulid Nabi, lebaran, dan sebagainya. Perlu kita kembangkan terus upaya upaya dakwah yang membesarkan hati dan menarik, mendorong imajinasi positif bagi anak anak, dan memberi semangat bagi yang dewasa.
Kita kembangkan seni suara, lukis, musik, tari, filem, yang imajinatif, menghibur, dan tidak melanggar moral. Seni yang berkualitas. Bukan sekadar tabuh sana tabuh sini. Dakwah yang penuh optimisme masa depan. Kita tidak pernah mendengar ulama kita mendorong anak anak muda untuk bersaing dalam olahraga. Jarang ada ulama yang bisa bicara soal fiqih tapi juga mengikuti perkembangan sepak bola atau tenis.
Ulama yang bisa bercerita tentang kemajuan bangsa bangsa lain, baik Muslim atau bukan. Dai.yang mengajak kita sholat, berdzikir, dan bersedekah, tetapi juga mendorong anak muda untuk bekerja keras, berinovasi, memperbaiki taraf hidup, dan sukses dalam berbisnis dan berdagang.
Kita harus sadar bahwa jualan kita tentang agama, bila ingin laku dan dibeli, harus bersaing dengan promosi dan daya tarik berbagai industri dan komoditi non agama yang menjanjikan ganjaran menarik dan segera. Apalagi ketika revolusi teknologi informasi telah menghapus batas batas negara dan perbedaan waktu. Benar bahwa yang kita tawarkan adalah sisi kerohanian dari kebutuhan manusia, namun tetap saja ulama harus bersaing merebut hati dan perhatian sasarannya.
Kemajuan pesat di dunia saat ini yang memakmurkan sebagian penduduknya, juga menyisakan sebagian lain yang tertinggal dalam keadaan nestapa. Kelompok ini mencari bentuk Islam lain. Mereka menjadi korban dari Islam yang menawarkan solusi instan lewat berjihad. Islam hitam putih. Islam kita harus mampu menawarkan Islam alternatif yang berwarna warni. Yang menyajikan pilihan hidup yang luas dan memberi harapan masa depan yang cerah.
Kita perlu Islam yang menyenangkan, bukan yang mengancam. Islam yang menyelamatkan, bukan yang menghukum. Islam ramah dan bersahabat, bukan yang marah marah dan menakutkan. Islam yang indah, cantik, dan mempesona, bukan yang berwajah menyeramkan. Islam yang kuat menghadapi tekanan perusak dari manapun. Islam substansial, bukan simbolik. Islam yang inklusif, bukan eksklusif. Islam yang jadi idaman semua orang yang bernalar.
Wallahu a'lam.
*) Sumber: buku “Buat Apa Beragama?”, Abdillah Toha
(22122018)