Islam Nusantara memang Bukan Arab
Debat tentang Islam Nusantara lebih cenderung mempersoalkan kemasan ketimbang isi. Mempersoalkan nama dibanding subtansi. Mempersoalkan yang dipermukaan ketimbang nilai yang lebih dalam. Ibarat mempersoalkan casing ketimbang substansi isi.
Katib Aam Syuriah PBNU KH Yahya Cholil Staquf bikin heboh menjelang lebaran 1439 Hijriyah. Kontroversi terjadi terkait kunjungannya ke Yerusalem Israel. Ia diundang menjadi pembicara di berbagai forum. Juga bertemu dengan Perdana Menteri Netanyahu.
Dunia maya langsung berisik. Mulai yang mengecam hingga yang membela. Yang mengecam menganggap kunjungan itu mengkhianati perjuangan rakyat Palestina. Yang membela bilang kunjungan itu justru membuat terobosan perjuangan Palestina langsung ke jantungnya.
Gus Yahya --demikian KH Yahya Cholil Staquf biasa dipanggil-- punya misi khusus. Menawarkan strategi perdamaian dunia pada sejumlah forum di Israel. Termasuk mencari jalan keluar untuk solusi menyeluruh konflik Palestina-Israel.
Ia yang sejak muda sudah menyuarakan pembelaannya terhadap rakyat Palestina melihat perlunya jalan lain untuk merealisasikan kemerdekaan Palestina. Caranya? Mengajak Israel untuk merekonstruksi cara pandang tentang agama masing-masing.
Ia lantas menawarkan perlunya mengedapankan konsep rahmah yang ada dalam Islam. Sebuah konsep dalam Islam yang mengedepankan welas asih dan peduli terhadap orang lain. Ia juga menawarkan model Islam Nusantara atau Islam yang berkembang di Indonesia.
Tak pelak, isu Islam Nusantara menjadi mengemuka kembali. Bagi sebagian pengritiknya, selain mempersoalkan kunjungannya ke Israel, mereka juga mempermasalahkan ulang konsep Islam Nusantara.
Apa Itu Islam Nusantara?
Islam Nusantara sebetulnya tema yang diangkat dalam Muktamar NU tahun 2010 di Makassar. Sejak saat itulah, organisasi Islam terbesar di Indonesia ini getol memasarkan Islam Nusantara ke berbagai penjuru dunia.
Setelah NU merilis Islam Nusantara sebagai model strategi, Muhammadiyah juga memilih Islam Berkemajuan sebagai tema perjuangannya. Di sisi lain, ada kelompok yang getol menawarkan Islam internasional dengan mengajukan konsep khilafah dalam kepemimpinan umat.
Tentu tawaran model Internasionalisme Islam dengan sistem khilafah ini merisaukan NU dan Muhammadiyah. Sebab, secara konsep memang sudah berbeda. Yang satu berbasis keyakinan bahwa ke-Indonesia-an itu sudah final. Karena itu, strategi yang ditawarkan Islam yang meng-Indonesia bagi NU dan Islam yang maju untuk Muhammadiyah.
Sedangkan bagi kelompok lain menganggap Islam ya Islam. Tidak ada yang namanya Islam Nusantara, Islam Berkemajuan, dan Islam-Islam yang ada embel-embel di belakangan. Islam yang diyakini kelompok ini adalah Islam yang sesuai dengan Al-Qur'an dan segala perkataan dan perilaku Nabi zaman itu.
"Apa bedanya Islam Nusantara dengan Islam zaman Nabi," celoteh mereka. "Kalau ada Islam Nusantara berarti nanti ada Islam Jawi Wetan, Islam Eropa, dan Islam-Islam lain berdasarkan kebangsaan dan kesukuan," celoteh yang lain.
Apakah demikian? Tidak. Mengapa? Sebab, Islam bisa dilihat sebagai keyakinan, dogma, tauhid atau aqidah. Dalam hal ini Islam itu satu sesuai dengan teks: alquran dan sunnah. NU menambahkan rujukan ijma' (kesepakatan para ulama) dan qiyas alias analogi dalam fiqih.
Kedua Islam sebagai ilmu yang terbuka untuk dipelajari. Ini sejalan dengan spirit ayat pertama dalam Alqur'an, yakni Iqra' yang artinya bacalah. Sebagai ilmu, Islam tentu membuka ruang untuk didiskusikan. Bisa menjadi intellectual exercises.
Ketiga, Islam sebagai realitas sosial. Yakni, Islam yang telah diinterpretasi oleh pemeluknya sesuai dg pengetahuan dan nilai-nilai di lingkungannya. Disinilah lahir Islamnya orang Arab, Islamnya orang Maroko, dan Islam Nusantara.
Nah dalam interaksi manusia di dunia, mana yg bisa diterima dan bisa memecahkan problem dunia saat ini? Disinilah apa yang dilakukan Gus Yahya memiliki relevansinya. Jika ia menawarkan Islam Rahmah atau Islam Nusantara bukan berarti Islam yang berbeda dengan Islamnya Rasulullah.
Memang paham ini pasti sulit diterima oleh golongan Islam yang menganggap Islam yang kita ikuti sekarang harus sama persis dengan Islam yang berlangsung pada zaman Rasulullah. Tidak boleh ada modifikasi, tidak boleh ada tambah kurang.
Kalau ada penambahan-penambahan, mereka akan dianggap bid'ah, amalan yang tidak sesuai dengan yang telah dilakukan Rasulullah. Tidak hanya dalam amalan. Tapi juga atribusi dalam keseharian yang harus sama persis dengan Rasulullah. Misalnya, harus menggunakan gamis dan segala atribusi Arab sesuai dengan budaya Rasul diturunkan.
Memang Bukan Islam Arab
Bagi penganut Islam Nusantara, menjadi Islam memang tidak harus menjadi Arab. Apakah penganut Islam Nusantara alergi dengan segala hal yang berbau Arab? Jelas tidak. Mereka sebagian besar bisa berbahasa Arab.
Mereka tidak mengubah bacaan salatnya dengan bahasa nusantara. Membaca Alqur'an juga dengan bahasa Arab. Malah bisa jauh lebih fasih dari mereka yang membully Islam Nusantara. Banyak juga yang sekolah atau mondok di negara Arab: Saudi maupun Yaman.
Logika garis lurus pengkritik Islam Nusantara juga terkadang kebablasan. Malah yang yang menganggap ini kelompok anti Arab yang sudah menyimpang dari Islam. Dianggap keluar dari tuntunan Nabi yang lahir dan menjalankan tugas kerasulan di Arab. Dianggap murtad.
Islam Nusantara tidak menolak sejarah Ke-Nabi-an yang Arab. Hanya ingin menegaskan bahwa Islam berbeda dengan Arab. Bukankah selain Nabi Muhammad, dalam sejarah Islam ada Abu Jahal dan Abu Lahab yang menjadi penentang Nabi? Mereka Arab. Tapi Kafir.
Jadi, sebetulnya yang dikritisi Islam Nusantara pada dasarnya adalah bukan Islam Arab. Tapi Arabisme. Orientasi dan nilai yang selalu merujuk ke Arab. Atau ke-Arab-Arab-an. Menjadikan Islam yang identik dengan sinbol-simbol Arab. Dan seterusnya.
Jadi Islam memang tidak sama dengan Arab. Betul bahwa Islam kali pertama diturunkan di dataran Arab. Sebuah dataran yang melahirkan kebiasaan, adat istiadat, termasuk cara berpakaian dengan daerah di luar dataran Arab.
Islam Nusantara adalah Islam seperti yang diturunkan lewat Nabi Muhammmad. Islam yang masuk ke Nusantara melalui proses akulturasi dengan budaya setempat. Islam sosiologis yang melahirkan masyarat Muslim yang punya cara pandang berbeda tentang dunia dan agamanya.
Bisa juga Islam Nusantara disebut sebagai "tool marketing" alias alat dakwah untuk menepis pandangan bahwa Islam itu identik dengan kekerasan dan terorisme seperti yang melanda dunia Barat selama ini. Juga Islam yang penuh intrik, kekerasan, dan peperangan yang sedang melanda dunia Arab.
Islam Nusantara adalah penegasan bahwa ada kehidupan masyarakat muslim yang damai, ramah, dan bisa hidup dalam masyarakat yang berbeda keyakinan. Penegasan citra Islam yang berbeda dengan yang selama ini orang Barat melihat Islam yang penuh konflik di Arab. Penegasan citra Islam rahmah dan ramah untuk mengikis Islamophobia.
Islam Nusantara adalah cara Nahdliyin untuk berdakwah ke dunia luar secara gampang. Bukan aliran baru, apalagi Islam baru seperti yang dituduhkan para penentang dan pengritiknya selama ini. Islam yang memberi Rahmah bagi dunia.
Debat Casing atau Isi
Debat tentang Islam Nusantara lebih cenderung mempersoalkan kemasan ketimbang isi. Mempersoalkan nama dibanding subtansi. Mempersoalkan yang dipermukaan ketimbang nilai yang lebih dalam. Ibarat mempersoalkan casing ketimbang isi.
Saya menjadi teringat cerita Gus Yahya Cholil Staquf saat mendampingi Presiden Gus Dur dalam pertemuan para pemimpin negara Islam berpengaruh di Doha, Qatar. Pertemuan itu bersepakat menggelar pertemuan rutin untuk membahas permasalahan dunia Islam.
Pertemuan berikutnya disepakati di Jeddah. Namun, masih ada perdebatan antara Pangeran Abdullah dari Arab Saudi dan
Presiden Pakistan Pervez Musharaf. Pangeran Abdullah ngotot kesepakatan itu cukup jadi komitmen bersama. Sedang Pervez ngotot harus disebut tegas di deklarasi.
Keduanya berdebat sengit sehingga Raja Qatar Sheikh Hamas bin Khalifa Al Thani sulit menengahi. Akhirnya, Presiden Gus Dur angkat bicara.
"Ini soal bungkus dan isi?," katanya. "Deklarasi itu bungkus, komitmen kitalah isinya. Marilah kita semua lebih mengedepankan isi. Karena isi itu biasanya lebih penting dari bungkusnya. Contohnya: BH!".
Semua orang tertawa tergelak-gelak. Syeikh Hamad yang sedang iseng meremas-remas kertas sampai tak sadar melempar kertas itu ke arah Presiden Gus Dur. Lalu buru-buru berdiri, menghampiri Presiden, minta maaf berulang-ulang sambil mengelus-elus pundaknya.
Nah, soal Islam Nusantara, mana yang bungkus dan mana yang isi?(Arif Afandi)
Advertisement