Islam Nusantara: Kritik Diri
Pengantar Redaksi:
Persoalan "Islam Nusantara" tak sebatas istilah. Ia menjadi fokus sorotan publik Islam di Indonesia, sejak Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Agustus 2015. Isu ini beriringan dengan istilah "Islam Berkemajuan" yang diusung Muhammadiyah dalam muktamarnya pada tahun yang sama di Makassar.
Irfan Afifi, santri Pondok Pesantren Al Miftah Mlangi, Yogyakarta, mengangkat kembali diskursus "Islam Nusantara" itu, dalam pembacaan yang kritis.
Alumnus jurusan filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menulis buku “Saya, Jawa dan Islam” (diterbitkan Alief.Id), merekam dengan baik perjalanan pencarian diri yang hilang karena terjebak mengagungkan pola pikir Barat yang menawarkan kebebasan dan universalitas.
Irfan pun menulis buku berjudul “Senjakala Modernitas” dan “Bukan Tersembunyi, Melainkan Tak Terlihat”.
Ia memang dikenal mengakrabi bahasan agama, Jawa, dan budaya. Kecintaannya pada budaya, juga mengantarkannya sebagai editor buku karya Sri Margana, “Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan”, dan “Psikologi Raos: Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram” karya Ryan Sugiarto.
Selain menekuni buku, dia juga mendirikan langgar.co, dengan tagline “Suluk Kebudayaan Indonesia. Situs membahas beragam perspektif tentang kebudayaan. Irfan Afifi juga mendirikan Ifada Initiatives di Yogyakarta. Sebuah penerbitan yang fokus pada kajian khasanah pengetahuan Nusantara. Atas izin penulisnya, Ngopibareng.id menghadirkan "Islam Nusantara: Kritik Diri" yang dilansir di situs: langgar.co berikut:
Tulisan ini berangkat dan dipantik dari pertanyaan-pertanyaan Ulil Abshar Abdalla pada status facebooknya terkait masalah ini, yakni Kenapa gagasan Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu? Saya akan berangkat dari analisis-analisis yang sebenarnya sudah saya sampaikan baik secara implisit maupun eksplisit di dalam karya-karya saya yang telah beredar maupun materi ceramah-ceramah diskusi saya di berbagai tempat, untuk tak lagi terlalu hanya berfokus pada jawaban pertanyaan ini semata, melainkan meluas ke problem terkait Islam Nusantara itu sendiri sebagai sebuah diskursus.
Pertama, kenapa diskursus Islam Nusantara tak terlalu bergayung sambut di wilayah kawasan Melayu, mungkin dipantik dari hal sederhana tapi sekaligus sebenarnya merepresentasikan bangunan dan dasar teoritik awal bagaimana “Islam Nusantara”–yang senyatanya memang disorongkan oleh sebuah organisasi Islam tertentu itu–dintrodusir, maupun latar dan konteksnya baik situasi maupun landas paradigmanya yang memunculkannnya secara serentak.
Ada siratan diskursus yang tak terkatakan, bahwa para pengusung “Islam Nusantara” secara umum, meski tak semuanya (yang bisa jadi tak disadari) menyakini dan memiliki “kepercayaan diri” dalam anggapan, bahwa merekalah pewaris sah dari tradisi corak proses “islamisasi” awal yang selama ini disebarkan sejak mula oleh para wali tanah Jawa maupun para dai-sufi penyebar Islam di kawasan lain berbahasa Melayu. Mereka para pengusung ini, merasa (atau setidaknya dipersepsi oleh orang lain) bahwa merekalah yang menjaga dan melestarikan corak, warisan, bentuk tradisional dari warisan Islamisasi di Nusantara zaman lampau (setidaknya kesan yang saya rasakan sebagaimana menurut keluhan orang dan kelompok di luar, maupun orang awam secara khusus). Tentu dalam kadar dan gradasi tertentu, hal ini bisa dibenarkan. Meski dalam skala penglihatan gerak sejarah yang lebih komprehensif, hal ini akan mereduksi warisan khasanah Islam Nusantara yang, menurut studi-studi yang saya kerjakan sejak 2007, senyatanya menyebar secara merata di dalam masyarakat, apapun penggolongan klasifikasinya dalam studi antropologi terkait polarisasi masyarakat yang sering kita gugat belakangan ini. Dan titik inilah, menurut saya, kebuntuan jawaban bermula, dan di belakang hari justru akan menjadi sentimen negatif (terkait Jawa vs Luar Jawa) bahkan termasuk antar organisasi di Jawa, yang sebenarnya bermula dari tangkapan kesan “kepercayaan diri” ini.
Klaim Pewaris Tradisi Corak Proses Islamisasi Awal
Ada siratan diskursus yang tak terkatakan, bahwa para pengusung “Islam Nusantara” secara umum, meski tak semuanya (yang bisa jadi tak disadari) menyakini dan memiliki “kepercayaan diri” dalam anggapan, bahwa merekalah pewaris sah dari tradisi corak proses “islamisasi” awal yang selama ini disebarkan sejak mula oleh para wali tanah Jawa maupun para dai-sufi penyebar Islam di kawasan lain berbahasa Melayu.
Akhirnya, untuk memberi contoh ilustrasi ringan, ada kecenderungan proses “eksklusifikasi” warisan corak kebudayaan dan tradisi secara sepihak, yang seolah-olah itu merupakan warisan mereka sendiri yang tidak dimiliki oleh kelompok Islam lain. Misalnya, budaya memakai “kopyah” “peci”, “sarung”, untuk memberi contoh ringan, yang sebenarnya merupakan budaya Nasional secara umum, justru dipersempit menjadi “seolah-olah” miliknya kelompok sendiri (saya sering mendengar curhatan kelompok minoritas agama selain Muslim di Jawa misalnya, mengeluhkan ini). Atau misalnya “tahlilan” yang sebenarnya merupakan budaya tradisi umum dan merata yang dijalankan oleh keseluruhan masyarakat Jawa, maupun Nusantara secara keseluruhan, (yakni sebelum kedatangan modernisme Islam yang menggugatnya), dipersempit menjadi milik kelompok tertentu. Bahkan jika mengutip klasifikasi yang disorongkan oleh sosok macam Clifford Geertz, yang sebenarnya berusaha ingin saya hindari, terkait Abangan, Priyayi, Santri pun, maka dua kelompok pertama ini (Abangan dan Priyayi) dari sejak dulu melakukannya, dan bahkan hingga hari ini (ceteris paribus).
Dan dari proses “penyempitan” paradigma awal inilah analisis maupun studi kita akan warisan dan khasanah keilmuan tinggalan Islamisasi tahap awal, tak berkembang ke mana-mana, bahkan direduksi semata: Islam Nusantara merupakan Islam yang semata berkembang layaknya di pesantren-pesantren kita (bahkan merujuk organisasi Islam tertentu), dan Islam di luarnya adalah produk pencampuran yang tak lagi “menggeret” kita untuk memperhatikannnya atau bahkan menengoknya secara serius. Akhirnya kita semata sibuk mencari warisan teks-teks pesantren di masa lalu (tentu ini baik semata), dan itupun terbatas pada kitab pegon dan Jawi (yang secara huruf mempunyai kesamaan dengan huruf Arab), dan akhirnya abai terhadap warisan huruf Jawa (ha-na-ca-ra-ka) dalam kasus di Jawa, sebagaimana disarankan dan digelisahkan oleh Ahmad Suaedy, yang sebenarnya justru merekam tak kurang banyaknya khasanah keislaman di masa lalu.
Sunan Bonang dan Gagasannya
Saya beri contoh, G.W.J Drewes (1968) misalanya dalam studinya “Javanese Poem Dealing and Attributed with Sunan Bonang”, telah mendata 14 karya (yang diatribusikan pada) Sunan Bonang, yang kesemuanya ditulis dalam bahasa dan huruf Ca-Ra-Ka Jawa, yang manuskripnya masih tersimpan di Leiden, yang hingga hari ini, Kita, para santri ini, tak pernah mengetahuinya ataupun membacanya. Atau kumpulan aneka-ragam Kidung tinggalan Sunan Kalijaga (misalnya, yang sebenarnya telah diterbitkan secara stensilan ataupun sebenarnya telah dibukukan di dalam kitab Primbon keluaran Keraton Surakarta [10 buku Primbon, cetakan ke-10, 2008]), atau juga bahkan warisan tembang macapat yang bergunung-gunung yang menumpuk di keraton Surakarta, Radya Pustaka, Mangkunegara, Sanabudaya, Perpustakaan Nasional, maupun di Leiden, maupun di perpustakaan lain, yang sebenarnya sebagian telah dikodifikasi oleh Nancy K. Florida dalam 3 jilid (Javanese literature in Surakarta manuscripts, 1993, 2000, 2012), sungguh tak memikat kita sedikitpun untuk sekadar menengoknya.
Perlu diketahui, warisan tembang dalam bentuk macapat (genre puisi yang dimaksudkan untuk ditembangkan) yang dipakai untuk menuliskan pengetahuan orang Jawa dalam bentuk serat maupun babad, korpus terbesarnya (menurut keterangan Nancy K. Florida) diisi oleh genre Suluk (sebuah istilah tasawuf yang dipakai untuk menamai kesusateraan macapat Jawa untuk mengungkapkan keilmuan Sufi di Jawa). Oleh karenanya tak terhitung lagi, karena menempati porsi besar dalam kesasteraan Jawa, berapa karya Suluk yang terlahir sejak era Pajang, Cirebon, Banten, hingga Mataram dan terus berlanjut hingga Surakarta dan Yogyakarta (setidaknya hingga Perang Diponegara dan setelahnya), teronggok dan tak terilmui lagi tradisi kesufiannya. Kalau saya bandingkan, jika di Persia misalnya, individu-individu sufi tertentu berhasil mengarang karya sufi tertentu (seperti misalnya “Mastnawi”-nya Jalaluddin Rumi–yang ditulis dalam bahasa Persia, ataupun puisi-puisinya Hafidz misalnya), maka pada latar kebudayaan Jawa misalnya, karya sufi yang terlahir justru telah tercipta dalam sebuah genre sastra (macapat) bernama “Suluk” yang warisannnya menumpuk di pusat arsip keraton maupun di tempat lainnya, seperti yang telah saya sebut sebelumnya.
Membandingkan Jawa dan Persia
Kalau saya bandingkan, jika di Persia misalnya, individu-individu sufi tertentu berhasil mengarang karya sufi tertentu (seperti misalnya “Mastnawi”-nya Jalaluddin Rumi–yang ditulis dalam bahasa Persia, ataupun puisi-puisinya Hafidz misalnya), maka pada latar kebudayaan Jawa misalnya, karya sufi yang terlahir justru telah tercipta dalam sebuah genre sastra (macapat) bernama “Suluk” yang warisannnya menumpuk di pusat arsip keraton maupun di tempat lainnya, seperti yang telah saya sebut sebelumnya.
Sebagai contoh misalnya, karya sufi berpengaruh “Tuhfatul Mursalah ila Ruhin Nabi”-nya Burhanpuri–karya pengajaran tasawuf muntahi-wujudi itu (baca: tauhid wujud/manunggaling kawula-gusti)–telah dikarang dalam bentuk Macapat (suluk) bernama “Serat Topah” yang telah dianotasi oleh A.H. Jhons Australia (Oriental Monograph Series No.1, tanpa tahun). Dan saya juga punya salinan lain yang berbeda dengan edisi Jhons, yang juga diberi judul “serat Topah” yang telah diterbitkan oleh penerbit Tan Khoen Shie. Dan karya-karya Suluk layaknya Suluk Ma’lumat Jati, Serat Wirid Hidayat Jati, Suluk Linglung, Suluk Kaki Waloka, Suluk Patekah, Suluk Bayan Maot, Suluk Martabat Sanga, Suluk Wahdat-Wakidiyyah, Serat Muhammad, Suluk Besi, Suluk Wragul, dan segudang judul warisan karya-karya itu benar-benar menunggu sentuhan para santri yang paling siap menerima khasanah ini.
Di Wirid Hidayat Jati karya Ronggawarsita misalnya, kita bisa menemukan argumentasi “mitoni” (tingkeban) alias kebiasaan slametan 7 bulan Bayi, juga terkait budaya tahlilan 7 hari (40 hari, 100 hari, dst) dalam hubungannya dengan perjalanan ruh dalam skema penjelasan “martabat tujuh”–dalam bahasa Centhini disebut “kasapta martabat”–layaknya dikenal dalam tradisi sufi. Dan masih banyak yang lain.
Yang saya ingin sampaikan sebenarnya sederhana, bahwa warisan “Islam Nusantara” tidak bisa semata dialamatkan pada pelacakan “teks-teks pesantren” semata, melainkan perlu diluaskan ke teks-teks keraton juga berserta manifestasi kebudayaannnya yang sebenarnya telah manifes dan tersebar merata di masyarakatnya. Karena menurut pelacakan saya, sebelum kekalahan keraton Jawa, alias sebelum titik penanda pada kekalahan Perang Diponegara (1825-1830), warisan Islamisasi para Wali sebenarnya menyebar merata di masyarakat baik di masyarakat maupun dalam kebudayaan keraton, sebelum penjajah Belanda maupun Inggris memecah-belah warisan ini dan masyarakat akhirnya terpolarisasi dalam berbagai kelompok preferensi keagamaan yang saling menegasi (meskipun masih menyakini sebagai Muslim) dalam payung kelompok yang hari ini kita kenal sebagai Abangan, Priyayi, dan Santri.
Mencermati Ricklefs dan Karya Sejarahnya
Dalam skema saya, seturut gambaran M.R.C Ricklefs dalam karyanya “Polarisizing Javanese Society” (2007), maupun “Mystics Syinthesis” (2006), yakni Setidaknya hingga perjanjian Giyanti di tahun 1755, masyarakat Jawa secara relatif keseluruhan telah menerima Islam sebagai penyatu identitas kejawaannya. Alias masyarakat Jawa tidak lagi bisa membayangkan dirinya di luar kerangka Islam. Saya membayangkan bahwa hingga masa itu kita hanya mengenal corak tunggal keberislaman yakni “Islam-Jawa” dengan segala varian yang masih padu (alias belum ada abangan, santri, dan priyayi sebagai kategori kelompok masyarakat yang preferensi keagamaannya saling menegasi dan mengutub). Dan corak itu sebut saja “Jawa-Islam” ini memang bercorak tasawuf, atau katakanlah cara orang Jawa masa itu menerjemahkan tasawuf, yang memang tidak menampik warisan kebudayaan Jawa sebelumnya (dan bahkan) mengolahnya menyatu menjadi bangun kebudayaan “Jawa-Islam”.
Saya membayangkan bahwa hingga masa itu kita hanya mengenal corak tunggal keberislaman yakni “Islam-Jawa” dengan segala varian yang masih padu (alias belum ada abangan, santri, dan priyayi sebagai kategori kelompok masyarakat yang preferensi keagamaannya saling menegasi dan mengutub)
Maka dalam catatan-catatan kunjungan pejabat-pejabat Belanda, kita bisa menemukan misalnya, apa yang kita sangka saat ini sebagai praktik “bid’ah” bernuansa Hindhu Budha yang mengotori Islam seperti menembang Macapat, Wayang, Slametan, Kenduri, Tahlilan, Merti Bumi, Sedekah laut, garebeg, dll, justru merupakan penanda penting keislaman orang Jawa, saat mereka dibujuk untuk berpindah ke Kristiani. Karenanya memang tak aneh jika atribusi kepengarangan Gendhing, Serat, kidung, Suluk, bahkan Wayang, selalu dikaitkan dengan para sunan ataupun wali sanga sebagai penciptanya, yang riwayatnya masih terawat apik, baik dalam tradisi tutur maupun tradisi kesasteraan. Dan dari hasil pembacaan saya atas warisan “serat”, “suluk”, “babad”, dan “wirid” yang saya lakukan dari sejak tahun 2009 hingga hari ini, saya berani berkesimpulan, bahwa kesusateraan “suluk”, “serat”, dan “babad” (dalam bentuk tembang macapat), juga “wirid” merupakan sebuah genre sastra yang muncul pada periode zaman Demak hingga Mataram Islam (hingga Yogyakarta dan Surakarta), alias pada periode Islamisasi, dan tidak kita temukan di periode Majapahit yang memang memiliki produk sastra berbeda bernama “Kakawin” dan “adiparwa” (berbahasa Jawi Kuna dengan metrum sendiri indianya) yang jauh berbeda dengan kesasteraan Macapat. Oleh karenanya, bahkan sekelas T.H. Pigeaud dalam karya kanonnya “Javaans Volksvertoningen”-nya (1938) tidak bisa menyangkal bahwa wujud pagelaran “wayang kulit purwa” dengan iringan ensembel gendhing, saron, gender, bonang, rebab, dllnya itu (meski cerita dasarnya diambil dari kisah parwa-parwa di zaman Majapahit) “penciptanya” adalah Sunan Kalijaga.
Nah Kenapa warisan Jawa-Islam, atau sebenarnya berlaku juga pada “Islam Nusantara”, yang dilandaskan para wali dan sufi-ulama penyebar awal kemudian terpecah? Saya hanya akan menjawab pada wilayah Jawa (karena ini memang concern saya), yang mungkin juga berguna untuk mendeteksi keterpecahan warisan Islam di wilayah Nusantara yang lain.
Hipotesis kuat saya, dalam kasus Jawa, adalah sejak kekalahan perang Jawa (1825-1830) sebagai tanda pemudah dan juga utama untuk analisis. Jika sebelum perang ini, masyarakat Jawa secara keseluruhan dipandang sebagai entitas kesatuan yang diiikat oleh Islam, atau dalam bahasa Ricklefs sebagai kesatuan dalan terms “Mystic-Synthesis” yang sebagaimana ditekankan oleh sejarawan ini bahwa terms “mystic” harus dipandang sebagai “semata cara orang Jawa menerjemahkan sufisme dalam realitas masyarakat Jawa”. Maka setelah perang Jawa Integrasi “sufisme Jawa” yang menyangga bangun integrasi masyarakat ini kemudian terkeping-terkeping. Sejak keraton Jawa tunduk, Belanda berusaha keras untuk menampik realitas (kemenyatuan) keislaman orang Jawa ini. Karena bagi penjajah, seperti ditunjukkan dalam gabungan pasukan Diponegara yang disokong oleh jaringan utama santri, pangeran, begal, kawula alit, blandong, kecu dengan semboyan “prang Sabilollah”-nya itu telah menyadarkan mereka bahwa: selama Islam masih menjadi identitas penyatu Kejawaan, maka Kekuasaan Belanda tidak akan tenang untuk selamanya. Dan Belanda sebagai penjajah akan terus menjadi sasaran pekik dan teriakan “kapir-Landa”, layaknya pekik suara yang keluar dari pemberontakan Trunajaya maupun Surapati sebelumnya yang juga memekikkan yel-yel yang sama (“kapir-landa”) ketika keraton Jawa menunjukkan kedekatan tertentu dengan pihak kolonial.
Oleh karena itu, setelah berakhirnya perang Jawa, Belanda dengan segera mencipta “Institut Bahasa dan Budaya” (Het Instituut voor de Javansche Taal) tahun 1832 di Surakarta (sebuah lembaga javanologi pertama yang belakangan menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Leiden dan Delft di Belanda). Yakni sebuah lembaga yang berusaha merekonstruksi “kejawaan esensial” baru yang diperuntukkan bagi bangsawan (priyayi) Istana Jawa yang telah tunduk, yakni sebuah usaha mencipta secara baru gambaran dan defenisi kejawaan yang terbebas dari pengaruh Islamnya, alias kejawaan murni yang belum tersentuh “unsur revolusioner” semangat keagamaan padang pasir. Dan usaha menyingkirkan unsur “Islam” dari kejawaan ini sebenarnya telah diurai dan dipaparkan secara lengkap dan sistematis dalam karya suntingan saya Nancy K. Florida, “Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa”, (Buku Langgar), Yogyakarta, 2020 yang sebenarnya telah banyak beredar. Dan, ringkasnya, mereka penjajah berusaha secara akademik memetakan dan “mendefinisikan ulang” kejawaan sebagai projek kanonisasi kebudayaan Jawa-baru yang terbebas dari unsur Islamnya, yakni dengan cara meneliti “kesalahan-kesalahan praktik ber-Islam”-nya orang Jawa (alih-alih meneliti keragaman budayanya), yang dengan cara itu mereka bisa memecah bangun integrasi ke-Islam-an orang Jawa, yakni hanya dengan menyebut subyek masyarakat jajahannya sebagai “bukan penganut Mohammedan” sejati atau menyebut dan melabeli sebagai “Muslim Sinkretik” saja. Belakangan nanti di era Orde-Baru, project kanonisasi kebudayaan Jawa ini menjadi bahan penting bagi langkah “jawanisasi” Suharto yang tak sadar mengulang proyek javanologi dengan spirit pengutamaannya nilai-nilai “kepriyayian” dengan tema sastra “adiluhung”-nya.
Menyusun Ulang Babad sebagai Sumber Sejarah
Mulai saat itulah, mereka berburu dan mengumpulkan naskah (bahkan dalam banyak kasus dengan cara merampasnya), menyusun ulang babad baru (babad Meinsma, Otlof, dll), menyunting dan menerbitkan serat-serat baru yang telah lulus sensor “provokasi” Islamnya, mencipta kamus (Pigeaud, Winter, dll), mencipta tata-penghormatan, etika, dan tradisi baru bagi kerajaan dan bangsawan yang sudah takluk, mengambil kewenangan administrasi para penghulu di seluruh pulau Jawa di bawah birokrasi kolonial, memutus mata-rantai hubungan pesantren dengan keraton (menurut Nancy bahkan hingga masa sebelum perang, pendidikan pesantren bagi pejabat, abdi dalem, dan pangeran merupakan modus utama di zamannya), juga mengawasi dengan ketat kunjungan “priester-priester” Islam (ulama’ Islam dan Arab) di keraton, hingga memecat dan mengganti para adipati-adipati di wilayah sekujur pulau yang disangka “terlibat” baik secara trah, jaringan, maupun berdasar tanda ketaatan syariat mereka sebagai (penanda) keterlibatan mereka dengan pemberontakan Diponegara yang maha dahsyat itu. Dan saya kira itulah awal permulaan terputusnya hubungan pesantren secara umum dengan keraton Jawa.
Belum lagi jika menilik dampak kebijakan Politik Tanam Paksa (coersed drudgery) yang konsekuensi buruknya terkait integrasi masyarakat baru dirasakan setelahnya. Bangun intregasi “Islam” yang menyangga Kejawaan pada masyarakat hingga saat itu akan benar-benar berubah dalam konteks relasinya dengan kekuasaan (perubahan pusat kekuasaan Baru). Penggolongan, strata, hirarki sosial yang terbentuk secara alamiah di masyarakat dan berlaku dimanapun seperti: petani, pedagang, bangsawan, maupun kalangan beragama, akan segera berubah sebagai sebuah kelompok-kelompok yang saling mengutub dan saling menegasi seiring dengan perubahan relasinya dengan konstelasi kekuasaan baru. Dalam konteks politik ekploitasi tanam/Cultuure Stelsel (1830), tiga golongan utama dalam masyarakat Jawa, Petani, Bangsawan, dan kalangan agama akan segera berdiri vis a vis dan saling berhadapan dan saling menegasi, meski mereka masih berada dalam satu payung keberagamaan Islam.
Kelompok pertama (1) Priyayi atau bangsawan keraton dari sejak tingkat regenten maupun vorstenlanden hingga kelurahan (adipati, wedana, hingga lurah) akan digerakkan oleh birokrasi kolonial sebagai subyek “penindas” atas kemenurutan petani rakyat bawah untuk kesuksesan politik ekspor tanam. (Bangsawan-bangsawan di sekujur pulau Jawa ini mendapat keuntungan ekonomis dari politik tanam paksa ini akan menyebabkan polarisasi hingga hilangnya ketaatan dan loyalitas petani dan kawula alit pada pememimpin aristokrasinya). Di abad setelahnya, kelompok ini, meskipun masih menyakini sebagai muslim, mereka akan semakin tercerabut identitas “Islam tradisionalnya” dan dengan serta lambat laun merangkul kebiasaan dan kebudayaan eropa penjajahnya (kami-landanen). Tak aneh jika menemui anekdot di awal abad 20: “meski kehidupan hedon-sekular yang menandai kebudayaan priyayi dalam menyerap kebudayaan Eropa-penjajah, mereka akan enggan berpindah ke agama penjajah dengan hanya menjawab, mending bertuhan satu dengan istri empat daripada bertuhan tiga dengan istri satu.”(lihat, Ricklefs, Islamization and Its Opponents, 2012)
Kelompok kedua, adalah para petani dan kawula alit atau rakyat bawah secara umum akan dijadikan “subjek tertindas” dengan kemelaratan dan penderitaannya yang semakin meningkat, yang masih terus saja melanjutkan warisan tradisi kejawaannya (yang sebenarnya dari sudut “aksioma kebudayaannya”–seperti dikatakan oleh Woodward (1989)–telah direvolusi secara menyeluruh oleh Islam (esoteris), yang sebagian besarnya merupakan tinggalan tradisi Jawa-Islamnya (kreatifitas kearifan) para wali yang memuncak dan ditradisikan secara sistematis di puncak kekuasaan Sultan Agung Mataram Islam (orang Jawa di seputaran wilayah Keraton selalu menganggap Sultan Agung adalah raja sekaligus wali). Belakangan kita akan menyebutnya dengan sebutan peyoratif sebagai abangan.
Kelompok Ketiga adalah kelompok pedagang dan para Haji yang sebenarnya relatif terbebas dari sistem Tanam Paksa ini yang secara umum lebih berperan sebagai penyedia ketersediaan cash-money atas sistem pembayaran dan sistem denda politik tanam (juga dimainkan oleh pedagang China dan India dalam kadar lain), yang semakin hari akan terbarui “ortodoksi” pemahaman keagamaannya (setelah kepulangan hajinya) seiring kemunculan Reformasi dan Modernisme Islam di semenanjung Arab. Sering disebut sebagai putihan.
Mata Rantai Pendidikan Pesantren
Juga kelompok lain, sebagian para pemimpin Islam tradisional (alias tidak semua), yakni setelah keterputusan mata-rantai sistem pendidikan pesantren dengan Keraton setelah perang Jawa, yang memuncak dan semakin intensif setelah dibukanya terusan Suez 1869, akan segera mencipta dan membentuk jaringan internasional keilmuan, ulama, kuasa dan jejaring ortodoksi yang berbeda dan (ter)baru(i). Ini juga bisa menjadi penjelas kenapa mata-rantai silsilah keilmuan kita para santri (dari fikih hingga tasawuf muntahi), setelah akhir abad 19, sebagian besar tak lagi terhubung (alias sebagian besar terputus) dari mata-rantai sanad keilmuan dhahir maupun sanad tarikat serta pengajaran sufisme muntahi (bathin) dari jalur sanad keilmuan walisanga dan wali-wali tanah Jawi lain. Kelompok ini disebut dengan istilah sematan yang selanjutanya atau belakangan menunjuk secara meluas dan melebar sebagai penganut Islam taat: Santri.
Ini juga bisa menjadi penjelas kenapa mata-rantai silsilah keilmuan kita para santri (dari fikih hingga tasawuf muntahi), setelah akhir abad 19, sebagian besar tak lagi terhubung (alias sebagian besar terputus) dari mata-rantai sanad keilmuan dhahir maupun sanad tarikat serta pengajaran sufisme muntahi (bathin) dari jalur sanad keilmuan walisanga dan wali-wali tanah Jawi lain. Kelompok ini disebut dengan istilah sematan yang selanjutanya atau belakangan menunjuk secara meluas dan melebar sebagai penganut Islam taat: Santri.
Yang ingin saya katakan sebenarnya, bahwa semenjak kekalahan pusat Keraton Jawa di Perang Diponegara, warisan “Jawa-Islam” baik dalam tradisi, adat, kebudayaan, serta peradaban teks-teks huruf Jawi (pegon) maupun kesusateraan berhuruf Jawa ha-na-ca-ra-ka (Islam)-nya–yang oleh Ricklefs dianggap sebagai penyatu identitas dan integrasi tunggal masyarakat Jawa (hingga masa itu)–akhirnya berkeping-keping dan terpecah belah (baca: politik pecah kolonial), yakni dalam sebuah proses menaik pengutuban (polarisizing) masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok masyarakat yang saling menegasi sebagai dampak dari politik Tanam Paksa dalam konteks perubahan kepemimpinan kuasa baru: Putihan, Abangan, dan Priyayi.
Dari semenjak era Politik Tanam Paksa (1830), dibukanya Terusan Suez (1869), hingga diterapkannya Sistem Pendidikan Kolonial di masa Politik Etis (1901), kita akan melihat betapa para bangsawan Keraton maupun para priyayi di bawah birokrasi Kolonial (Pramoedya Ananta Toer mendefinisikan Priyayi sebagai “gelar” yang muncul dari proses perkawinan status bangsawan keraton dengan sistem pendidikan dan administrasi kolonial semenjak Belanda menjadi penguasa tunggal masyarakat Jawa secara keseluruhan) akan benar-benar terserap dalam kultur birokrasi-politik dan kebudayaan kolonial, yang lambat-laun akan mencerabut mereka (priyayi) dari “universum” Islam tradisional-pesantren mereka dan segera menginternalisasi “kejawaan esensial” hasil kodifikasi dan pemetaan filologis-arkeologis keilmuan sarjana kolonial atas kesusateraan dan kebudayaan Jawa, yang memang secara sitematis–seperti telah dikatakan oleh Nancy K. Florida–membuat ”mata kolonial” mereka benar-benar telah gagal dan “tak akan mau melihat” realitas maupun unsur Islam yang telah menubuh dalam realitas kebudayaan Jawa. Dan segera saja mereka, para javanici ini akan “menggusur” dan “membersihakan” realitas “Islam” bagi gambar “Kejawaan esensial” khayalan akademis mereka dalam rangka–mengutip perkataan Direktur awal lembaga Javanologi “Institut Bahasa dan Budaya Jawa (1832) lembaga yang telah saya singgung sebelumnya–untuk “mengelola dan berhubungan” dengan masyarakat Jajahan. Kita oleh karenanya tak terkejut dengan kegelisahan orang sejenis Kartini terkait kegelisahan dan keambiguan agamanya terkait fakta keterlahirannya sebagai muslim yang tak pernah melihat Al Qur’an sejak kecil, hingga melecutnya berguru ke Kiai Saleh Darat di semarang atas saran ajakan kakaknya Sosrokartono.
Bahkan, sejak peralihan minat sarjana kolonial dari kajian kesusasteraan Mataram Islam, Cirebon, dan Banten (baca; serat, babad, suluk, dan wirid), lalu segera berpindah ke pencarian sastra yang lebih kuno di zaman Hindhu-Budha yang lebih jauh (zaman Majapahit ke belakang, alias berbahasa Jawi kuna), Belanda telah berhasil merekontruksi, mendefisinikan, dan menanamkan kepada subyek priyayinya yang telah tunduk, bahwa kejawaan yang diterima mereka lebih berpaut dengan masa Hindu-Budhanya Majapahit yang jauh, daripada keberagamaan Islam yang senyatanya mereka anut secara aktual di masa itu. Misalanya karya “History of Java”-nya (1817) Raffles maupun “The History of Indian archipelego”-nya (1820) Crawfurd hanya memberi porsi ulasan sangat terbatas (minim) atas Islam sebagai agama aktual masyarakat Jawa, dibanding berlembar-lembar urusan agama kuno Jawa (Hindu-Budha, dll) yang senyatanya sebenarnya telah relatif dilupakan.
Sufisme Jawa dan Kelanjutan Dakwah
Ketercerabutan bangun “sufisme Jawa” yang sebenarnya menyangga bangun keraton Mataram Islam sebelumnya maupun kebudayaan priyayi secara integral, akhirnya lambat laun memudar dan tak terilmui kembali, yang menyebabkan perasaaan keterbelahan individu yang tak terkatakan.
Perlu diketahui ihwal keterkaitan sufisme dengan keraton Jawa, pada karya “The Seen and Unseen World in Java 1726-1749”-nya (1998) Ricklefs menyimpulkan bahwa bangun falsafah kerajaan Mataram Islam sejak di zaman Sultan Agung–terutama melalui telaah naskah Suluk Garwa Kencana, Kitab Usulbiyah, Serat Yusuf, dan Carita Iskandar–sebenarnya justru didasarkan pada bangun falsafah terkait “sistem peperangan pada keraton-diri (baca: jihad akbar) yang dijabarkan dalam sistem peperangan nafs dalam konsep sufisme [Sufi Political Philosophy]). Dan sistem pemerintahan Sufi ini juga dapat ditemui secara jamak, setidaknya aspek-aspek nilai-nilai gagasan tasawufnya untuk sistem kesultanannya, di keraton-keraton Nusantara seperti di Aceh, Mandar, dan Gorontalo, dan Bugis. Bahkan dalam tulisan M. Jadul Maula misalnya (dalam “Islam Berkebudayaan” [2019]), menyebut bahwa di kerajaan Buton, konsep “Martabat Tujuh” telah diterjemahkan dalam sistem tata kekuasaan dan struktur hirarki pemimpin dalam struktur masyarakatnya.
Sejak diberlakukan sistem pendidikan Etis di tahun 1900 an awal, para priyayi beserta keturunannya anak, dan cucu mereka pasca perang, akhirnya bergabung lebih awal pada bangun “pandangan dunia” baru dalam sistem pendidikan Etis, yang kemudian melambari “sistem world-view baru” bagi mereka, yang dulunya diisi pandangan “Islam tradisional” (pesantren-sufisme Jawa) setidaknya hingga kekalahan perang Jawa. Bahkan sebagian priyayi juga beberapa orang Jawa akhirnya menggabungkan diri pada gerakan theosophy, sebagai sebuah gerakan spiritualitas tanpa agama yang menjamur global di masa itu, yang akan memberi lambaran spiritualitas baru bagi para priyayi dan kalangan terpelajar Jawa yang semakin mencerabut mereka dalam landasan keilmuan lama sufisme Jawanya.
Di masa-masa inilah menjamur produksi tafsir warisan kesusateraan Jawa masa sebelumnya (Jawa-Islam) akhirnya bercampur dengan penafsiran khas theosophy yang belakangan dinamai dan dikenal sebagai Kejawen. Fenomena ini berbarengan kemunculan majalah berbahasa Jawa yang pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka (lembaga penerbitan awal Belanda) yang bernama: Kedjawen (1926-1942). Akhirnya seluruh warisan kesusateraan juga kebudayaan “Jawa-Islam” (baca: sufisme Jawa) menyurut dilabeli semata sebagai Kedjawen dan berkembang dengan dinamikanya sendiri yang semakin menjauh dan berdiri vis-avis dengan penafsiran dan pemahaman kelompok putihan maupun santri yang memang telah terbaharui pemahaman jaringan “ortodoksi” keagamaannya, baik dengan sebutan Istilah “modernisme Islam”, “neo-sufisme”, maupun kaitannya merebaknya Gerakan Wahabi di awal abad 20 (lihat, Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, 2004)
Bahkan mendekati kemerdekaan Indonesia, maupun akan marak setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, (terutama sebelum dan setelah 1965), mulai muncul menjamurnya aliran kebatinan (alias fakta baru) yang mulai semakin tegas memisahkan diri bangun integrasi ke-Islam-annya. Bahkan, saya getir menyaksikan Buku “Ensiklopedi Spiritualitas Islam”-nya Seyyed Hossein Nasr (jilid 2, 2002) itu, dalam menyebut warisan sufisme Jawa, ia malah menyebut “Subud”, Susila Budi Darma, yang sering ditunjuk sebagai aliran kebatinan itu sebagai warisan Sufisme Jawa. Dan warisan kesusasteraan “Suluk”, “wirid”, dan “Jawa-Islam” tersuruk (sebagian dikarenakan rekonstruksi intelektual Belanda, yang membingkainya menjadi semata warisan “sinkretik”), yang akhirnya memisah dan membelah warisan priyayi dan santri. (lihat bagaimana gelar, Ki dan Kiai, yang di dalam serat-serat disebut secara bergantian dan sepadan (alias artinya sama), akhirnya memilah menjadi menyurut milik eksklusif sebagian sebagaian kelompok).
Bahkan, saya getir menyaksikan Buku “Ensiklopedi Spiritualitas Islam”-nya Seyyed Hossein Nasr (jilid 2, 2002) itu, dalam menyebut warisan sufisme Jawa, ia malah menyebut “Subud”, Susila Budi Darma, yang sering ditunjuk sebagai aliran kebatinan itu sebagai warisan Sufisme Jawa.
Untuk masyarakat Jawa secara umum, dalam masa akhir abad 19 (tahun-tahun 1860-an ke atas), catatan dan temuan sarjana kolonial, yakni sebagai dampak Politik Tanam Paksa dan ditemukannya mesin uap Kapal yang mempermudah perjalanan Haji, juga mulai muncul istilah “abangan” (alias muncul sebagai fakta baru) sebagai istilah yang mengacu sebagai kelompok yang memiliki preferensi keagamaan yang berbeda (meski masih dalam bingkai Islam) dan yang berdiri dan bersitegang dengan kelompok Islam yang terbarui pemahaman agamanya. Di masa ini pula, kebijakan pengawasan dan survei pesantren (melalui tangan bupati-bupati setempat) dan politik pelonggaran dan pembatasan jamaah Haji diterapkan. Kurikulum Pesantren-pesantren harus dilaporkan dan diawasi (Snouck menyebut tarikat merupakan momok kolonial), perkumpulan tarikat yang masih mengajarkan wirid dan jangka primbon tentang kedatangan “ratu-adil” (Centhini menyebut ratu adil dengan menunjuk istilah Wali-khalipah, atau Raja sekaligus Wali) dilarang dan dibatasi, dan praktik klenik dan tahayul di tempat umum dilarang, karena tidak sesuai dengan visi “rasional” pendidikan Etis zamannya. Di masa inilah kesarjanaan kolonial mulai menemukan naskah-naskah Kakawin warisan Hindhu-Buddhanya Majapahit, seperti Pararaton (1897) dan Negara Kartagama (1894), dll. (ditemukan justru tidak di Jawa melainkan di Lombok dan Bali) yang dengan segera publikasi atas ulasan ini ikut menentukan imaji dan gambaran baru yang merevisi terkait masa lalu Jawa maupun Nusantara yang lebih jauh.
Nah Faktor-faktor inilah yang semakin meruncingkan polarisasi di masyarakat Jawa (yang memang senyatanya sangat terkait langsung atau tidak langsung) dengan preferensi keagamaan dan bangun integrasi Islam yang menyangga kesatuan masyarakat sebelumnya. Dan kita tahu sebelum ide modern seperti negara bangsa (nation state), demokrasi, nasionalisme, sains dll dikenal, hanya sistem pandangan dunia agamalah yang menyangga struktur integrasi sebuah masyarakat tradisional. Namun bangun integrasi-penyatu “Islam” dalam kasus Jawa, juga banyak kesultanan Islam di Nusantara, akhirnya tercerai berai akibat dampak kebijakan politik, kebudayaan, dan pengetahuan yang diciptakan Belanda, yang lambat laun merangkak naik menjadi proses pengutuban “preferensi keagamaan” masyarakat yang saling menggugat dan berseteru.
Pengutuban Ideologi
Namun bangun integrasi-penyatu “Islam” dalam kasus Jawa, juga banyak kesultanan Islam di Nusantara, akhirnya tercerai berai akibat dampak kebijakan politik, kebudayaan, dan pengetahuan yang diciptakan Belanda, yang lambat laun merangkak naik menjadi proses pengutuban “preferensi keagamaan” masyarakat yang saling menggugat dan berseteru.
Pengutuban ideologi dalam baju “nasionalis, komunis, dan agama” di masa pergerakan nasional sebagaimana tercermin dalam kemunculan organisasi agama dan pergerakan nasional pada awal abad 20, layaknya Budi Utomo, Jawi Kanda, Insulinde, Syarikat Islam (merah dan putih), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Taman Siswa, Jong Java, Jong Islaminten Bonds, dll sebenarnya hanya merupakan kelanjutan proses polarisasi masyarakat yang menaik sebagai dampak kebijakan kolonial setelah kekalahan perang kedaulatan Jawa, maupun perang-perang kedaulatan kesultanan-kesultanan Nusantara (ini perlu penelitian lebih lanjut). Proses pengutuban “preferensi keagamaan” ini kemudian berubah rupa dalam idiom-idiom baru, sebagai penanda ketergabungan mereka gerak modernisme dan masyarakat global dalam bingkai entah itu “nasionalisme”, “pan-Islamisme”, “sosialisme”, “komunisme”, “demokrasi”, “Internasionlisme”, “nation state”, “capitalism”, dll.
Polarisasi masyarakat Jawa ini akhirnya memuncak pada peristiwa 1965, dimana sesama anak bangsa akhirnya saling membunuh dalam sebuah peristiwa genosida sejarah yang menjadi beban perkembangan sejarah kita. Bangun integrasi “Islam” yang dulu menyanggga masyarakat ini pecah terkeping-keping dalam titik kulminasinya. Banyak orang Jawa (jutaan) secara berbondong-bondong beralih ke Kristiani (sebagian ke Hindhu Buddha), atau bergabung dengan kelompok-kelompok kepercayaan dan kebatinan yang sebelumnya menjamur. Wayang, peradaban kesusasteraan Jawa yang kaya, juga beserta khasanah ragam kesenian, yang dahulu dielu-elukan sebagai warisan tinggalan islamisasi para wali itu, oleh kelompok putihan dipandang sebagai identik dengan kelompok partai dan aliran kepercayaan tertentu (misalnya milik PKI, atau kelompok nasionalis). Pesantren akhirnya tak lagi terhubung lagi dengan kesenian dan ritus pagelaran Islam bulan-bulan Islam di keraton, maupun kesenian daerah (selain faktor gerak laju perubahan Modernisme secara umum) yang akhirnya membentuk subculture dan bangun pengetahuan tersendiri yang dulunya sebelum Perang Jawa merupakan kesatuan integral yang tersambung, yakni seiring perubahan metode kurikulum dan infrastruktur yang semakin terorganisasi dan terformalkan.
***
Kritik Historis Pasca-Kolonial
Usaha saya berlarat-larat untuk mengurai rangkaian skema historis dari sudut kritik historis pasca-kolonial, sebenarnya merupakan sebuah undangan atas penelitian kritis di kawasan lain terutama di wilayah berbahasa Melayu (dimana memang saya memiliki keterbatasan atas kajian di Luar Jawa, oleh karenanya saya meminta maaf), agar kita bisa melampui dan memberi alternatif baru atas penciptaan diskursus yang terbebas dari narasi “kuasa pengetahuan” kolonial (karena bagaimanapun dahulu penelitian-penelitian yang dikerjakan oleh sarjana kolonial terkait ke-Indonesia-an, kejawaan, dan ke-Islaman tersebut dalam konteks yang lebih khusus memang bagaimanapun menyisakan bias dalam bingkai pemilahan dan untuk langgengnya kekuasaan kolonial di Hindia Belanda). Analisis maupun penelitian lanjutan terkait polarisasi yang ditimbulkan dari kebijakan di sepanjang kawasan Melayu, seperti bagaimana Kolonialisme melakukan politik pecah-belah atas sistem nilai yang sebelumnya dianggap menyatu dan padu yang menyangga integrasi masyarakat layaknya terjadi di Jawa, seperti terkait pertanyaan bagaimana Kolonialisme membenturkan antara “Syarak” Vs “Adat”, “Teuku vs Tengku”, “Kalangan bangsawan vs Kalangan Adat”, “Sistem Peradilan Pidana kolonial vs pengadilan Serambi”, “Ki vs Kiai, dll akan sangat dibutuhkan dan diperlukan.
Usaha saya berlarat-larat untuk mengurai rangkaian skema historis dari sudut kritik historis pasca-kolonial, sebenarnya merupakan sebuah undangan atas penelitian kritis di kawasan lain terutama di wilayah berbahasa Melayu (dimana memang saya memiliki keterbatasan atas kajian di Luar Jawa, oleh karenanya saya meminta maaf), agar kita bisa melampui dan memberi alternatif baru atas penciptaan diskursus yang terbebas dari narasi “kuasa pengetahuan” kolonial (karena bagaimanapun dahulu penelitian-penelitian yang dikerjakan oleh sarjana kolonial terkait ke-Indonesiaan, kejawaan, dan ke-Islaman tersebut dalam konteks yang lebih khusus memang bagaimanapun menyisakan bias dalam bingkai pemilahan dan untuk langgengnya kekuasaan kolonial di Hindia Belanda).
Hal ini sangat berguna bukan hanya semata untuk menjawab pertanyaan awal kenapa Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu, melainkan lebih dalam usaha menjawab kenapa warisan proses Islamisasi di Nusantara tersebut tersebar dan menyebar yang tidak lagi diakrabi dan berputus jalan ketersambungannya dengan “teks-teks pesantren” yang sering diburu itu. Belum lagi jika kita melihat bagaimana polarisasi ciptaan kolonial itu berdinamika lebih lanjut membentuk berbagai sejarah turunan organisasi Islam yang tersebar di Indonesia (Masyumi, Persis, Muhammadiyah, NU, Al Wasliyah, Sumatra Tawalib, Persatuan Tarbiyah, Nahdlatul Wathon, LDII, dll) yakni menuruti kelanjutan proses sejarah kita berbangsa, yang darinya bisa mengenali kenapa wilayah kawasan kawasan Melayu atau bahkan organisasi Islam di Jawa sendiri yang tidak terlalu menerima sodoran “Islam Nusantara” yang memang senyatanya disodorkan oleh kelompok organisasi Islam tertentu, dan juga hadir dalam hiruk-pikuk pembelahan politik dalam konteks kesuksesan pemilihan presiden (meskipun jika para penyokongnya tidak merasa meniatkannya dalam dan untuk tujuan [diskursus] politik tertentu).
Juga kita bisa menangkap, bagaimana misalnya “Islam Nusantara” hadir dan (di)-muncul-(kan) dalam konteks merespon maraknya–meminjam bahasa Hasyim Muzadi–Islam “trans-nasional” (wahabi, HTI, salafi, dll) atas nama memunculkan atau (tepatnya) mempertahankan “Islam yang santun”, “Islam moderat”, “Islam yang rahmah dan ramah”, dan “Islam yang tidak marah”. Karena kebutuhan ini pula Islam Nusantara hanya diambil dan ditekankan pada sisi “wasatiyyah”-nya (moderatisme), atau semata unsur “toleran”-nya yang dipersepsi oleh sekelompok organisasi lain merujuk hanya pada kelompok tertentu semata. Tak aneh misalnya, jika Intelektual macam Muhammad al Fayyadl, sesuai tangkapan saya (semoga tidak salah), merasa bahwa moderatisme Islam hanya mengungkung wacana Islam semata bersikap “moderat” atau “ramah” yang bisa sangat rentan abai terhadap fakta penjajahan “kapital asing” dan abai terhadap visi-visi pembelaan terhadap kalangan mustadh’afin (tertindas secara struktural) dalam perkembangan kapitalisme tingkat lanjut. Juga saya bisa memahami mengapa tokoh sekelas Ahmad Najib Burhani (Koran Sindo, 19 Januari 2017) yang merasa bahwa “Islam Nusantara” seolah hanya menunjuk pada kelompok organisasi tertentu (sebuah persepsi tangkapan dari kelompok luar penyokong) dan bahkan justru mengutip Mohamad Shohibuddin, seorang Khatib Am pengurus NU Belanda (Koran Sindo, 24 Januari 2017), bahwa Islam Nusantara justeru bisa ditutupi sekaligus tertutupi (keluasan spektrumnya) oleh para pengusungnya sendiri (mahjubun bin Nahdliyyin). Bahkan dalam sebuah tesisnya Najib Burhani “Muhammadiyah Jawa” (2010), ia bahkan telah mendeteksi atau mendapatkan justifikasi bahwa pada dasarnya (tokoh-tokoh) Muhammadiyyah lebih tepat jika dikelompokkan sebagai “priyayi”. Rangkaian polarisasi ciptaan kolonial yang membelah itu akhirnya terus-menerus berlanjut dan mengkerangkai analisis para sarjana Muslim kita.
Mungkin ini juga yang melambari alasan yang mendasari bagaimana horison atas diskursus “Islam Nusantara” setidaknya secara umum, selalu secara tak sengaja merujuk kepada semata “Islamnya pesantren” (setidaknya dipersepsi orang luar seperti itu) atau perujukan “teks-teks pesantren” sebagai sasaran paling dituju dari penciptaan diskursus “Islam Nusantara”. Dan akhirnya kita abai atau lebih tepatnya belum mampu melampaui pembacaaan narasi sejarah kolonial sebagai sebentuk usaha “kritik diri” untuk melampaui narasi penciptaan sejarah dan politik pengetahuan dan kebudayaan yang dulu membelah integrasi sosial kita sebagai sebuah bangsa.
Mungkin atas alasan ini pulalah, dari sejak tahun 2010-an, saya yang sebenarnya berlatar pesantren dan menghabiskan belajar dalam institusi tradisional dan kultur ini selama hampir separuh hidup saya itu, terpaksa beralih fokus kepada warisan kaya kesusateraan “suluk”, “serat”, “wirid” dan “Babad”, sembari menautkan dan mengilmui kembali warisan kitab kuning juga kitab beraksara “pegon” dan “jawi”, plus kembali mengakrabi dan membiasakan diri dengan menghadiri pagelaran wayang kulit, ikut meramaikan pementasan “tari Lambangsari”, “salawat Emprak”, mendengarkan ulang Ketoprak “ondo-rante” dan “seh Jangkung”, belajar kembali menembangkan macapat, mengumpulkan naskah-naskah serat, suluk, babad, wirid dari sejak saya lulus dari kuliah, dan secara pelan-pelan bisa mengakrabi huruf-huruf dan bahasanya, hingga menghadiri dan melibatkan diri dalam acara ruwahan, megengan, rasulan, mertibumi, sedekahan, mengikuti perayaan suro-an di Keraton, hingga mengikuti kesenian menonton garebeg keraton, kesenian rodad, jatilan, dan hadrah.
Jika kita semata berfokus semata pada pelacakan “teks-teks pesantren”, maka kita akan kehilangan “arsip kebudayaan” yang merupakan manisfestasi paling nyata dari “ijtihad kebudayaan”-nya para wali maupun tokoh penyebar Islam awal yang seterusnya dilanjutkan oleh raja-raja kesultanan Mataram, Cirebon, Banten, dan kesultanan lain di Nusantara, sebelum badai penjajahan kolonial merusak warisan itu semua hingga terpecah-pecah dan berkeping-keping entah kemana.
Dari rangkaian pengelanaan ke jurusan lain ini, kesadaran saya benar-benar terentak-entak saat seorang pakar legendaris kesusasteraan Jawa tanpa tanding bernama Zoetmulder itu dalam sebuah tulisannya yang jarang dibaca, “ The Wajang as Philosophical Themes”(1971) mengatakan, bahwa Wayang bukan saja ia selaras dengan nilai-nilai moral kebaikan Islam, melainkan Wayang Kulit Purwa itu (yang ceritanya telah digubah secara mendasar oleh para Sunan) hanyalah menyampaikan “kehidupan” ini hanya merupakan “bayangan” (wewayanganing agesang) yang memancar dari alam kegaiban ilahi dari 3 martabat keesaan Tuhan dalam konsep martabat tujuh: Ahadiyyah, wahda, dan wahidiyyah. Atau bahwa dalam 12 jilid karya Centhini (1975)ternyata Seh Amongraga adalah seorang “santri lelana” yang menyesap kitab-kitab tradisi pesantren yang sebagian masih kita kenali, dan bahkan juga seorang penganut ajaran Syattariyyah-Naqsabandiyyah. Atau dalam Wirid Hidayat Jatinya (Wirid Ma’lumat Jati, Sadu-Budi, 1985) Ranggawarsita–seorang santri lulusan pesantren Gebang Tinatar Tegalsarinya Mbah Kiai Kasan Besari itu–adalah usaha eksplisit untuk menggabungkan 8 aliran “keilmuan ruhani” atau “ajaran tarikat” seperti diajarkan 8 wali tanah Jawa sebelumnya, yang ia rangkai dalam skema “martabat tujuh” dengan nama “hidayat jati”, dimana tokoh santri-pujangga ini oleh Nancy K. Florida dikatakan tercatat dalam naskah-naskah serat juga merupakan seorang mursyid Syattariyyah.
Atau kita juga akan tersentak, bahwa dalam ngilmu kasampurnan, yang dijadikan rujukan paling utama keilmuan yang menyurut dan dilabeli sebagai Kejawen itu, seperti dinukil oleh Kitab Primbon Attasadur Ma’na (2009) hanyalah merupakan nama lain dari ilmu ma’rifat dalam tasawuf (Ngilmu Kasampurnan menika namung tetuladan saking ilmu tesawuf), atau bahkan “martabat Tujuh” itu telah berkembang dalam karyanya pujangga “Ranggasasmita (pamannya Ranggawarsita), seperti dikatakan dalam karyanya “Suluk Martabat Sanga”, telah berkembang dalam bentuk “martabat sembilan”. Atau, Sultan Hamengku-Buwana, Sultan Yogyakarta pertama itu telah menerjemahkan konsep tauhid wujud “sangkan paraning dumadi” dalam tata pemerintahan dan rancang-planologi kota seperti tercermin dalam konsep “garis imajiner” yang membelah kota Yogyakarta dari tata-awal perjalanan hidup (suluk) dari panggung krapyak (kelahiran), siti hinggil, hingga tugu golong-gilig (sebagai simbol tegaknya alif kedirian) agar bisa menjadi Khalifatullah (wakil tuhan) dan bisa bertanggung jawab menjadi simpul pemimpin agama (sayyidin panatagama), setelah sebelumnya berperang (senapati ing ngalaga) untuk menaklukkan empat nafsu (sedulur-papat) dalam dirinya hingga mencapai dan mencipta kedaulatan alif dalam dirinya (jumenengan, pancer).
Atau juga untuk memberi contoh terakhir, bagaimana dalam “Sastra Gending” (Radya Agung, 2008) maha-karyanya Sultan Agung itu (seorang yang disebut Centhini sebagai “wali-umran” atau “raja-wali”), Konsep tauhid wujud “martabat tujuh” itu telah berhasil ditubuhkan dan menjadi perincian yang menguatkan prinsip tauhid dalam skema Indah teoritik tembang sebagai pandu bagi para niyaga (penabuh gamelan) dan manusia Jawa yang akan menyempurnakan “estetika-ma’rifat”-nya dalam laku olah karawitan dan laku perbuatan kita secara menyeluruh sebagai kelanjutan dari “sembah meluhurkan asma dzat” (amemuji asmane Dzat).
Cara Pandang Alterntif
Rangkaian contoh temuan pengelanaan di jalur pelacakan sebut saja “arsip kebudayaan” ini sungguh bukan hanya semata untuk kritik diri, atau alih-alih semata-mata menjawab pertanyaan awal di tulisan ini (biarlah menjadi tugas tulisan lain yang lebih menyeluruh terkait wilayah kajian Melayu), melainkan juga sebentuk undangan untuk menyodorkan tawaran pembacaan yang lebih menyeluruh (atau katakanlah lebih luas) dalam rangka meneropong bangun “Islam Nusantara” yang relatif bisa menjangkau kelompok yang lebih luas, baik dari sisi sentimen politis maupun dari sisi kerangka wilayah kajian dan paradigmanya yang telah meluas dan diluaskan.
Mungkin, kita, para santri ini, perlu menengok atau mempertimbangkan cara-pandang yang disodorkan oleh Muhammad Jadul Maula dalam karyanya “Islam Berkebudayaan” (Pustaka Kaliopak, 2019), dimana ia lebih memilih melihat dan meneropong warisan kebudayaan Islam yang ditinggalkan para wali dan dai-sufi kita itu dalam bingkai “berkebudayaan” dimana Islam di zaman lama telah relatif membantu proses berkebudayaan, alias proses berkemanusiaan sebuah bangsa–olah proses cipta karsa rasa fakultas kemanusiaan kita–yang warisan “ijtihad kebudayaan” itu telah diresapi sebagai ke-arif-an budaya (baca: urf, ma’rifat, bukan semata syaria’t) yang tidak hanya bisa dinikmati oleh Muslim saja melainkan telah menjadi “rahmat”, hikmat”, dan “kebijaksanaan” bagi manusia Jawa dan kerakyatan Indonesia secara menyeluruh.
Mungkin, kita, para santri ini, perlu menengok atau mempertimbangan cara-pandang yang disodorkan oleh Muhammad Jadul Maula dalam karyannya “Islam Berkebudayaan” (Pustaka Kaliopak, 2019), dimana ia lebih memilih melihat dan meneropong warisan kebudayaan Islam yang ditinggalkan para wali dan dai-sufi kita itu dalam bingkai “berkebudayaan” dimana Islam di zaman lama telah relatif membantu proses berkebudayaan, alias proses berkemanusiaan sebuah bangsa–olah proses cipta karsa rasa fakultas kemanusiaan kita–yang warisan “ijtihad kebudayaan” itu telah diresapi sebagai ke-arif-an budaya (baca: urf, ma’rifat, bukan semata syaria’t) yang tidak hanya bisa dinikmati oleh Muslim saja melainkan telah menjadi “rahmat”, hikmat”, dan “kebijaksanaan” bagi manusia Jawa dan kerakyatan Indonesia secara menyeluruh. Dan apapun proses penerjemahan Islam yang tak membantu alias menjadi pengganggu tumbuhnya keutuhan potensi ruhani seorang manusia (baca: Insan Kamil)–yang faktanya memang terlahir secara lokal, namun berkualitas universal dalam dimensi (ruhani) kemanusiaannya–harus ditampik dan dilawan (baik pengganggu struktural-sistemik maupun pandangan-ideologi dan nilai). Dan saya kira, para santri ini, menurut saya, merupakan titik hubung yang paling siap dalam menjebatani warisan kebudayaan Islam Indonesia bersambung kembali dengan bangun utuh intregalitas masyarakat dengan seluruh elemen yang membentuk ke-Indonesia-an kita hari ini. Allahu a’lam.
Irfan Afifi
Cepokojajar, 25 Juli 2021
Nb: Minta maaf karena belum melengkapi referensi literature yang akan disusulkan berikutnya.
Sumber:
Advertisement