Islam Nasionalis Bersajadah Indonesia
Menyambut HPN 2019, PWI Jawa Timur menerbitkan buku “Demokrasi; Pers, Politik & Ekonomi,” berisi bunga rampai artikel yang ditulis oleh 21 wartawan senior Jatim. Salah satunya adalah Arif Afandi, inilah tulisannya.
Islam Nasionalis Bersajadah Indonesia
Oleh Arif Afandi
Pergulatan politik Islam di Indonesia pada dasarnya tidak pernah beranjak. Selalu terjadi tarik menarik antara kelompok yang mengedepankan Islam Simbolik dan Islam Subtantif. Antara kelompok yang mengedepankan simbol-simbol Islam dengan kelompok yang menjadikan spirit nilai Islam dalam pengelolaan negara bangsa.
Kasus pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimah syahadat yang diklaim sebagai bendera tauhid di Garut, Jawa Barat, di akhir tahun 2018 adalah contohnya. Membesarnya kasus itu hanyalah puncak buih dari percaturan dua kelompok politik Islam di Indonesia.
Persoalannya adalah mengapa polarisasi seperti itu terjadi dalam sejarah Bangsa Indonesia? Sampai kapan percaturan seperti itu akan tetap berlangsung? Adakah jalan tengah yang mungkin bisa menyatukan kedua arus model perjuangan Islam itu dalam kerangka negara bangsa?
Tulisan ini berusaha menelusuri akar sejarah lahirnya kedua kelompok tersebut. Juga berusaha melihat kemungkinan bertemunya agenda perjuangan dua kelompok tersebut dalam kerangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Islam Nasionalis
Pendudukan Belanda terhadap bumi Nusantara telah melahirkan organisasi pergerakan, termasuk di kalangan ummat Islam. Organisasi Islam pertama hasil respon terhadap kolonialisme dan imperalisme Belanda adalah Syarikat Islam (SI) yang didirikan H Syamanhudi di Solo.
Organisasi ini semula bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Ia berubah menjadi Sarekat Islam (SI) dengan tokohnya HOS Tjokroaminoto. Ia menjadikan Surabaya sebagai pusat pergerakannya sekaligus perlawanan terhadap penguasaan sumberdaya ekonomi oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sebelumnya, perlawanan terhadap penjajahan asing di negeri Nusantara sebetulnya juga telah berlangsung. Misalnya dilakukan Pangeran Diponegoro yang mendapat dukungan para ulama maupun kelompok santri. Perlawanannya berhasil diredam dan berakhir dengan penangkapan Pangeran Diponegoro dengan tipu muslihat.
Pergerakan dalam bentuk organisasi seperti yang diawali SI akhirnya bertumbuh dengan lahirnya Muhammadiyah (1911) di Yogyakarta, Nahdlatul Ulama (1926) di Surabaya. Kedua Ormas Islam ini masing-masing mengembangkan gerakan lewat pendidikan dan pesantren. Muhamadiyah didirikan KH Ahmad Dahlan, sedangkan NU dipimpin KH Hasyim Asy'ari. Keduanya pernah sama-sama belajar di Makkah.
Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia inilah yang mewarnai pergulatan perjuangan Islam Nasionalis sampai lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan pendekatan dan caranya masing-masing, kedua organisasi Islam di Indonesia ini mengembangkan Islam berkebangsaan Indonesia. Islam yang menyatu dengan NKRI.
Di pihak lain, gerakan-gerakan nasionalisme juga terus berkembang. Pada saat menghadapi kolonialisme, perjuangan kedua kelompok yang berbasis Islam maupun nasionalis murni menyatu. Kedua tokoh dari dua kelompok besar ini bahu membahu mewujudkan kemerdekaan republik Indonesia.
Bentuk kolaborasi antara Islam dan nasionalis ini yang paling monumental adalah lahirnya perlawanan rakyat terhadap tentara sekutu yang ingin kembali menguasai Indonesia pada tahun 1945. Perlawanan rakyat itu dikenal dengan peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya. Perlawanan rakyat yang berhasil memukul tentara sekutu yang datang dengan persenjataan modern.
Perlawanan rakyat itu dimulai dengan fatwa para kiai yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Melalui fatwa itu, para santri di Jawa Timur bergerak untuk berjihad melawan tentara sekutu. Mereka bergabung dengan arek-arek Surabaya. Seorang tokoh nasionalis Bung Tomo menggelorakan perlawanan itu melalui radio dengan takbir.
Perlawanan rakyat di Surabaya berakhir dengan matinya Jenderal Malabi dan mundurnya tentara sekutu dari Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya. Menurut sebuah sumber, KH Hasyim Asy'ari sampai sakit begitu mengetahui korban santri yang begitu banyak dalam pertempuran yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan tersebut.
Singkatnya, Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan perjuangan dalam mewujudkan NKRI. Menurut KH Said Aqil Siradj, ini terjadi karena para ulama di Nusantara adalah ulama yang nasionalis. Ulama yang menyatukan antara ke-Islam-an dengan nasionalisme. Ini pula yang membedakan ulama Indonesia dengan para ulama di Timur Tengah yang melulu mengembangkan wawasan ke-Islam-an.
Sajadah Indonesia
Sejarah perjuangan kemerdekaan dengan peran besar ulama dan ummat Islam telah membentuk cara pandang mereka tentang negara-bangsa. Mereka melihat tanah air Indonesia sebagai sajadah tempat mereka menjalankan praktik keagamaan. Karena itulah, mereka berkepentingan dengan keutuhan dan ketentraman bangsa.
Namun pergulatan tentang dasar negara yang mereka perjuangkan sempat terjadi. Pergulatan itu berlangsung antara kaum nasionalis dan Islamis. Puncaknya dengan munculnya rumusan dasar negara sebagaimana disebut dalam Piagam Jakarta. Dalam piagam itu disebutkan bahwa salah satu dasar negara adalah Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.
Melalui proses politik, akhirnya diambil konsensus dengan menghilangkan kata spesifik tentang syariat Islam. Di satu pihak, penghilangan kata itu dianggap sebagai hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa Indonesia yang majemuk. Di pihak lain dimaknai sebagai jalan tengah untuk menghindari kebuntuan dalam ketatanegaraan.
Namun, bukan berarti paham tentang perlunya mengedepankan ke-Islam-an atas ke-Indonesia-an berakhir. Pergulatan itu berlangsung terus. Bentuk dan intensitas pergulatannya yang berbeda. Di zaman pemerintahan Bung Karno sempat muncul gerakan DI/TII yang dipimpin Kartosuwiryo. Gerakan ini adalah bagian dari ekspresi pergulatan di atas.
Di zaman pemerintahan Soeharto pergulatan itu mewujud dalam pertarungan antara mereka yang pro azas tunggal Pancasila dengan yang menolaknya. Ekspresi formalisme Islam tidak leluasa mengemuka karena otoritarianisme Soeharto. Ia mampu mengendalikan ekspresi ke-Islam-an melalui kooptasi. Kooptasi mencapai puncaknya lewat pembentukan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) di sepertiga akhir kekuasaan Soeharto.
Reformasi politik tahun 1998 memberi ruang makin luas terhadap ekspresi politik, baik yang bersifat keagamaan maupun bukan. Jumlah partai yang tadinya terbatas tumbuh bak cendawan di musim hujan. Sejumlah partai baru berbasis Islam bermunculan. Dari yang moderat sampai dengan yang membawa kepentingan formalisme Islam dalam kehidupan negara-bangsa. Pergulatan menjadi terlembaga melalui partai politik dan parlemen.
Namun, dalam perjalanan reformasi politik juga tumbuh gerakan Islam yang memperjuangkan khilafah. Ekspresi gerakan ke-Islam-an baru yang bersifat internasional. Mereka membawa agenda kepemimpinan Islam yang transnasional dengan khilafah sebagai "obat manjur" yang dianggap bisa menyelesaikan segala persoalan yang ada.
Gerakan ini sempat mendapat ruang gerak lebih longgar di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Gerakan ini beririsan dengan kelompok perjuangan politik formal di parlemen seperti PKS dan arus Indonesia Bersyariah yang disuarakan bersamaan dengan lahirnya para penyeru pemurnian Islam dan formalisme Islam. Ekspresi itu mencapai puncaknya dalam gerakan 212, sebuah pengerahan massa Islam dipicu tampilnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur non muslim pertama di DKI.
Menggeliatnya ekspresi kelompok Islam khilafah dan kelompok Indonesia bersyariah jelas mencemaskan kelompok Islam berkebangsaan yang memang ikut memperjuangkan terwujudnya NKRI. Mereka makin mengkristal berhadapan dengan ekspresi baru gerakan Islam yang dinilai bisa mengancam keberlangsungan negara-bangsa Indonesia yang telah diperjuangkan oleh para pemimpin pendahulu mereka.
Sejarah keterlibatan para pendiri dan pemimpin ormas Islam konvensional (NU dan Muhammadiyah) tak memungkinkan agenda perjuangan mereka beririsan dengan agenda perjuangan kelompok baru Islam tersebut. Sebab, bagi mereka, NKRI adalah sajadah yang telah digelar sejak sebelum negara ini merdeka. Merekalan yang ikut menenun, merajut, dan memberi mosaik sajadah itu hingga sekarang.
Sepanjang agenda gerakan Islam baru membawa agenda perubahan sistem ketatanegaraan dan mengganggu mosaik yang ditorehkan dalam sajadahnya, maka kelompok Islam konvensional akan selalu melakukan perlawanan. Mereka akan memilih tegak di sisi Islam berkeindonesiaan, ketimbang agenda perjuangan Islam yang ditawarkan mereka.
Pergulatan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia akan membuat mayoritas kelompok Islam berkebangsaan ini memilih mempertahankan dan merajut kembali sajadah yang telah digelar ketimbang menggati sajadah baru yang ahistoris bagi Indonesia. Sebuah sajadah warna-warni tempat hidup juga berbagai suku bangsa di negeri ini.
*) Arif Afandi adalah mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos, Wakil Walikota Surabaya (2005-2010), kini CEO/Founder Ngopibareng.id.