Islam Moderat, Memperebutkan Makna Tanpa Kekerasan
Kondisi umat Islam dalam beberapa tahun belakangan, menunjukkan dinamika yang tinggi. Tarik menarik pendapat, menjadi ketegangan tersendiri. Dipicu pendapat yang berkembang di media sosial, dan berita bohong yang dicipta memperkeruh keadaan.
KH Husein Muhammad, ulama aktivis sosial yang sahabat Gus Dur, memberi pandangan betapa pentingnya umat Islam, khususnya para cendekiawan Muslim, untuk bersikap moderat. Berikut ulasannya:
Perdebatan di sekitar pemahaman atau pemaknaan atas teks atau suatu obyek merupakan perdebatan yang sangat klasik. Ia muncul sejak manusia mulai berfikir dan berkebudayaan. Ia berlangsung bukan hanya dalam masyarakat muslim, tetapi juga di dalam semua penganut agama-agama.
Dalam masyarakat Muslim, perdebatan itu telah melahirkan sekte-sekte, aliran-aliran pemikiran keagamaan bahkan ideologi-ideologi, dalam berbagai dimensinya. Pada dimensi fiqh, dikenal dua aliran besar, ahl al-hadîts dan ahl al-ra’y.
Aliran pertama pemahaman atas teks cenderung lebih tekstualis (harfiah) dan mempercayai sumber berita. Sementara yang kedua lebih rasional dan lebih melihat kandungan (isi) berita. Banyak orang menyebut yang pertama sebagai aliran tradisionalis, dan yang kedua, aliran rasionalis.
Ada pertanyaan-pertanyaan yang selalu disampaikan orang: Apakah teks harus diterima menurut arti lahirnya ataukah bisa di-ta’wîl (tafsîr)? Apakah hukum-hukum yang terdapat dalam teks bisa ditanyakan “mengapa’? atau tidak (hal al-ahkâm mu’allalah bi ‘illah am lâ)?
Apakah akal bisa bertentangan dengan wahyu? Bagaimana jika bunyi teks (literal/harfiyah) berlawanan dengan logika-rasional atau dengan realitas, mana yang harus diprioritaskan? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu saja dijawab dengan pandangan yang beragam dengan argumentasinya masing-masing.
Tak ada perbedaan dalam Tujuan
Sesungguhnya kedua aliran tersebut tidak jauh berbeda dalam semangat dan tujuannya. Semuanya sepakat bahwa hukum-hukum Islam adalah untuk mewujudkan keadilan dan menegakkan kemaslahatan (kebaikan sosial) manusia.
Cita-cita ini bukan hanya khas Islam melainkan tuntutan umat manusia di seluruh dunia dalam segala zaman. Kita menemukan paradigma ini pada semua ahli fiqh Islam. Menegaskan pandangan gurunya, Imâm al-Haramain al-Juwainî, Imâm al-Ghazâlî dalam al-Mustashfâ’, misalnya, mengemukakan bahwa kemaslahatan (kebaikan sosial) sebagai tujuan syari’ah.
Pandangan dan pendirian mereka yang beragam tersebut sesungguhnya merupakan akibat dari perbedaan pemahaman atau pemaknaan mereka atas teks-teks Al-Qur’ân maupun Hadits Nabi Saw.
Perbedaan ini terjadi karena tingkat pengetahuan yang berbeda maupun karena pengalaman atau kepentingan yang juga berbeda-beda. Ruang dan waktu yang berbeda juga menjadi faktor perbedaan tersebut. Tidak seorang muslimpun yang ingin menafikan Al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw. Sebab menafikan keduanya mengakibatkan ia kehilangan identitasnya sebagai muslim.
Terkait dengan hal ini, Prof. Quraish Shihab, pernah mengutip pernyataan Dr. Husein al-Dzahabî mantan Menteri Waqaf Mesir dan Guru Besar Universitas al-Azhar yang mengatakan:
“Kebenaran Agama adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaaan cara keberagaman umat manusia."
Prof. Quraish kemudian menegaskan : “Jika ini dapat dipahami niscaya tidak akan timbul kelompok-kelompok yang saling mengkafirkan...” (Agama dan Pluralitas Bangsa, P3M, 1991, hlm. 40).
Fârûq Abû Zaid dalam bukunya “Al-Syarî’ah al-Islâmiyah baina al-Muhâfizhîn wa al-Mujaddidîn” (Syari’ah Islam antara tradisionalis dan modern) mengatakan :
اَنَّ مَذَاهِبَ الفِقْهِ الِاسْلَامِى لَيْسَتْ سِوَى اِنْعِكَاس لِتَطَوُّر الحَياة الِاجْتِمَاعِيّة فى العَالَم الِاسْلامى
“mazhab-mazhab (aliran-aliran) keagamaan sejatinya adalah refleksi sosio-kultural mereka masing-masing”.(hlm. 16)
Bagaimana para pendiri mazhab (Aimmah al-Madzahib) menyikapi pandangan orang lain yang berbeda dengan dirinya?. Sejarah mencatat bahwa mereka adalah orang-orang yang paling toleran terhadap pandangan orang lain, paling rendah hati dan saling menghargai. Imam Abu Hanifah misalnya dengan rendah hati mengatakan :
هذا رأيى فمن جاءنى بخير منه قبلناه"
“Inilah yang terbaik yang bisa aku temukan dari eksplorasi intelektual maksimalku atas kitab Allah dan sunnah Nabi. Jika ada hasil temuan intelektual lain yang lebih baik, aku akan menghargainya”.
Begitu juga para Imam yang lain, menyampaikan hal yang senada. Mereka selalu mengingat sabda Nabi :
اِذَا اجْتَهَدَ الحَاكِمُ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاِنِ اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“Jika seseorang berijtihad dan ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala, dan jika salah mendapat satu pahala”.
Perbedaan pemaknaan atas teks keagamaan atau bahkan teks-teks yang lain pada akhirnya perlu dicari jalan keluarnya melalui mekanisme yang paling baik dan sejalan dengan perintah Al-Qur’ân, yakni dialog, ‘musyawarah’, dan cara-cara lain yang demokratis, tanpa ledakan emosional, mencari titik temu untuk kebaikan bersama, mencari kebenaran. Bukan mencari-cari pembenaran diri, atau bukan dengan mengklaim pendapatnyalah yang paling benar sendiri sambil mencaci pendapat yang lain. Apalagi dengan menggunakan kekerasan, termasuk membunuh karakter seseorang atau kelompok.
Tak ada yang paling dirugikan dan paling disengsarakan dari perseteruan, kesombongan diri dan tindakan kekerasan ini, kecuali warga dan bangsa muslim sendiri. Sebaliknya tak ada sikap dan cara yang paling memajukan, menyejahterakan dan membahagiakan masyarakat muslim, kecuali kebersamaan, saling menghargai dan rendah hati di antara mereka, sebagaimana diajarkan Tuhan dan Nabi serta para ulama generasi awal. Semoga.
07.06.2020
HM