Islam itu Ideologi atau Agama? Gus Yahya Staquf Ajak Petakan Problem Umat
KH Yahya Cholil Staquf, Katib Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mengajukan sejumlah pertanyaan yang mencengangkan. “Apakah Islam itu ideologi politik atau agama? Islam sekuler boleh atau tidak? Jika Islam mengharamkan pluralisme berarti Islam itu ideologi politik. Apakah agama Islam itu agama kasih sayang atau agama ideologi penjajah?”
Demikian Gus Yahya, panggilan akrab Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang ini, mengajak umat Islam untuk menjawab problem yang dihadapi kini.
“Wajibkah seorang Muslim menerima NKRI? Jika wajib berarti wajib melaksanakan semua tata hukum Indonesia. Karena NKRI sah berarti tata hukumnya harus ditaati. Kalau ada orang berkumpul melaksanakan maksiat, bolehkah kita menghancurkan tempat itu, atas dasar amar ma'ruf nahi mungkar? Kalau boleh berarti kita menolak NKRI”.
Masalahnya, menurut Gus Yahya, “dalam 20 tahun terakhir para ulama tidak jujur dalam menjawab masalah-masalah ini.”
Lontaran yang disampaikan Gus Yahya itu, sempat mengejutkan peserta seminar Nasional "Menangkal ideologi khilafah dan kelompok radikal di Indonesia" , digelar Kamis, 5 April 2018, di gedung Pasca sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya. Selain Gus Yahya, juga tampil pembicara Irjenpol (Purn) Drs. Ansyaad Mbai (mantan Ketua BNPT), dan Dr Ainur Rofiq Al-Amin, Dosen UINSA.
Pada bagian lain, Gus Yahya menyinggung soal Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI ), yang baginya bukan masalah baru. “Kita punya pengalaman dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) Kartosuwirjo, kedua organisasi ini mempunyai kesamaan ideologi,” tegasnya.
Diingatkan Gus Yahya, umat Islam harus diberi jawaban yang jelas oleh para ulama terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
Bahwa penerimaan NKRI tidak diketemukan pengambilan maraji’ ( dasar kitabnya) darimana?. KH Wahab Hasbullah pada 1950-an mengajak para ulama untuk keluar dari Masyumi. Faktanya benar, jika NU tetap dalam Masyumi bisa dibayangkan perjuangan NU akan menjadi perjuangan dalam bentuk radikal.
Penerimaan NKRI oleh para kiai pesantren merupakan ijtihad dengan menolak bentuk negara Islam. Pandangan para ulama, bahwa orang Islam setara dengan orang Yahudi, Kristen dan Budha , merupakan ijtihad jumhurul ulama. Makanya soal NKRI tidak bakal ditemukan pada kitab kuning.
Mengapa negara-negara Arab tidak bisa menyelesaikan masalah kenegaraan setelah runtuhnya kekhalifahan Turki?. Karena mereka tidak bisa menjawab antara agama dengan realitas sosial. “Kalau ulama tidak mau jujur, maka Arab akan hancur, tidak lama lagi peradaban Arab akan luntur,” tegas Gus Yahya.
Dikatakannya, ulama Indonesia berani menghadapi realitas politik dan sosial dengan menyatakan menerima NKRI. Karena ukhuwah Islamiyah tidak akan terwujud jika tidak ada Ukhuwah wathoniah. NU dan Muhammadiyah tidak mungkin rukun jika tidak ada ukhuwah wathoniah. Dunia Arab kalau mau damai, harus belajar ke Indonesia kepada para Kiai NU. Sebab tempat-tempat ngaji di Arab akan pada hilang karena negeri mereka tidak aman dan damai.
Gus Yahya menegaskan, pada beberapa bulan yang lalu menjelang HTI dibubarkan mereka akan melakukan longmarch ribuan orang dari Blitar ke Tulungagung. Polisi tidak berani bertindak karena terhalang oleh Undang-undang. Kiai NU bersikap dengan memerintahkan Banser untuk mengagalkan rencana tersebut.
“Sikap NU itu salah secara hukum. Tetapi untuk kemaslahatan umat, hal itu dilakukan. Inilah contoh ijtihad otoritatif agama. Islam harus berani berubah menghadapi realitas politik dan sosial contohnya umat islam menerima pancasila. Ini semata-mata ijtihad para Kiai NU. Kata Gus Dur, politik itu bergantung pada dua hal yaitu fakta dan kekuatan,” tutur Gus Yahya.
Dalam seminar ini diakhiri dengan pernyataan ikrar Tolak Radikalisme oleh PMII Jawa Timur. (adi)
Advertisement