Irfani dalam Berorganisasi, Ini Konsep Pengabdian Muhammadiyah
Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir mengingatkan pentignnya memupuk ukhuwah yang otentik, yang lahir dari jiwa Islami yang tulus dan bukan verbal.
"Ukhuwah itu mudah dikatakan tetapi susah dipraktikkan, terutama saat ada masalah dan perbedaan," tuturnya.
Menurutnya, membangun rasa bersaudara dalam Persyarikatan menuntut pengorbanan untuk saling memahami, peduli, dan berbagi. Allah mengingatkan kaum beriman, yang artinya:
"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." (Qs Al-Hujarat: 10).
Sikap keras hati dan merasa benar sendiri sering menjadi ganjalan dalam berukhuwah di organisasi.
Haedar Nashir menegaskan, berorganisasi juga menuntut komitmen menyatukan diri dalam nilai-nilai dasar yang dipedomani bersama. Dalam berorganisasi harus senantiasa memedomani Prinsip, Kepribadian, dan Khittah Muhammadiyah, serta Pedoman Hidup Islami dengan komitmen kolektif yang tinggi. Bukan atas kehendak, pikiran, dan ukuran pribadi.
Bacalah, hayati, dan aplikasikan pemikiran-pemikiran resmi dalam Muhammadiyah agar menjadi pedoman dan acuan berorganisasi. Komitmen itu muaranya di jantung hati dalam wujud kesetiaan. Setia membela organisasi di kala suka dan duka dengan rasa cinta dan bangga.
Jiwa Irfani
Berorganisasi itu memerlukan pola perilaku utama, yang dalam rujukan Islam disebut akhlak. Akhlak merupakan pola perilaku luhur dan terpuji. Muara akhlak mulia ialah jiwa yang fitri berpedoman Kitab Suci dan Sunnah Nabi yang mengkristal dalam keluhuran jiwa irfani. Jiwa yang bersih yang bersumber taqwa yang senantiasa disucikan, bukan jiwa yang kotor bersumber fuzara yang membawa kerugian (QS Asy- Syams: 7-10).
Sungguh penting memupuk akhlak irfani dalam berorganisasi, selain dalam kehidupan pribadi dan berinteraksi dengan sesama dan lingkungan. Jadikan patokan berorganisasi sebagai pola laku utama secara kolektif dalam berbuat kebaikan yang melintasi. Buktikan keleladanan dengan perilaku nyata, bukan dengan kata-kata. Berkata baik, lembut, teduh, damai, dan patut lambang keutamaan akhlak irfani.
Sikap garang, kasar, dan panas pantulan jiwa fuzara yang mereduksi jiwa irfani. Jika kita terluka hati dan rasa oleh tindakan orang lain maka jangan lakukan hal sama kepada sesama. Suara kebenaran pun musti ditempuh dengan cara benar. Jangan berkata, bersikap, dan bertindak sekehendaknya sebab diri kita adalah cermin organisasi dan keislaman kita di rumah besar Persyarikatan Muhammadiyah.
Akhlak irfani menyangkut kebajikan dan kepatutan yang luhur dan melintasi, yang memancarkan energi positif yang berkarakter islah. Menegakkan kebenaran dalam spirit amar ma'ruf nahi munkar pun perlu akhlak irfani agar tetap ihsan dan menebar rahmat kebaikan.
Di dalamnya ada dimensi hati dan rasa. Nabi Musa dan Harun yang pemberani pun diajarkan untuk berlemah-lembut. “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut” (QS Thaha: 43-44).
Menyikapi masalah tidak cukup bayani dan burhani semata, penting pula secara irfani agar ada sentuhan kalbu yang menjadi kanopi teduh dan adiluhung. Jangan angkuh diri merasa diri paling suci, sebagaimana Allah mengingatkan dalam firman-Nya, yang artinya “Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm: 32).
Setiap insan memiliki kekurangan dan kealfaan, selain kelebihan dan kebaikan. Berwasiat selain dengan kebenaran juga dengan kesbaran dan kasih sayang. Manusia siapapun dia memiliki aspek rasa dan hati, karena manusia bukan benda mati. Sebarkan dan wujudkan kebenaran dengan nalar bayani, burhani, dan irfani yang melintasi berwawasan rahmatan lil-'alamin.’