Iran, Kekuatan Regional yang Bangkit Kembali
Ketika era Perang Dingin antara Blok Barat (AS dan NATO) melawan USSR (the Union of Soviet Socialist Republics), Pakta Warsawa, Iran di bawah Raja Reza Pahlevi merupakan salah satu kekuatan regional pro-AS dan Barat yang terkenal dengan sebutan “the Policy of the Persian Gulf" - Penjaga keamanan regional Teluk Persia. Saingan Iran sebagai kekuatan regional kawasan Timur Tengah pada waktu itu adalah Mesir yang pro-USSR.
Perimbangan kekuatan regional berubah, ketika Ayatollah Ruhollah Khomeini merebut kekuasan dari Shah Reza Pahlevi melalui revolusi Shiah. Segera setelah berkuasa, Khomenei mendirikan rezim Shiah Iran dengan kebijakan ekspor Revolusi Shiah ke negara negara berpenduduk Muslim. Di samping itu, Khomeini menganggap USSR - Rusia dan Amerika Serikat, keduanya sebagai lawan utama.
Dilihat dari kapasitas intelektual, teknologi dan potensi ekonomi, Iran lebih unggul dibanding negara tetangganya. Di samping itu, Iran juga merupakan penghasil minyak ke-2 terbesar di Timur Tengah setelah Arab Saudi. Ekspor revolusi dirasakan bukan hanya oleh negara negara Islam di kawasan Timur Tengah, tetapi juga negara negara berpenduduk Muslim lainnya.
Oleh karena itu, sejauh ini sebagian besar negara Arab mengambil jarak hubungan dengan Iran dan sebagai konsekuensinya negara Islam yang potensial tersebut berada di luar proses perdamaian Timur Tengah. Misalnya Iran tidak dilibatkan dalam proses Perjanjian Camp David 1989 (Perdamaian Mesir - Israel) dan Perjanjian Oslo Satu pada 1993 dan Oslo Dua pada 1995 tentang persetujuan pembentukan Pemerintahan Sementara Palestina era Yasser Arafat.
Tindak Lanjut dari Perjanjian Oslo
Sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Oslo tersebut terbentuklah “Pemerintahan Sementara Palestina”: di Tepi Barat Sungai Yordan dan Jalur Gaza. Front Pembebasan Al Fatah dipimpin Yasser Arafat (almarhum) dengan wakilnya Mohammad Abbas menguasai Tepi Barat Sungai Yordan dan Ismail Haniya (Hamas) menguasai Gaza. Perundingan Palestina - Israel tahap kedua pada 2005 gagal karena Hamas yang berada dalam pengaruh Iran memboikot perundingan.
Pemboikotan perundingan oleh Hamas tersebut, merupakan taktik Iran agar diperhitungkan dalam percaturan politik regional Timur Tengah. Baik dalam perjanjian Camp David maupun perjanjian Oslo, Iran sama sekali diabaikan. Oleh karena itu, pada era sebelum Arab Spring, Iran membangun kerja sama erat dengan negara Arab lain yang berseberangan dengan Arab Saudi dan Mesir yang seperti Libya, Aljazair dan Syria (Arab Garis Keras).
Bahkan Iran juga menjalin hubungan khusus dengan Syria yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden Hafiz Assad, ketua partai Baath (sosialis Arab) dan pengikut Shiah Alawiyah. Seperti halnya Iran, Syria juga tidak dilibatkan dalam perjanjian Camp David yang disponsori oleh AS, padahal Dataran Tinggi Golan merupakan wilayah milik Syria yang sampai saat ini masih berada dalam pendudukan Israel.
Oleh karena itu, Iran memanfaatkan konflik internal Libanon bahu membahu bekerja sama dengan Syria. Dalam hal ini Iran membentuk milisi Hizbullah guna membantu keterlibatan Syria di Libanon dan bertujuan untuk mencegah campur tangan Israel yang mencoba mencampuri konflik internal Libanon dengan mendekati milisi Kristen Falangis. Melalui kerja sama dengan Syria tersebut, Iran berhasil mengantarkan Hizbullah sebagai milisi militer dan sekaligus partai politik yang terkuat di Libanon. Israel menganggap Hizbullah itu sebagai ancaman ancaman dari utara.
Di samping Hizbullah, Iran juga membentuk milisi militer yang kuat di Gaza yaitu Hamas dan bahkan juga milisi Houthi di Yaman. Dengan demikian, Iran menjadi ancaman bagi Israel dari utara (Libanon): dari barat Hamas dan dari selatan Houthi. Dengan demikian secara de facto, Iran sudah merupakan “kekuatan politik dan militer“ regional, meskipun belum mendapat pengakuan politis dari negara lain.
Serangan drone dan rudal Iran terhadap Israel merupakan unjuk kekuatan militer Iran, guna membuktikan sebagai kekuatan regional Timur Tengah yang tidak bisa disepelekan lagi. Serangan yang merupakan balas dendam atas serbuan terhadap dua jenderal Iran yang sedang berkunjung ke Kedutaan Besar Iran di Damaskus tersebut merupakan serangan langsung pertama Iran terhadap Israel.
Sikap Iran selanjutnya akan tergantung atas fleksibilitas sikap negara negara Arab terhadap Iran dan juga sikap Israel khususnya status wilayah Syria di Golan.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Advertisement