Ipuk Anas, Ketika Istri Terbawa Prestasi Suami
SUDAH sejak seminggu lalu saya ingin menulis ini. Tapi saya tunda terus. Saya ingin tahu dulu reaksi masyarakat. Siapa tahu ada penolakan yang luas dari masyarakat Banyuwangi. Atau penolakan berat di rakyat medsos.
Ternyata tidak ada penilaian yang sangat negatif. Padahal yang maju menjadi calon bupati Banyuwangi ini adalah istri Azwar Anas: Bupati Banyuwangi dua periode sekarang ini.
Ini agak aneh: mengapa ya pencalonan istri itu tidak dipersoalkan?
Mengapa pencalonan wali kota Solo begitu heboh? Yakni ketika yang muncul adalah anak Presiden Jokowi?
Mungkin karena di Solo PDI-Perjuangan sudah telanjur punya calon. Pun sudah diproses sangat jauh. Akhirnya kemunculan anak Jokowi itu terkesan memotong proses internal partai penguasa itu.
Sedang di Banyuwangi, istri bupati Azwar Anas tidak pernah terlihat mencalonkan diri. Tidak pernah pasang foto atau baliho di jalan-jalan. Bahkan ketika PDI-Perjuangan dan Nasdem membuka pendaftaran calon bupati sang istri tidak terlihat mendaftar.
Dua partai itulah yang melakukan survei. Atau memanfaatkan hasil survei. Merekalah yang mencari nama yang potensial terpilih menjadi pengganti Azwar Anas.
Dari tiga lembaga survei yang ada semua menunjukkan hasil yang sama: istri Azwar Anas menduduki peringkat teratas. Peringkat keduanya pun tidak sampai separoh perolehan sang istri. Apalagi yang peringkat tiga.
Hasil survei di bulan-bulan berikutnya menunjukkan angka yang konsisten. Bahkan naik terus. Di akhir Desember lalu tingkat elektabilitasnyi sudah 32 persen. Enam bulan kemudian menjadi 52 persen. Peringkat keduanya hanya 18 persen. Lalu konstan di angka itu. Sedang peringkat ketiganya memang ikut naik tapi dari 2 persen ke 7 persen.
Maka ketua Partai Nasdem ke Banyuwangi. Menemui istri bupati. Mencalonkannyi. Pun PDI-Perjuangan. Ikut mencalonkannyi. PDI-Perjuangan justru tidak memberikan rekomendasi kepada wakil bupati sekarang ini. Padahal wabup itu mantan ketua DPC PDI-Perjuangan Banyuwangi.
Aneh. Tidak ada yang ribut di Banyuwangi.
Tidak ada yang mengecam sebagai politik dinasti.
Beda dengan di Solo. Atau di Kediri.
Istri meneruskan jabatan suami seperti itu pernah terjadi di Probolinggo. Pernah juga terjadi di Kediri. Bahkan yang di Kediri itu dua istri bupati sama-sama maju sebagai calon. Akhirnya istri tua yang menang.
Di Probolinggo, sang suami menjabat dua periode. Kini, istrinya sedang menjabat di periode kedua. Pun di Kediri. Sang istri tua juga lagi menjabat di periode kedua.
Mungkin Banyuwangi beda.
Prestasi Azwar Anas sendiri memang luar biasa. Praktis Anas telah membalik Banyuwangi. Dari zero ke hero. Dari melati ke bintang.
Saya menilai Anas adalah salah satu dari sedikit teknokrat daerah. Apalagi yang datang dari kalangan NU, pun dari Partai seperti PDI-Perjuangan.
Orang seperti saya, sebenarnya, sangat ingin Anas bisa menjadi wali kota Surabaya berikutnya. Sebagai pengganti Tri Rismaharini yang hebat itu. Tapi peraturan tidak membolehkannya.
Saya melihat istri Anas juga bukan wanita biasa. Saya sering memanggilnya mbak Fatayat –bukan ibu Muslimat. Itu karena dia terlihat jauh lebih muda dari umurnya. Juga penampilannya terlihat masih seperti Fatayat –pemudi NU– bukannya Muslimat, ibu-ibu NU.
Keduanya, suami-istri ini, tumbuh dari tradisi NU. Dari organisasi NU. Besar sebagai sama-sama aktivis NU. Hanya partainya NU –PKB– tidak mencalonkannya.
PKB punya calon sendiri. Waktu itu. Pun sekarang ini. PKB kelihatannya akan mengusung tokoh muda NU dari pesantren terbesar di sana: Blokagung.
Istri Anas sendiri kelahiran Magelang. Dia lulusan IKIP Jakarta jurusan teknologi pendidikan. Belum lama ini dia menyelesaikan S-2 di Universitas yang sama: Universitas Negeri Jakarta. Di disiplin ilmu yang sama.
Dia juga pernah mendalami ilmu pelayanan umum di Korsel, Amerika, dan Eropa.
Meski begitu tidak bisa dipungkiri bahwa sang istri jelas terbawa prestasi suami. Sampai, kelak, dia bisa membuktikan prestasinya sendiri.
Namanyi: Ipuk Fiestiandani. (*)
Advertisement