Intelijen dan Krisis Moneter Asia 1998
Tidak banyak yang mengetahui bahwa krisis moneter yang terjadi di kawasan Asia pada akhir 1997 - awal 1998, merupakan bagian dari perang dagang Amerika Serikat vs Jepang. Kebetulan pada oktober 1997, sebagai perwira menengah saya diikutsertakan dalam exchange of intelligences (CIRO) di Tokyo antara Jepang - Indonesia, sehingga secara langsung mendengarnya. Suatu pengalaman yang luar biasa dan menjadi pelajaran yang sangat penting bagi saya pribadi.
Indonesia memberikan briefing tentang perkembangan terorisme internasional (Bakin dianggap ahli), sedangkan Jepang (tuan rumah) memberikan briefing tentang perkiraan krisis moneter dikawasan Asia Pasifik. Ketika itu Jepang dianggap sebagai Macan Ekonomi Asia dan sekaligus saingan berat Amerika Serikat.
Delegasi Indonesia memperoleh intellijens yang sangat berharga, sebaliknya Jepang juga memberi apresiasi atas info tentang rencana operasi teroris internasional yang merencanakan pembajakan dan peledakan pesawat terbang ke wilayah Jepang. Dalam tulisan ini hanya akan diceritakan informasi (intelijen): yang disampaikan oleh delegasi Jepang kepada indonesia.
Selama 7 Tahun
Pihak tuan rumah menyampaikan bahwa sejak 1991 hingga Oktoer 1997 terjadi perang ekonomi atau perang dagang AS - Jepang. Selama tujuh tahun tersebut Jepang berada dalam posisi defensif namun mampu menjaga pertumbuhan ekonominya walaupun dalam tiga bulan terakhir hanya tumbuh 0,1%.
Lebih jauh pihak Jepang memprediksi bahwa akhir tahun 1997 -- awal 1998 situasi akan memburuk. AS mengubah strategi dengan memperluas perang ekonomi ke seluruh wilayah Asia Timur termasuk Asia Tenggara. Strategi AS itulah yang kemudian menimbulkan krisis moneter Asia termasuk Indonesia yang berdampak jatuhnya Orde Baru.
Elemen utama dari strategi Perang Ekonomi AS itu adalah dengan cara melemahkan mata uang negara negara sekitar (pheriphery) Jepang yang merupakan patner dagang utama Jepang. Para milyarder AS terkenal misalnya George Soros mempunyai peranan penting sebab merekalah yang mengendalikan nilai US $ terhadap mata uang negara lain. Para milyarder itulah yang mengendalikan bank bank besar diseluruh Asia Pasifik.
Penilaian dan perkiraan Intelijen Jepang tersebut sangat akurat. Sebulan kemudian nilai rupiah mulai menurun dan semakin turun tajam pada triwulan pertama pada 1998. Puncaknya pada awal Mei 1998 yang menimbulkan aksi unjuk rasa besar yang disusul terjadinya tindak kekerasan. Strategi AS yang didukung oleh konglomerat AS/Barat tersebut tidak bisa dibendung. Mata uang seluruh negara ASEAN, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, India dan lain-lainnya hancur berantakan.
Dengan hancurnya mata uang regional, maka perdagangan Jepang dengan patner dagang utama menurun drastis. Dan akibat dari perang dagang tersebut terjadi kemelut politik secara regional. Hal itu merupakan pelajaran perlunya terpeliharanya hubungan ekonomi antarnegara yang adil dan menghindari persaingan ekonomi tidak sehat khususnya perang dagang misalnya perang dagang AS dengan RRC sekarang ini.
Bagi dunia “telik sandi", betapa arti pentingnya hubungan intelijen dengan negara negara sahabat. Kemelut atau kekisruhan politik dan keamanan suatu negara bukan hanya berpangkal pada perkembangan dalam negeri saja. Tetapi juga dipengaruhi oleh perkembangan atau kemelut diluar negeri misalnya perang Rusia - Ukraina dan perang dagang AS - RRC.
DR KH As'ad Said Ali
Mantan Wakil Kepala BIN, Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027. Tinggal di Jakarta.
Advertisement