Gus Baha: Insyafkan Radikalis dengan Kekuatan Logika
KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), sangat kuat dalam logika dan mengurai makna-makna tersirat dari teks-teks agama yang beliau baca. Setelah itu, dengan bahasa sederhana, Gus Baha menjelaskan ke khalayak umum. Dan, karena penjelasan yang dipakai sangat sederhana, maka khalayak (santri) pun mudah memahaminya. Salah satu penjelasan yang menarik dari Gus Baha menurut catatan saya adalah soal radikalisme. Gus Baha melakukan kontra radikalisme dengan logika logis dan mudah dipahami.
Diceritakan, suatu ketika terjadi dialog antara kaum radikalis dengan seorang ulama. Singkat cerita, si radikal mengatakan bahwa demi menghentikan kemaksiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang, si radikal akan melakukan pembunuhan. Dia menyakini, pembunuhan itu adalah jalan jihad baginya demi menegakkan syariat Islam. Pembunuhan adalah jalan membela agama Allah SWT.
Menanggapi pernyataan si radikal tadi, sang ulama mengajukan pertanyaan, “menurut pendapat Anda (si radikal), Nabi Muhammad SAW lebih senang umatnya mati dalam kondisi melakukan kemaksiatan, su’ul hotimah dan kemudian masuk neraka, atau mati dalam keadaan melakukan kebaikan, husnul hotimah dan kemudian masuk syurga?” Mendapat pertanyaan itu, si radikal spontan langsung menjawab, “Pasti Nabi Muhammad SAW, akan lebih senang bila umatnya mati dalam keadaan melakukan kebaikan, husnul hotimah dan kemudian masuk syurga.”
“Lalu, Anda lebih senang Nabi Muhammad bahagia atau sedih?” tanya sang ulama.
“Ya jelas, saya ingin Nabi Muhammad bahagia. Apa yang saya lakukan saat ini adalah untuk membela dan membahagiakan Nabi Muhammad,” jawab si radikal.
Mendapat jawaban seperti itu, si ulama lalu menguraikan, jika si radikal tadi melakukan pembunuhan kepada orang yang dianggapnya sedang melakukan kemaksiatan, maka orang itu akan mati dalam keadaan dosa. Sedang melakukan kemaksiatan. Artinya, orang itu su’ul hotimah dan kemungkinan besar masuk neraka. Hal itu, tentu akan membuat Nabi Muhammad SAW sedih. Karena Nabi, tidak ingin ada umatnya yang disiksa di neraka.
Sebaliknya, bila pembunuhan itu tidak dilakukan, maka masih ada peluang orang yang melakukan kemaksiatan itu bertobat. Apalagi, bila secara intensif dilakukan pendekatan dan dakwah kepada mereka. Meski mereka belum 100 persen meninggalkan kemaksiatan dan menjadi orang sholeh, namun proses menuju baik adalah sebuah harapan untuk orang itu husnul hotimah. Artinya, harapan untuk selamat dari api neraka dan masuk syurga masih terbuka lebar. Dan kondisi itu, tentu akan membuah Nabi Muhammad SAW berbahagia.
Ditandaskan juga bahwa Nabi Muhammad SAW sangat mencitai semua umatnya. Layaknya orang tua menyayangi dan mencintai anaknya. Baik yang sholeh maupun yang belum terlalu sholeh. Atau bahkan yang masih belum bisa meninggalkan maksiat. Karena itu, Nabi ingin mereka semua selamat. Nabi ingin mereka semua nanti bisa terhindar dari api neraka. Nabi ingin semua umatnya bisa kumpul dengan beliau di syurga.
Bukti kecintaan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya, salah satunya adalah permohonan Nabi kepada Allah agar beliau diberi hak untuk memberikan syafaat di hari akhir nanti. Dan permohonan Nabi itu akhirnya dikabulkan oleh Allah. Sehingga di hari akhir nanti, Nabi bisa memberikan syafaat atau menyelamatkan umatnya di hadapan pengadilan Allah SWT.
“Jika seperti itu, apakah Anda (si radikal) akan tetap melakukan pembunuhan kepada mereka?” tanya si ulama kepada si radikal. Menurut Gus Baha, begitu mendengar penjelasan itu, si radikal jadi merenung. Akhirnya, rencana pembunuhan kepada para pelaku doa dibatalkan. Si radikal pun memilih jalan damai. Bukan membununh, tapi membimbing agar si pelaku maksiat meninggalkan kemaksiatan dan pelan-pelan menjadi baik.
Bagi saya, logika yang dibangun Gus Baha ini sangat menarik. Sangat cerdas. Logis. Akal sehat akan mudah menerima. Merubah perilaku radikal dengan cara merubah mindsite atau pola piker mereka. Sebab, apa pun tindakan manusia, tentu berangkat dari mindsiet yang ada dalam dirinya.
Dalam berbagai kesempatan, Gus Baha berkali-kali menandaskan bahwa umat Islam harus menghindarkan pertumpahan darah. Menjaga tidak terjadinya pertumpahan darah di kalangan umat Islam adalah salah satu ibadah yang bisa dilakukan seorang muslim agar dirinya dekat dengan Allah SWT.
Maksiat atau melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan syariat Islam, tidak otomatis menjadikan seseorang keluar dari Islam dan halal untuk ditumpahkan darahnya (dibunuh). Selagi dalam hatinya masih ada tauhid, yakin bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya berarti orang itu masih berstatus muslim. Peluang untuk bertobat masih ada. Peluang untuk diampuni juga ada.
Menghadapi situasi seperti itu, kewajiban seorang muslim adalah mengajaknya ke jalan yang benar. Amar ma’ruf nahi mungkar. Dan itu pun, harus dilakukan bil hikmah wa mauidhotil hasanah (dengan cara yang baik dan nasehat-nasehat yang baik pula). Berbagai metode dan pendekatan harus dilakukan. Menggauli mereka dengan baik juga harus dilakukan. Karena menurut Gus Baha, tidak mungkin bisa mengajak seseorang untuk menuju ke arah kebaikan kecuali memiliki kedekatan dan keakraban dengan mereka.
“Makanya, kita tidak boleh memusuhi pelaku maksiat. Mereka harus tetap dianggap sebagai saudara seagama. Meraka harus dipandang dengan penuh kasih sayang. Bukan dengan penuh kebencian,” tandas Gus Baha.
Terkait dengan itu, Gus Baha mengapresiasi kepada para pendakwah dan kiai yang memiliki hubungan dekat dengan para pelaku maksiat. Yang penting, kedekatan itu dimaksudkan untuk berdakwah. Bukan sekedar dekat. Bukan sekedar berteman. Harus dijaga betul, jangan sampai kedekatan itu menimbulkan kesan pembenaran atas kemaksiatan. “Apalagi kalau kiainya yang malah ikut berbuat maksiat. Na’udzubillah min dzalik,” tandasnya.
Dakwah atau mengajak ke arah yang baik juga harus bertahap. Tidak bisa pelaku maksiat terus diajak ke standar ideal. Karena itu, dalam berbagai pengajian, Gus Baha selalu menekankan agar pelaku dakwah memahami dengan baik fiqih dakwah. Sifatnya sementara dan kasuistik (sesuai dengan masalah yang dihadapi). Aturan-aturan syariat Islam yang diajarkan kepada mereka, harus menyesuaikan dengan kemampuan mereka. Untuk kemudian, terus diproses menuju ke standar fiqih ideal.
Pelaku dakwah juga harus bisa memahami dengan benar, bahwa ketika seseorang melakukan kemasiatan, tidak otomatis dia terhalang untuk melakukan kebaikan, di saat yang berbeda. Jadi, tidak ada masalah bila ada seseorang yang masih suka melakukan kemaksiatan, namun dia juga suka mengikuti acara sholawatan, misalnya. Sebab, maksiat dan kebaikan adalah dua hal yang berbeda dan terpisah. Ketika seseorang melakukan kemaksiatan, maka orang itu akan mendapatkan dosa dari kemaksiatan yang dia lakukan. Nah ketika dia melakukan kebaikan, maka dia pun akan mendapatkan pahala dari kebaikan yang dia lakukan.
“Jadi, jangan sampai terucap, kamu jangan pergi ke masjid atau musholla atau jangan ikut sholawatan kalau Kamu masih suka berbuat maksiat,” jelas Gus Baha mencontohkan.
Sehubungan dengan itu, Gus Baha menceritakan bahwa di jaman Nabi, ada seorang sahabat suka minum-minuman keras. Dan itu, dia lakukan di hadapan Nabi. Orang itu pun, beberapa kali menipu Nabi. Namun uniknya, orang itu sangat senang dengan Nabi. Dia sangat mencintai Nabi. Orangnya suka melucu. Nabi pun sering tersenyum dan terhubur atas kelucuannya. Hanya, dia belum bisa meninggalkan kebiasaan buruknya.
Melihat perilaku sahabat yang demikian ini, beberapa sahabat lainnya (yang sholeh) tidak suka. Di luar dugaan, Nabi menegur sikap para sahabat yang sholeh itu. Sebab menurut beliau, sahabat yang suka berbuat maksiat itu, di hatinya masih ada rasa cinta kepada beliau. Juga ada rasa cinta kepada Allah SWT.
Indah sekali. Ngaji dengan Gus Baha, bagi saya benar-benar mengasyikkan. Logika kita diaduk-aduk. Mutiara-mutiara hikmah, bertaburan sepanjang pengajian berlangsung. Khazanah-khazahan kearifan dalam menghadapi problematika kehidupan sangat banyak disuguhkan. (Bersambung)
Akhmad Zaini-Tuban
Penulis adalah aktivis pendidikan Islam, tinggal di Tuban