Instalasi Seni, Polusi, atau Landmark Kota; Itu Soal Cita Rasa
Mas Gubernur Anies Baswedan tak pernah kurang cerita. Dari urusan polusi, reklamasi, makan nasi kebuli, hingga instalasi seni. Urusan polusi dan sampah, bahkan, membuat Mbak Wali Kota Tri Rismaharini diminta ikut Pilgub DKI.
Tapi, kita pinggirkan urusan Pilgub ini. Mari berdiskusi tentang landmark kota, instalasi seni, dan polusi.
Sebelumnya, publik Kota Jakarta bersilang kata. Urusan “Getah Getih”, instalasi seni dari bambu itu. Yang baru dibongkar, setelah 11 bulan dipancang Mas Anies di jantung Ibu Kota.
Ada yang bilang, harganya terlalu mahal. Pendukung Mas Gubernur menangkis. Balik menuduh yang komentar tidak menghargai karya seni.
Lokasi Getah-Getih memang di area premium, Bundaran Hotel Indonesia. Di sana sudah ada patung Selamat Datang, karya maestro Edhi Sunarso. Penyambut siapa saja yang datang ke Jakarta. Datang ke sini, pintu gerbang Indonesia.
Saat Empu Ageng Edhi mengadap Sang Khalik, Mas Anies yang saat itu Menteri Pendidikan juga melayat. Karya-karyanya adalah landmark andalan Jakarta. Selain patung Selamat Datang, ada juga patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng.
Lalu ada monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Dan yang sangat ikonik patung Dirgantara di Pancoran. Bahkan yang ironis, saat Empu Ageng Edhi sedang menaikkan patung Dirgantara itu, dia melihat iring-iringan mobil jenazah Bung Karno.
Bahkan karena kondisi politik pasca Peristiwa G30S itu, dia harus mengeluarkan uang dari koceknya sendiri. Demi penyelesaian proyek ini. Sebelumnya, inisiatif ini muncul, karena Bung Karno ingin ada patung yang melambangkan semangat dirgantara.
Manusia angkasa. Mimpi manusia Indonesia yang berani menjelajah angkasa. Saat menjabarkan idenya, Bung Karno jadi modelnya. Demi mimpi ini, proklamator ini juga rela melego mobilnya.
Bung Karno memang punya passion dan imajinasi yang luar biasa, atas landmark Kota Jakarta. Hal ini juga didukung cita-rasanya yang adi luhung. Mereka bisa jadi representasi ide, mimpi, juga gairah kepemimpinan.
Di benaknya, kota ini lambang perjuangan bangsa. Di dalamnya ada cita-cita dan mimpi. Ada perjuangan yang terus menyala untuk kejayaan republik.
Itu mengapa, di tahap awal, Bung Karno ngebet sekali membangun Monumen Nasional. Penanda atas revolusi Indonesia. Pada 17 Agustus 1954, panitia pembangunannya dibentuk.
Dalam rentang waktu itu, Bung Karno melawat pertama kali ke Uni Soviet tahun 1956. Di sana, dia merasakan bagaimana patung dan monumen mengudar harkat dan gejolak rakyat. Bagian tak terpisahkan dari jiwa bangsa.
Seusai kunjungan ke Rusia, gantian Bung Karno pakansi ke Amerika. Di sini, dia tertegun saat matanya bersitubruk dengan Monumen Kemerdekaan di Washington DC. Lingga yang menjulang menembus langit.
Inilah yang mendasarinya ingin cepat mewujudkan membangun Monumen Nasional. 17 Agustus tahun 1961, pembangunan Monas dimulai. Dengan segala keterbatasannya.
Monas, akhirnya menjadi simbol lapangan budaya Indonesia. Di sekelilingnya ada museum. Dulu banyak kegiatan kebudayaan dan keramaian berpusat di sini.
Tak mau kalah, Pak Harto juga punya peninggalan terkait landmark ini. Patung Arjuna Wijaya, lokasinya juga di seputaran Monas. Monumen ini direka oleh maestro Nyoman Nuarta.
Inisitif ini muncul, seusai Pak Harto pulang dari kunjungan ke Turki, tahun 1987. Di sana, mertua Pak Prabowo ini, melihat banyak monumen. Mereka menjelaskan cerita-cerita masa lalu Turki.
Entah mengapa, Pak Harto memilih fragmen dari perang Baratayudha. Tentu saja, ini melahirkan banyak tafsir. Apa pesan tersirat.
Misalnya, ada yang menafsir, inilah pertarungan Pak Harto sebagai Arjuna melawan Bung Karno, sebagai Adipati Karna. Kebaikan melawan keburukan. Namun, ada yang melihat lebih dalam.
Pak Harto ingin mengirim pesan tentang Hastabrata. Yakni delapan laku pengendalian diri. Delapan unsur itu diwakili dengan jumlah kuda yang menarik kereta Arjuna dan Prabu Kresna.
Hanya pribadi nan unggul yang mampu mengelola delapan unsur alam itu. Dimulai dari sifat bumi, api, juga matahari. Lantas sifat samudra, langit, angin, bulan, hingga bintang.
Jadi, hanya pemimpin mumpuni yang bisa mengelola hastabrata dengan sempurna. Tak semua. Hanya Pak Harto yang bisa.
Isu kepemimpinan ini pula yang kini menyergap Mas Anies. Sejak dilantik 16 Oktober 2017, publik Jakarta merasa belum ada karya yang monumental. Beberapa pencapaian, dianggap meneruskan gubernur sebelumnya.
Tapi, lewat instalasi seni Getah-Getih itu, walau banyak dipertanyakan terkait cita-rasanya, Mas Anies ingin mengirim pesan penting. Sebagaimana ciri khasnya. Apa lagi kalau bukan ke Indonesiaan.
Pesan itu tergambarka dari sifat utama bambu. Dia kokoh tapi lentur, tegak tapi liat, kecil tapi raksasa. Jumlahnya ribuan tapi menyatu, satuan tapi tak terserak.
“Itulah kita, bangsa Indonesia tercinta: 262 juta anak bangsa, 400-an suku bangsa, dan bercakap dalam 700-an bahasa. Sebuah bangsa yang dahsyat!” tulisnya di halaman media sosialnya.
Menurutnya, gagasan dari ribuan bambu ini membentuk sebuah kesatuan dan persatuan. “Dari gagasan, jutaan anak bangsa ini membentuk kesatuan dan persatuan,” tegasnya.
Kalau melihat narasi ini, Mas Anies sudah memposisikan diri sebagai pengikat jiwa bangsa. Gubernur Jakarta, hanya jalan antara. Tujuan akhirnya tentu menjadi Presiden Indonesia.
Tapi menjadi presiden era demokrasi kini, tentu beda dibanding Bung Karno dan Pak Harto. Tak cukup menjual kata atau cita-cita bangsa. Satu yang penting, reputasi dan karya nyata.
Naiknya Pak Jokowi, tentu dimulai dari kiprah kepemimpinan sebelumnya. Entah, itu mau dipoles sedemikian rupa. Hanya, pencitraan saja, misalnya. Tapi ada karya yang dijual ke publik.
Setahun menjabat Gubernur DKI, Mas Anies mengaku sudah punya 23 prestasi. Dari penghentian reklamasi Jakarta, rumah DP 0 %, atau membangun skybridge di Tanah Abang. Ada juga Program OK OCE di 44 Kecamatan hingga memperluas subsidi pangan murah.
Namun, semua itu tidak cukup nendang, kalau Mas Anies ingin pindah dari Balai Kota Jakarta ke Istana Merdeka. Butuh karya monumental, yang publik bisa melihat, merasakan, dan mau bercerita tanpa diminta. Bahkan jadi pembela setia.
Megacities di seluruh dunia, hampir punya tiga masalah utama. Pertama, kesenjangan fiskal. Seharusnya, Jakarta tidak masalah.
Sisa lebih penggunaan anggaran (SiLPA) Anggaran DKI di tahun 2018, mencapai hampir Rp10 triliun. Besar sekali. Mas Anies bisa bikin program hebat bahkan hanya dari uang sisa ini.
Yang kedua, transportasi umum dan layanan publik. Kemacetan jadi biang masalah, bikin sesak, gerah, dan nambah polusi. Mas Anies harus lebih ngotot mengeber perluasan dan penambahan transportasi publik.
Ketiga, masalah lingkungan hidup. Di sini ada polusi udara dan sampah. Kebetulan, belakangan ini, Mas Anies agak ngap-ngapan diserang polusi atau sampah. Sampai mau bikin program penanaman lidah mertua.
Penyelesaian ketiga masalah itu juga butuh cita rasa. Butuh kesungguhan. Tak bisa dibiarkan bak jadi pekerjaan rutin saja.
Jika tak ada kemauan keras, tidak ada terobosan, ya hasilnya bisa diduga. Biasa-biasa saja. Karena semua dianggap hal rutin semata.
Untuk urusan ini, ada pemimpin daerah yang dianggap punya karya. Kiprahnya menyentuh hati warga. Tanpa diminta, publik serta merta membandingkan itu semua.
Memang, secara skala Jakarta sebagai ibu kota, lebih kompleks. Lebih ruwet. Tapi, yang sama, baik gubernur atau wali kota adalah jabatan politik.
Salah penangganan, bisa jadi urusan politik. Lantas melebar ke mana-mana. Bisa bikin mimpi jadi presiden melayang sirna.
Ajar Edi, kolumnis “Ujar Ajar” di ngopibareng.id