Insan Kamil, 'Penghubung' Antara Yang Ilahi dan Yang Dunia'
Problematika manusia terkini kerap dijelaskan dengan pemikiran dan rasionalitas di kalangan cerdik pandai. Tapi, soal kerohanian yang bersifat esoteris, kadang tak mudah dijelaskan.
"Kebahagiaan sejatinya adalah mengikatkan jiwanya pada yang Ilahi melalui pelbagai penyucian diri (Tazkiyatun Nafs) dan lebih sering sibuk memperbaiki dan menyempurnakan etika pribadinya maupun etika sosialnya," tulis Neng Dara Affiah.
Berikut ulasannya tentang kesejatian dan kehidupan yang hakiki:
Pernahkah teman-teman mendengar atau membaca kehadiran manusia setengah dewa sebagai penghubung antara yang 'profan' dengan yang 'sakral', dan yang menghubungkan antara 'kemakhlukan' dan 'keilahian'?
Setiap zaman kehadiran manusia seperti itu ada, terutama jaman keemasan. Mereka sering disebut para Nabi, para orang suci, para wali, para santo dan pelbagai sebutan lainnya.
Umat manusia merindukan manusia seperti ini, karena pribadinya merupakan magma cinta kasih yang menjadi magnet setiap orang ingin mendekat dan mengunjunginya.
Tak hanya manusia yang ingin mendekat kepadanya, melainkan apa yang diucapkan akan didengar, bahkan 'mendehem'nya saja akan diperhatikan. Ia tak akan mengeluarkan kata-kata yang sia-sia dan tak akan mengerjakan sesuatu yang tak memiliki manfaat.
Manusia setengah dewa ini hatinya tidak terikat pada harta benda, tidak juga pada kekuasan dan popularitas, pun tidak terikat pada istri atau suami dan anak-anak. Baginya semua itu kesenangan atau titipan yang bersifat sementara, karena ia bisa datang dan pergi, naik dan turun, bahkan ia bisa diambil kapan saja oleh Yang Ilahi. Jika pun mereka mempunyai kedudukan dan kekayaan, mereka menjadikan semua itu sebagai sarana kebajikan untuk membuat warisan keabadian sepanjang hidup yang singkat ini.
Kebahagiaan sejatinya adalah mengikatkan jiwanya pada yang Ilahi melalui pelbagai penyucian diri (Tazkiyatun Nafs) dan lebih sering sibuk memperbaiki dan menyempurnakan etika pribadinya maupun etika sosialnya. Pribadi seperti ini akan lebih sibuk menata dirinya, dan mungkin keluarganya ketimbang mengurusi orang lain, apalagi memberikan pelabelan-pelabelan yang bersifat menghakimi. Meski demikian, ia akan membawa rahmat dan 'cahaya' pada lingkungan sekitarnya, dan bahkan pada alam semesta ini.
Apakah manusia seperti ini sekarang ada? Mungkin ada, tetapi ada yang nampak, ada pula yang tersembunyi. Hanya orang-orang yang mempunyai 'kebeningan' jiwa yang sama yang biasanya saling mendekat dan saling menghampiri. Tetapi jika ada orang yang mengaku-ngaku dirinya suci, pastikan saja itu bukan orang suci, karena orang suci tidak akan memamerkan kesuciannya sebagai wujud dari sikap rendah hati yang melekat pada pribadinya.
Manusia setengah dewa ini akan menjadi 'jiwa' dunia. Ia akan menjadi tumpuan, tempat berlindung dan tempat bertanya bagi orang-orang yang mengalami kebingungan dan ketidaktahuan dalam menapaki kehidupan ini. Saya ingin menyebut manusia setengah dewa ini sebagai INSAN KAMIL= seratus persen manusia dengan segala keterbatasannya, tetapi juga mengoptimalkan sifat-sifat keilahian dalam dirinya.
(Pamulang, 6 Juli 2020. Sumber: facebook Neng Dara Affiah)