Inovasi Ganjar vs Sentralisasi Anies
Saya sempat penasaran dengan siapa pemilik gagasan ini? Tentang langkah mengundang para calon presiden untuk memaparkan visi misi sebelum tahapan resmi Pemilihan Presiden 2024 dimulai.
Ternyata ada tangan Bima Arya Sugiarto di belakangnya. Walikota Bogor yang juga Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi). Asosiasi yang baru menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Makassar.
Pantas saja, forum tahunan tempat berkumpulnya para walikota se Indonesia ini jadi melesat bobotnya. Ia menjadi semacam konvensi awal untuk menentukan siapa yang layak didukung mereka. Para walikota.
Dia bukan walikota biasa. Ia pernah malang melintang di dunia survei dan konsultan politik sebelum terjun di jagat politik praktis. Dia sudah terbiasa dengan proses-proses politik di tingkat nasional sebelum ia memimpin Kota Bogor melalui pemilihan kepala daerah secara langsung.
Ide menjadikan Rakernas Apeksi sebagai forum konvensi untuk calon presiden tentu karena latar belakang Bima Arya yang demikian. Dan benar saja, Rakernas Apeksi yang biasanya sepi kini menjadi perbincangan publik dan memancing diskusi panjang tentang pemikiran para calon presiden yang sudah muncul di permukaan.
Memang, para kepala daerah di Indonesia adalah orang-orang partai semata. Tapi juga banyak di antara mereka yang berangkat tidak melalui karir di parpol. Desentralisasi melahirkan pimpinan daerah dari beragam latar belakang. Mereka pasti lebih mengetahui kepentingan dan kebutuhan daerahnya.
Karena itu, preferensi mereka terhadap calon presiden menjadi sangat penting. Merekalah yang akan mengimplementasikan kebijakan pemerintah pusat di daerah. Terutama yang menyangkut pelayanan dasar: administrasi, pendidikan dan kesehatan.
Walikota juga menjadi sumber baru bagi kepemimpinan nasional. Seperti yang dimulai dari Presiden Joko Widodo. Yang merintis karier politik dari walikota Solo selama dua periode lantas menjadi Gubernur DKI Jakarta. Bukan talent intake dari pusat pemerintahan. Ini talent daerah untuk pemerintah Pusat.
Ada tiga calon presiden yang diundang. Ketiganya sudah resmi diusung oleh partai politik. Mereka adalah Prabowo Subiyanto, Anies Rasyid Baswedan, dan Ganjar Pranowo. Prabowo belum pernah menjadi kepala daerah. Karena itu, saya tidak membahasnya.
Sedangkan Anies dan Ganjar berpengalaman memimpin daerah. Apalagi presentasi keduanya menyinggung tentang peta persoalan di daerah. Ini modal penting untuk seorang pemimpin nasional. Bagaimana mereka memetakan persoalan di daerah dan bagaimana mereka menawarkan solusi untuk pemetaan yang dibuatnya.
Dari pemaparan Ganjar dan Anies di Rakernas Apeksi, terlihat keduanya mempunyai cara pandang yang berbeda tentang kedaerahan. Anies mengangkat isu ketimpangan antar kota atau daerah, sedangkan Ganjar mempresentasikan best practices dua periode memimpin Jawa Tengah dengan mengedepankan inovasi dalam desentralisasi.
Anies berangkat dari kesimpulannya yang diambil dari citra satelit. Dia bilang Indonesia Timur masih gelap jika dibandingkan dengan Indonesia bagian Barat. Ia melihat hal itu berdasarkan data potret besar dari atas langit di malam hari. Tentu cahaya yang terekam lewat citra satelit terkait dengan elektrifikasi wilayah.
Sementara Ganjar berangkat dari rekam jejak bagaimana ia mengembangkan kota-kota di provinsinya. Sambil membandingkan dengan proyeksi ekonomi ke depan, ia yakin bahwa pemerintahan yang bersih akan mampu melahirkan inovasi yang optimal untuk kemajuan.
Dua pandangan barangkali dianggap sepele. Tapi menggambarkan paradigma berbeda dalam memandang Indonesia. Apalagi, setelah membuat kesimpulan tentang ketimpangan antar kota itu, Anies mengajuk solusi dengan gagasan membentuk Kementerian Perkotaan. Saya belum tahu, apa peran dan fungsi kementerian baru itu kelak.
Apa yang dikemukakan Anies ini memperkuat tesis saya bahwa membangun Indonesia dari daerah akan lebih ideal untuk bangsa Indonesia yang demikian besar. Terlalu besar, bangsa ini jika hanya diurus dari Jakarta. Terlalu kompleks jika Indonesia hanya diatur hanya oleh pemerintah pusat.
Kita telah punya pengalaman 32 tahun dengan sistem pemerintahan yang sentralistik. Saat Indonesia dalam rezim pemerintahan Orde Baru. Hasilnya adalah ketimpangan yang jauh lebih parah. Bahkan, pemerataan infrastruktur baru mulai terwujudkan saat negeri ini dipimpin Presiden yang pernah punya jalur karir dari memimpin kota dan provinsi seperti Presiden Joko Widodo.
Karena itu, terlalu berisiko jika menggunakan paradigma sentralistik kembali untuk membangun Indonesia ke depan. Bahkan, paradigma mengatasi ketimpangan kemajuan antar kota dengan membentuk kementerian baru mengandung benih resentralisasi. Akan lebih baik jika menambah kewenangan pemimpin daerah untuk memajukan wilayahnya masing-masing. Parameternya adalah inovasi.
Pemaparan Ganjar di depan para walikota lebih mengandung paradigma desentralisasi. Apalagi dia sudah mempraktikkan hal tersebut ketika memimpin Jawa Tengah. Tinggal problemnya bagaimana mengadopsi contoh-contoh sukses di daerah menjadi sebuah kebijakan nasional. Kebijakan yang memberi ruang inovasi kepada daerah dengan kerangka besar rencana pembangunan nasional.
Pemerintahan berbasis desentralisasi ditambah dengan mewujudkan pemerintahan yang bersih bisa lebih menjanjikan. Desentralisasi dengan bertumpu pada indikator innovativeness akan mendorong adanya kemajuan. Inovasi akan merangsang adanya kompetisi dan kompetisi hampir pasti akan melahirkan kemajuan. Ini rumus dasarnya.
Di awal otonomi daerah, ada lembaga yang secara khusus mendorong inovasi dalam paradigma otonomi daerah. Lembaga itu bernama Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP). Lembaga tersebut didirikan untuk menjaga agar desentralisasi tidak kembali ke sentralisasi.
Kebetulan saya ikut mendirikan dan memimpin lembaga tersebut. tiap tahun lembaga ini menggelar monitoring dan mengompetisikan hasil monitoring tersebut antar daerah. Hasilnya, kompetisi terjadi antar kepala daerah untuk menjadi lebih maju.
Rasanya menjadi usang kalau kita mau mengembalikan pembangunan daerah dengan paradigma resentralisasi. Sebaliknya, akan lebih ideal jika menggunakan paradigma desentralisasi. Pemerintah Pusat tinggal memberi frame berupa arah pembangunan nasional dalam konteks persaingan dalam dunia global.
Saya tetap bersikukuh dengan tesis bahwa kepemimpinan nasional harus diambil dari mereka yang pernah memimpin daerah. Dengan demikian, mereka akan lebih punya empati dan mengetahui kesulitan-kesulitan di daerah. Bukan mengatasi ketimpangan dengan cara berpikir pemerintah pusat yang sentralistik.
Desentralisasi harus tetap menjadi paradigma dalam membangun Indonesia ke depan