Inilah Pidato Lengkap Megawati pada Pemberian Gelar Doktor HC di Universitas Negeri Padang
Assalamualaikum, Wr.Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua,
Om Swastiastu
Namo Buddhaya
Selamat Pagi
Yang terhormat, Rektor, Senat dan Civitas Akademika Universitas Negeri Padang.
Yang terhormat para menteri Kabinet Kerja dan pimpinan lembaga negara Republik Indonesia.
Yang terhormat, anggota DPR-RI, Gubernur dan DPRD Provinsi Sumbar, Bupati dan Walikota se Provinsi Sumbar, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Sumatera Barat dan Ketua MUI Sumatera Barat, para alim ulama, dan ninik mamak. Rekan-rekan media, hadirin tamu undangan yang berbahagia,
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, Tuhan Yang Maha Esa. Berkat perkenan-Nya kita dapat berkumpul di Auditorium Universitas Negeri Padang. Ijinkan di awal pidato ilmiah ini, saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghormatan kepada Senat Universitas Negeri Padang atas keputusan memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada saya. Saya sangat antusias, bangga dan sekaligus sangat bersyukur, karena gelar yang diberikan adalah dalam Bidang Politik Pendidikan.
Universitas Negeri Padang telah membuat keputusan akademis yang membuka kembali cakrawala: politik dan pendidikan adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan. Politik menghasilkan sistem pendidikan, pendidikan mempengaruhi kehidupan politik.
Hadirin yang saya hormati,
Entitas politik terkecil adalah keluarga. Begitu pula dengan pendidikan, juga dimulai dari dalam keluarga. Seperti yang saya alami, saya sangat beruntung mendapatkan pendidikan politik langsung dari ayah saya, Bapak Bangsa Indonesia, Bung Karno. Definisi politik yang paling hakiki menurut Bung Karno adalah cara meng-abadi-kan diri bagi kepentingan orang banyak. Maksudnya, membuat diri kita memiliki cita-cita dan tujuan abadi yang tidak berorientasi pada diri sendiri. Dalam politik, setiap diri, dituntut untuk mempersembahkan seluruh pengabdian “diriku untuk orang lain”. Tat Twam Asi. Artinya, “aku adalah engkau, engkau adalah aku”. Kata-kata tersebut mengandung pengertian filosofis, bagaimana seharusnya kita memiliki empati dan menghayati perasaan orang lain. Dalam politik, saya menyebutnya politik berwajah dan berjiwa kemanusiaan, yaitu Politik humanis. Politik sebagai alat untuk mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia.
Politik sejatinya adalah jalan untuk mewakafkan hidup agar bermanfaat bagi orang lain, bagi kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Hal senada diajarkan pula oleh Nabi Muhammad SAW kepada kita, khairunnas anfa’ uhum linnas. Sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat bagi manusia lain. Itulah keyakinan dan jalan politik yang saya pilih, baik sebagai seorang muslim, maupun sebagai seorang politisi. Oleh sebab itu, di dalam berbagai kesempatan saya selalu mengingatkan, “Kebahagian kita bukan pada saat dekat dengan kekuasaan, namun saat kita menangis dan tertawa bersama rakyat.”
Saudara-saudara,
Mazhab “politik humanis” pasti berseberangan dengan mazhab politik - yang istilahnya dipopulerkan filsuf Thomas Hobes- yaitu Homo Homini Lupus. Artinya, manusia adalah serigala bagi manusia lain. Dalam ranah politik prakteknya dapat dijumpai melalui perilaku para aktor politik yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan. Seperti, memfitnah dan melakukan pembunuhan karakter secara sistematis. Bahkan, mereka anggap sebuah kewajaran, lumrah dan sah-sah saja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap lawan atau penghalang.
Saat politik yang menghalalkan segala cara dijalankan, maka hukum positif pasti dimandulkan. Pengetahuan hanya akan menjadi stempel pembenaran tindak kekerasan. Pernyataan ilmiah digunakan sebagai legitimasi dari tindakan amoral dan inkonstitusional. Mari kita renungkan dan tanyakan pada diri masing-masing. Politik pendidikan seperti apa yang akan diproduksi oleh mereka yang ingin berkuasa dengan menghalalkan segala cara? Masyarakat seperti apa yang akan lahir dari politik pendidikan semacam itu? Tentu, kita tidak akan pernah membiarkan siasat politik keji tersebut direproduksi di bumi Indonesia.
Hadirin yang saya hormati,
Ilmu pengetahuan yang ditanamkan melalui pendidikan, jelas tidak berdiri sendiri. Selalu ada relasi antara ilmu pengetahuan dengan kekuasaan. Filsuf Prancis, Michel Foucoult membongkar relasi tersebut. Ia mengatakan bahwa kekuasaan selalu teraktualisasi melalui pengetahuan dan pengetahuan selalu memiliki efek kuasa. Di balik ilmu pengetahuan selalu ada ideologi politik. Contohnya, sejarah kolonial Belanda yang semakin menancapkan kekuasaannya di Hindia Belanda dengan politik etis, yang juga dijalankan melalui bidang pendidikan.
Politik etis atau politik balas budi dimulai pada tahun 1901, yang seolah membuka akses pendidikan bagi rakyat pribumi. Padahal, maksud politik yang sebenarnya adalah agar kolonialisme tetap bertahan, dengan diperkuat oleh tenaga cakap pribumi yang dibayar dengan murah.
Saudar-saudara,
sebagai antitesa dari politik etis, kemudian lahir gerakan perlawanan rakyat Indonesia yang lebih terorganisir. Menurut Wahidin Sudiro Husodo, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan adalah rakyat harus cerdas. Ia menganjurkan agar para siswa STOVIA mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa. Pemikiran tersebut mendorong Dr. Sutomo, Dr Cipto Mangunkusumo dan Gunawan Mangunkusumo untuk mendirikan Budi Utomo pada tahun 1908.
Saudara-saudara,
Saya meyakini sejarah selalu dinamis, selalu ditandai dengan perubahan. Dan, perubahan demi perubahan dalam sejarah Indonesia dipengaruhi oleh pemikiran para pendiri bangsa. Contohnya adalah para tokoh nasional dari tanah Minang, yang kebetulan pernah saya kenal dan sangat saya hormati, seperti Bung Hatta, KH. Agus Salim dan Bung Syahrir. Ada pula tokoh perempuan yang saya kagumi dalam dunia pendidikan. Jika di Jawa ada R.A Kartini dan Dewi Sartika, maka di bumi Minangkabau ada perempuan hebat bernama Rohana Kudus. Pada tahun 1911, ia mendirikan Kerajinan Amai Setia, yaitu sebuah wadah bagi perempuan untuk belajar membaca, menulis dan berhitung, serta keterampilan lain. Banyak yang tidak tahu, Rohana adalah pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia, yang diberi nama “Sunting Melayu”.
Saudara-saudara,
Sejarah mengajak kita untuk tidak pasif, apalagi larut pada keadaan yang mengekang dan membelenggu. Sejarah menuntun kita untuk berdialektika. Dengan berani melakukan dialektika, kita akan mampu mengintervensi perjalanan sejarah, untuk menciptakan sejarah baru peradaban. Contoh yang dapat kita tauladani adalah dialektika sejarah Bung Karno muda. Pada tahun 1930, saat usianya sekitar 29 tahun, Bung Karno meletakkan sejarah baru dalam gerakan politik melawan penjajah Belanda. Ia tidak tunduk pada intimidasi penjajah yang melarang pembentukan organisasi politik, Partai Nasional Indonesia.
Di sel penjara Banceuy, Bandung, -yang sempit dan pengap-, Bung Karno menulis pembelaan politik. Ia nyatakan pembelaan itu bukan sebagai pledoi atas nama pribadi atau partainya. Namun, menjadi sebuah gugatan atas nama rakyat Indonesia, Indonesia Menggugat. Bung Karno bukan hanya mengkritik pemerintah kolonial Belanda. Gugatan ilmiah yang tajam dilontarkannya pula kepada imperialisme dan kapitalisme internasional yang menciptakan tragedi kemanusiaan.
Indonesia Menggugat adalah sebuah karya yang kaya akan literatur dan referensi ilmiah. Bung Karno mensitir 60 pemikir dunia, mulai dari yang beraliran nasionalis, marxis, hingga humanis radikal. Pisau analisa yang digunakannya adalah pemikiran dari Mustafa Kamil, Sun Yat Sen, Naidu, Karl Kautsy, Karl Marx, Sneevliet, hingga Jean Jaures. Menyitir satrawan August de Wit, termasuk ekonom Rudolf Hilferding, dan sebagainya. Bung Karno mensintesakan keseluruhan pemikiran yang dipelajarinya tersebut dalam konteks Indonesia saat itu, lengkap dengan argumentasi dan data konkret politik, sosial, ekonomi, untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Hal penting yang diajarkan Bung Karno ialah: boleh saja kita pelajari berbagai pemikiran tokoh dunia, boleh saja kita mengenyam pendidikan di luar negeri, namun jangan pernah lari dari jati diri dan karakter bangsa sendiri.
Tak heran, jika kemudian sepanjang hidupnya Bung Karno tercatat dianugerahi 26 gelar Doktor Honoris Causa. Ia diakui memiliki wawasan keilmuan yang luas dan berkontribusi terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan. Doktor Honoris Causa yang diterimanya antara lain dalam bidang Ilmu Teknik, Ilmu Sosial dan Politik, Ilmu Hukum, Ilmu Sejarah, Ilmu Filsafat dan Ilmu Ushuluddin. Gelar tersebut diberikan tidak hanya dari berbagai universitas dalam negeri, namun juga dari luar negeri, seperti dari Columbia University (Amerika Serikat), Berlin University (Jerman), Lomonosov University (Moscow) dan Al-Azhar University (Kairo).
Saudara-saudara,
Pada kesempatan ini saya juga ingin mengajak saudara semua untuk mendalami kembali arsip risalah sidang BPUPK. Dalam sidang itu, perdebatan-perdebatan politik yang terjadi bukan adu argumentasi kosong yang apriori. Para pendiri bangsa memiliki tradisi keilmuan yang sejalan dengan tradisi dialogis yang kuat, musyawarah untuk mufakat. Penguasaan akan berbagai teori keilmuan, konsep, ide dan gagasan berasal dari persemaian benih-benih nasionalisme, yang pada akhirnya melahirkan nasionalis komplit.
Begitu pula yang dapat kita baca dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Pidato tersebut mencerminkan penguasaan Bung Karno atas pengetahuan nilai-nilai orisinil yang digali langsung dari bumi Indonesia. Kontemplasinya terhadap khasanah tradisi bangsa telah mampu melahirkan lima prinsip dasar Indonesia Merdeka, yaitu Pancasila.
Saudara-saudara,
Pancasila adalah dasar dan ideologi negara. Pancasila adalah guide to action, guide of action, guide for action. Karena itu, politik pendidikan Indonesia tidak boleh bergeser dan harus tetap berpijak pada Pancasila. Pancasila merupakan satu-satunya pedoman, penuntun, cita-cita dan tujuan politik pendidikan kita, sebab Pancasila adalah way of life bangsa Indonesia! Way of life dalam pendidikan untuk membebaskan rakyat dari kebodohan, keterbelakangan dan kemelaratan. Way of life dalam pendidikan untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial!
Hadirin yang saya hormati,
Politik pendidikan Indonesia harus merupakan suatu jalan pembebasan, yang tidak hanya berguna untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia yang berilmu dan memiliki daya saing. Pendidikan dibutuhkan untuk melahirkan manusia yang berkarakter, bersikap kritis dan memperjuangkan ilmu tidak hanya untuk ilmu. Sehingga politik pendidikan yang berorientasi pembangunan mental dan karakter bangsa, nation and character building, menjadi hal krusial dalam dunia pendidikan kita.
Saudara-saudara,
Para pendiri bangsa sangat percaya terhadap korelasi antara pengetahuan dan politik. Mereka percaya bahwa pembangunan sebagai wujud dari demokrasi politik dan ekonomi, wajib berbasis pada riset dan kajian ilmiah. Science Based Policy, yang bukan dimaknai teknokratis semata.
Pada tahun 1959 sebuah perencanaan pembangunan yang ilmiah untuk Indonesia mulai diperkenalkan oleh Bung Karno, bernama Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Perencanaan pembangunan tersebut merupakan hasil kerja sekitar 600 pakar dari berbagai cabang ilmu, termasuk dari perguruan tinggi. Dalam konteks ini, terlihat jelas bahwa ternyata politik pembangunan pun harus berbasis pada pengetahuan.
Agar jelas tujuan, target dan sasaran, maka kebijakan pembangunan tidak boleh berdasarkan asumsi. Pembangunan harus dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Keilmuan yang tetap berorientasi dan didedikasikan pada kepentingan rakyat dan bangsa sendiri, serta berkontribusi dalam membangun tata dunia baru yang lebih berkeadilan.
Saudara-saudara,
Saya selalu memperjuangkan agar kampus menjadi center of science. Kampus tidak hanya untuk menghasilkan tenaga ahli dan tenaga terampil bagi pembangunan. Namun, kampus pun harus menghasilkan riset-riset yang dapat digunakan sebagai acuan dalam keputusan politik pembangunan. Tentu saja, salah satu syarat pentingnya adalah politik legislasi dan politik anggaran terkait riset harus menjadi prioritas, sekaligus politik tetap negara. Harus kita ingat, bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menjadi negara maju, jika tidak berfokus pada riset ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai dasar kebijakan pembangunan. Karena itu, saya sangat memimpikan Indonesia memiliki Lembaga Riset Nasional, seperti yang pernah dirintis Bung Karno. Lembaga Riset Nasional yang mengkonsolidasikan keseluruhan riset tidak hanya di lembaga riset negara, tetapi juga swasta.
Saudara-saudara,
Di negara-negara maju, terdapat konektivitas yang kuat antara perguruan tinggi dan lembaga riset negara. Sehingga universitas dan perguruan tinggi pada akhirnya menjadi salah satu pilar penting, yang berkontribusi besar pada kemajuan rakyat, bangsa dan negara. Civitas akademika bukan mereka yang duduk di menara gading. Universitas bukan untuk menghasilkan manusia yang hanya disibukkan dengan alam pemikiran dan ide ilmiah.
Bagi saya, ilmu hanya akan menjadi ilmu jika bermanfaat bagi kemanusiaan. Saya berkomitmen untuk berjuang bersama civitas akademika Indonesia, termasuk yang berada di Universitas Negeri Padang untuk terus mendorong politik pendidikan yang dapat melahirkan akademisi-akademisi organik. Akademisi yang memiliki kegelisahan dan mampu mencari solusi ilmiah atas problematika yang dihadapi rakyat. Inilah sebenarnya maksud yang sebenar-benarnya bahwa pengetahuan tidak untuk pengetahuan. Pengetahuan untuk berjuang, Berjuang untuk tanah air, untuk bangsa, dan untuk peri-kemanusiaan!
Terima kasih,
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Syalom,
Om Santi Santi Santi Om.
Advertisement