Ini Sebab Dicintai NU, Lima Tokoh Testimoni bagi Azyumardi Azra
Cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra dikenal luas pergaulan, baik di Indonesia hingga di luar negeri. Ketika tokoh asal Sumatera Barat ini meninggal dunia pada Minggu 18 September 2022 di Malaysia, sontak menyita perhatian banyak kalangan.
Azyumardi sempat menjalani perawatan secara intensif oleh tim dokter di Rumah Sakit Selangor, Malaysia. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah ini dirawat di ruang zona merah yang lazimnya digunakan untuk perawatan pasien terinfeksi Covid-19.
Azyumardi Azra, dikenal sebagai akademisi dan intelektual Islam Indonesia yang begitu produktif menulis artikel dan buku ilmiah. Pria kelahiran 4 Maret 1955 ini mengawali pendidikan tingginya di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada 1982.
Azyumardi Azra meraih gelar Master of Art (MA) dan gelar doktor (Ph.D) di Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University Amerika. Dari tahun 1992 hingga sekarang, ia tercatat menjadi Dosen Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah.Bagi keluarga besar Muhammadiyah, nama Azra begitu sangat dikenal.
Dekat Kaum Sufi
Almarhum juga diamanahi sebagai Anggota Konsultan Ahli di Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah. Azra juga kerap diundang sebagai pembicara dalam forum-forum yang diselenggarakan Persyarikatan. Tentu kehilangan Azra merupakan duka yang mendalam bagi keluarga besar Muhammadiyah. Sebab, meninggalnya seorang cendekiawan berarti hilangnya ilmu bagi manusia.
Terlepas dari hal itu, ada hal menarik pada sosok almarhum. Meskipun lahir dan dibesarkan dari keluarga Muhammadiyah -- Islam modernis -- namun Azyumardi Azra juga dihormati dan dicintai di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) -- Islam tradisional. Dalam sejumlah kesempatan Azyumardi Azra justru diundang untuk bicara di kantor PBNU di Jakarta. Belum lagi pertemuannya dengan sejumlah tokoh NU dalam forum-forum ilmiah internasional.
Terkait tradisi tasawuf, Muhammadiyah menyikapi dengan kritis. Sedang di NU, tawasuf dan tarekat menjadi bagian penting dalam pengembangan dakwah.
Ada satu kunci, Azyumardi Azra dirasa dekat dengan kalangan Nahdliyin dan kaum santri, adalah apresiasinya terhadap tawasuf. Ia tidak anti terhadap praktik kaum sufi. Hal itu dibuktikan dengan pernyataan diri, berbait kepada Syaikh Hisyam Kabbani, Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah berpust di Amerika Serikat, saat berkunjung ke Indonesia.
1. DR KH Husein Muhammad, Pendiri Fahmina Institute dan Pengasuh Pesantren Dar el-Quran Arjawinangun Cirebon.
Pertemuanku dengan Prof. Azyumardi Azra (Sebuah Kenangan Indah)
Pertemuan, persentuhan dan perbincangan hangat dan bersahabat saya dengan Prof. Dr. Azyumardi Azra jika tidak salah ingat berlangsung dalam tiga kali. Pertama pafa momen bedah buku Prof. Dr. Oman Fathurrahman. "Ithaf al Dzaki": Tafsir Wihdah al Wujud Muslim Nusantara",di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Azyu bicara tentang Jaringan Ulama Nusantara dengan fasih. Ia begitu menguasai pengetahuan tentang para sufi Nusantara, cerdas dan mengesankan.
Aku banyak memeroleh pengetahuan tentang jaringan ulama sufi dan pergulatan intelektual mereka. Aku bicara konten Wihdah al Wujud. Kesatuan Eksistensi, gagasan Syeikh Ibnu Arabi. Gagasan ini kemudian dikembangkan oleh Syekh Hamzah Fansuri, ulama besar Aceh untuk masyarakat di Nusantara. Pa Azyu, menggenggam tangan saya dan memberi apresiasi hangat atas komentarku pada buku itu sambil tersenyum manis.
Pertemuan kedua terjadi dalam moment besar bernama Annual International Conference on Islamic Studies, 20-24 November 2017, di Bumi Serpong Damai (BSD) Jakarta. Pertemuan itu dihadiri lebih dari 400 Intelektual dalam dan luar negeri. Aku diundang sebagai pembicara. Di sana aku duduk dalam deretan intelektual par excelkent Indonesia Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Dr. Amin Abdullah dan Prof. Dr. Nasaruddin Umar. selain sejumlah intelektual lain yang tersohor. Acara dibuka oleh Dirjen Pendidikan Tinggi Islam Prof. Dr. Kamaruddin Amin. Mereka bicara sesuai dengan spesialisasinya masing-masing.
Aku menyampaikan pertanyaan kritikal : "Apakah yang sudah disumbangkan oleh Institusi Pendidikan Tinggi Islam bagi kehidupan bangsa dan dunia?."
Pa Azyu dan pa Amin berbisik dengan kata-kata yang membuat aku senang dan percaya diri. Ini karena aku tak punya titel kesarjanaan tertinggi seperti mereka. Kalau boleh dibuka bisikan mereka : "Anda seorang kiai yang berani bicara pembaruan pemikiran. Tak banyak orang seperti Anda".
Pertemuan ketiga terjadi pada momen seminar di Universitas Hasyim Asyari, Tebuireng Jombang, bertema "Tren Riset dalam Memperkuat Eksistensi Pendidikan Islam dan Hukum Keluarga di Era 4.0”. Tanggal 09 Februari 2020. Pembicaranya hanya kami berdua : Prof. Azyu dan aku.
Prof. Azyu bicara lebih dulu. Aku mendengarkan. Ia bicara tentang lemah dan mahalnya riset ilmiyah pada perguruan Tinggi Islam. Mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyebutkan juga bahwa perguruan-perguruan tinggi NU itu harus segera dikonsolidasikan dengan PBNU. Menurutnya, langkah tersebut diperlukan karena dari 34 Universitas NU yang ada sekarang ini masih belum semuanya yang berkembang.
“Sekarang ini ada 34 Universitas NU, saya mengusulkan agar semua universitas ini segera dikonsolidasikan karena masih belum berkembang semuanya,” jelas Prof Azyu.
Namun Prof. Azyu melanjutkan : universitas yang dimaksudnya tersebut adalah universitas-universitas yang secara resmi berada di bawah PBNU. Sedangkan universitas yang memiliki kultural NU seperti Universitas Hasyim Asyari, bukan termasuk universitas yang ia maksudkan.
Aku tersenyum saja. Begitu juga moderator yang duduk bersama di atas panggung.
Lalu aku bicara. Pa Azyu ganti mendengarkan. Beberapa di antaranya aku bilang :
Aku melihat di negeri ini dan juga di dunia Muslim pada umumnya rasionalitas tidak berkembang progresif, jika tidak boleh dikatakan mengalami stagnasi, mandeg. Aktivitas intelektual atau penggunaan akal mengalami cap stigmatik.
Riset atas realitas kehidupan yang terus berubah dan berganti, mandek dan tidak berkembang. Peradaban teks "Hadharah al-Nash” yang telah berlangsung berabad-abad masih begitu kokoh sampai hari ini. Jargon yang masih terus didengungkan adalah : realitas harus patuh pada teks, bukan sebaliknya.
Akibatnya kita kaum muslimin menjadi konsumen produk ilmu dan teknologi bangsa lain.
Pak Azyu tersenyum. Aku senang, dan kami berjabat tangan erat-erat. Aku melihat bajunya sederhana saja. Ya Pa Azyu memang intelektual yang rendah hati dan bersahaja.
Selamat Jalan pak Azyu. Tuhan menyambutmu dengan riang, sahabatku. (20.09.22/HM)
2. Prof Sumanto Al Qurtuby, Direktur Nusantara Institute, Guru Besar King Fahd University, dan senior fellow Middle East Institute.
Selamat Jalan Professor Sir Azyumardi Azra
Sangat sedih dan kaget sekali mendengar kabar mendadak wafatnya Profesor Sir Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah. Aktivitas saya hentikan sejenak untuk sekedar mendoakan almarhum. Belum lama kita kehilangan Buya Syafii Maarif, kini Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya.
Saya bukan murid beliau tetapi kami kerap bertegur sapa dan berkirim WA tentang berbagai hal: mulai isu-isu keagamaan-keislaman dan sosial kemasyarakatan hingga persoalan kenegaraan dan ke-Timur Tengah-an.
Saat buku terakhirku terbit, "Terrorism and Counter-terrorism in Saudi Arabia and Indonesia" (Palgrave Macmillan, 2022), beliau kirim WA cukup panjang mengucapkan selamat dan ingin ngobrol lebih jauh tentang topik ini. Beliau juga mengaku menyimak perbincangan saya (yang dipandu Pak Trias Kuncahyono, wartawan senior Kompas) tentang perkembangan mutakhir Arab Saudi.
Harus saya akui secara jujur, menurutku, tidak ada sarjana Islam Indonesia yang begitu berpengaruh dan dihormati di komunitas akademik internasional karena karya-karya akademiknya, selain Pak Azra.
Ada banyak sarjana Islam atau akademisi yang spesialis di bidang studi keislaman yang hebat di Indonesia tetapi mereka pada umumnya tidak menulis dalam bahasa Inggris sehingga tidak banyak dikenal di komunitas akademik Luar Negeri.
Kalaupun mereka sesekali menulis dalam bahasa Inggris, paling hanya untuk mengejar "kum" (kredit) untuk kenaikan pangkat ini-itu atau mengejar gelar. Bukan karena dorongan intelektual. Maka, kalau hasrat mereka sudah terpenuhi, menulis pun ikut pensiun. Pak Azra bukan tipe demikian.
Ingat: saya bicara tentang "sarjana" atau "akademisi" bukan tokoh agama, tokoh ormas, penceramah, pengkhotbah dlsb. Juga, tentang "komunitas akademik" bukan dunia bisnis, politik, pemerintahan, keormasan, dlsb.
Pak Azra sangat dikenal di komunitas akademik internasional (Luar Negeri) karena beliau sangat produktif menulis (buku, book chapter, artikel jurnal, laporan riset, dlsb) dalam bahasa Inggris. Hingga kini, belum ada yang mampu menandingi produktivitas beliau.
Salah satu buku klasik nan legendaris beliau adalah "The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the seventeenth and eighteenth centuries" yang merupakan adaptasi dari disertasi doktoral beliau di Columbia University, USA.
Buku ini telah mempengaruhi banyak cendekiawan, sarjana, akademisi, penulis, dan peneliti sosial-agama serta dikutip dimana-mana: di buku, jurnal, dlsb. Salah satu yang terpengaruh buku itu adalah saya. Bukuku yang berjudul "Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education, and Islam" (IB Tauris, 2019) salah satunya diinspirasi oleh karya beliau ini.
Belum lama ini, editor Shepherd menguhubungiku untuk merekomendasikan beberapa buku yang bagus untuk kajian Arabia-Southeast Asian connection, buku beliau salah satu yang saya rekomendasikan.
Bukan hanya karya-karya dan produktivitas menulis beliau saja yang saya kagumi. Saya juga kagum dengan perhatian beliau yang luar biasa terhadap generasi muda, pemikir muda, sarjana muda, dan bahkan calon sarjana. Tidak banyak "seleb akademik" yang perhatian dan peduli terhadap sarjana/akademisi muda.
Sungguh Indonesia kehilangan seorang cendekiawan muslim, sarjana Islam, dan sejarawan mumpuni dan disegani di dalam dan luar negeri, seorang tokoh akademisi yang telah banyak berjasa di kancah akademik nasional dan internasional serta turut mengharumkan nama Indonesia di Luar Negeri.
Selamat jalan Pak Azra. Semoga damai di alam baka. Semoga kelak lahir Azra-Azra baru yang meneruskan produktivitas menulismu. Jasadmu kelak mungkin lenyap ditelan bumi tetapi karya-karyamu tetap hidup abadi sepanjang masa.
3. Fachry Ali, Cendekiawan Muslim, Sahabat Azyumardi Azra (almarhum)
Sekali Lagi Tentang Azyumardi Azra
Pagi, 20 September 2022, sebelum pergi ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, saya baca Tajuk Rencana Harian Kompas dengan judul sangat menyentuh: ‘’Perginya ‘Muazin’ Bangsa’. Tajuk itu membuat catatan, selain Buya Sjafii, tentang wafatnya Prof Azyumardi Azra. Keduanya adalah ‘muazin bangsa’. Ada nada kepedihan dalam tajuk harian terbesar di Indonesia itu.
Sepulang dari Makam Taman Pahlawan, rasa sedih masih menggelayuti hati. Di ruang kerja sementara, saya membuka arsip dan menemukan dua tulisan yang terbit di Kompas pada 1981, abad lalu. Sebagaimana terlihat dalam gambar, dua tulisan tersebut (‘Sistem Politik Kemanusiaan’ dan ‘Universitas Rakyat: Dapatkah Menjadi Alternatif Pendidikan?’ adalah usaha saya mendorong Azyumardi Azra tampil ke panggung publik secara intelektual. Dengan sengaja, seperti yang saya lakukan kepada beberapa yunior lainnya, saya mencantumkan nama Azyumardi di dalam dua tulisan tersebut.
Kelak, Azyumardi tampil mandiri secara intelektual. Sebagaimana yang kini kita ketahui, Azyumardi telah mencapai reputasi internasional dalam karir akademiknya.
Dan melalui artikulasi akademik bertaraf dunia itu, Azyumardi turut mengharumkan nama bangsa.
Maka, Azyumardi Azra layak mendapat ruang peristirahatan terhormat —bersama para pahlawan bangsa lainnya— di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Selamat jalan yuniorku yang hebat.
4. Oman Fathurahman, Akademisi UIN Syarif Hidayatullah
Kekuatan Azra
Saya sudah bertahun mengubah cara pandang ketika menghadapi kematian kerabat, saudara, atau kolega.
Saya memandang mereka yg berpulang sebagai seorang yang berbahagia, kembali menghadap sang Pencipta, selesai dengan hiruk pikuk kepenatan urusan dunia. Jadi, kesedihan berlebihan bisa sedikit diredam, air mata tak perlu bercucuran.
Tapi entah mengapa, tidak untuk seorang Azra. Kak Edi, begitu almarhum biasa disapa, terlalu cepat tiada. Hati serasa belum percaya.
Kekuatan kebaikan dalam diri Azra menggoda iman dalam dada seorang kolega, yang tetiba protes kepada-Nya: "Mengapa Engkau ambil orang sebaik dia? Tunjukkan hikmahnya kalau ada!", katanya.
Kekuatan komitmen kemanusiaan yg selama ini ditunjukkan almarhum Azra membuat kawan itu menganggap "candaan" Tuhan berlebihan ketika memanggilnya pulang terlalu cepat, saat kita semua masih membutuhkannya.
Keunggulan keilmuan almarhum Azra yg nyaris paripurna jg mendorongnya berburuk sangka, bahwaTuhan tidak adil karena memutus kran ilmu yang sedang deras mengalir, ke hulu dan ke hilir, ketika belum nampak sumber mata air lain yg siap menggantikannya.
Saya tetap meyakini, Tuhan punya cara tersendiri menunjukkan Kuasa-Nya...ya Allah, tunjukkan kepada kami apapun tanda.
Kak Edi, selamat menikmati surga nan abadi...aku, kami, akan menyusul nanti...al-fatihah.
Muridmu
5. KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU
Ghirah Kebangsaan dan Kebersamaan Prof Azyumardi Azra
Nahdlatul Ulama turut berduka dan merasa kehilangan atas wafatnya Prof. Dr. Azyumardi Azra pada Ahad, 18 September 2022, di Kuala Lumpur, Malaysia. Kabar ini mengagetkan kita semua karena sebelum wafat beliau sehat bugar dan masih menjalankan tugas-tugas sebagai cendekiawan publik dan akademisi. Kepergiannya ke Kuala Lumpur pun untuk menjadi narasumber di sebuah seminar keislaman.
Saya mengenal beliau di acara seminar, baik nasional ataupun internasional. Selain itu, tentu saja saya membaca karya-karyanya. Dari perjumpaan seperti itu, saya sangat merasakan bahwa Prof. Azra memiliki girah kebersamaan dalam konteks kebangsaan atau kultur kesantrian NU dan Muhammadiyah.
Di banyak kesempatan, beliau mengatakan bahwa NU dan Muhammadiyah adalah pilar keislaman yang menopang kehidupan bersama dalam satu bangsa.
"Islam ala NU dan Muhammadiyah mengedepankan nilai-nilai kebangsaan serta semangat cinta tanah air. Modalnya jelas: Islam tawasut, moderat, rahmatan lil alamin, dan berkeadilan ada dalam Pancasila. Ini semua tidak bertentangan dengan Islam," begitu kira-kira yang sering saya dengar dari Prof. Azra.
Di kalangan Islam tradisionalis, sumbangsih Prof. Azra cukup jelas. Disertasinya tentang jaringan ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad ke-17 dan 18 adalah salah satu rujukan penting bagi wacana Islam Nusantara. Beliau juga selalu hadir saat diundang NU. Terakhir, beliau menghadiri acara internal Lakpesdam PBNU pada awal September 2022.
Perhatian dan kepedulian almarhum terhadap dunia Islam yang maju dan berperadaban dirasakan semua kalangan, termasuk NU. Kita semua kehilangan atas wafatnya beliau. Semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT. (Palestina, 19 September 2022)